Beda Pendapat Ulama soal
Baca al-Fatihah dalam Shalat
Di antara masalah hukum yang sering menjadi
polemik di masyarakat adalah hukum membaca Surat al-Fatihah dalam shalat. Ada
dua pertanyaan yang sering muncul terkait hal itu: pertama, bagaimanakah
hukum membaca Surat al-Fatihah dalam shalat? Dan kedua, apakah makmum
wajib membaca Surat al-Fatihah ataukah tidak wajib, karena bacaan makmum
ditanggung oleh imamnya?
Terkait pertanyaan pertama, yakni
hukum membaca Surat al-Fatihah dalam shalat, para ulama berbeda pendapat.
Mayoritas ulama, meliputi Imam Syafi’i, Malik, dan Ahmad ibn Hanbal berpendapat
bahwa membaca al-Fatihah merupakan syarat sah shalat. Jika seseorang
meninggalkannya, padahal ia mampu membacanya, shalatnya tidak sah.
Mereka berpegangan pada hadits riwayat Ubadah
bin Shamit bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا
صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalat seseorang yang tidak
membaca Surat al-Fatihah.”(Shahih Bukhari, Hadits Nomor 714).
Dan hadits riwayat Abu Hurairah bahwa Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
صَلَّى صَلَاةً، لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ، فَهِيَ خِدَاجٌ–
ثَلاَثًا – غَيْرُ تَمَامٍ.
“Barangsiapa yang shalat lalu tidak membaca
Ummul Qur’an, maka shalatnya kurang—beliau mengulanginya tiga kali—tidak
sempurna.” (Shahih Muslim, Hadits Nomor 598).
Kedua hadits di atas menunjukkan kewajiban
membaca surat al-Fatihah dalam shalat, sebab kata “lâ shalâta” dalam
hadits pertama menunjukkan arti tidak sah (nafyus sihhah), sementara kata
“khidâj” dalam hadits kedua menunjukkan arti kurang dan rusak (an-naqshu wal
fasâd), sehingga dapat dipahami bahwa membaca al-Fatihah merupakan syarat
sah shalat.
Sedangkan Imam Tsauri dan Abu Hanifah
menyatakan keabsahan shalat tanpa bacaan al-Fatihah, tetapi kurang afdhal.
Sebab menurut mereka, kewajibannya adalah membaca surat atau ayat Al-Qur’an;
minimal tiga ayat pendek atau satu ayat panjang. Mereka berpedoman pada ayat
Al-Qur’an dan hadits Nabi. Ayat Al-Qur’an tersebut adalah firman Allah subhanahu
wata’ala dalam Surat al-Muzammil ayat 20:
فَاقْرَءُوا
مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Maka bacalah apa yang mudah dari (ayat-ayat)
Al-Qur’an.”
Ayat ini menunjukkan bahwa yang diwajibkan
adalah membaca apa yang mudah dari ayat-ayat Al-Qur’an, tanpa menyebutkan ayat
atau surat tertentu.
Sedangkan hadits dimaksud adalah sabda Rasul shalallahu
‘alaihi wasallam:
إِذَاقُمْتَ
إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Jika engkau hendak shalat, maka
bertakbirlah. Kemudian bacalah apa yang mudah bagimu dari (ayat-ayat)
Al-Qur’an.”(Sahih Bukhari, hadits nomor 793 dan Sahih Muslim, hadits nomor
397).
Dari kedua pendapat tersebut, penulis menilai
pendapat mayoritas ulama yang menegaskan kewajiban membaca Surat al-Fatihah
dalam shalat merupakan pendapat yang sangat kuat. Sebab, komitmen Rasul shallallahu
‘alaihi wasallam dan para sahabatnya untuk senantiasa membaca al-Fatihah,
baik dalam shalat wajib atau shalat sunnah, merupakan dalil bahwa shalat tidak
sah tanpa bacaan al-Fatihah. Disebutkan dalam kitab Bulûghul Marâm karya
Ibnu Hajar al-Asqalani, hadits nomor 307:
عَنْ
أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِنَا فَيَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ -
فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ - بِفَاتِحَةِ اَلْكِتَابِ وَسُورَتَيْنِ
وَيُسْمِعُنَا الآيَةَ أَحْيَانًا وَيُطَوِّلُ الرَّكْعَةَ الأُولَى
وَيَقْرَأُ فِي الأُخْرَيَيْنِ بِفَاتِحَةِ اَلْكِتَابِ.
“Dari Abi Qatadah radhiyallaahu 'anhu
berkata: Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam selalu shalat bersama
kami, pada dua rakaat pertama dalam shalat Dhuhur dan Ashar beliau membaca
al-Fatihah dan dua surat, dan kadangkala memperdengarkan kepada kami bacaan
ayatnya.Beliau memperpanjang rakaat pertama dan hanya membaca al-fatihah dalam
dua rakaat terakhir.”
Makmum Wajib Baca al-Fatihah?
Sedangkan mengenai pertanyaan kedua, yaitu:
Apakah makmum wajib membaca surat al-Fatihah atautidak wajib, bisa dijawab
dengan dua hal: pertama, ulama sepakat bahwa jika makmum mendapati
imamnya dalam keadaan ruku’ maka bacaan al-Fatihahnya ditanggung oleh imamnya.
Artinya, makmum tidak berkewajiban membaca al-Fatihah.
Kedua, ulama berbeda
pendapat jika makmum mendapati imam dalam keadaan berdiri. Imam Syafi’i dan
Ahmad menyatakan kewajiban membaca al-Fatihah bagi makmum, baik dalam shalat sirriyyah
(shalat yang bacaannya dilirihkan), atau dalam shalat jahriyyah (shalat
yang bacaannya dikeraskan). Mereka berpegangan pada hadits:
لَا
صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalat seseorang yang tidak
membaca Surat al-Fatihah.”
Redaksi hadits di atas bersifat umum,
sehingga mencakup imam dan makmum, serta shalat sirriyyah dan jahriyyah.
Barangsiapa tidak membaca al-Fatihah, shalatnya tidak sah.
Sementara menurut Imam Malik, makmum wajib
membaca al-Fatihah pada shalat sirriyyah, bukan jahriyyah.
Terkait kewajiban membaca al-Fatihah pada shalat sirriyyah, beliau
berpedoman pada hadits di atas. Sedangkan terkait larangan membacanya pada
shalat jahriyyah, beliau berpegangan pada firman Allah Surat al-A’raf
ayat 204:
وَإِذَا
قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka
dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat
rahmat.”
Ayat ini memerintahkan kita untuk
mendengarkan bacaan Al-Qur’an. Artinya, makmum juga diperintahkan untuk
mendengarkan bacaan imam dalam shalat jahriyyah.
Sedangkan menurut Abu Hanifah, makmum tidak
perlu membaca al-Fatihah, baik dalam shalat jahriyyah maupun shalat sirriyyah.
Beliau berpedoman pada firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 204 di atas, di
mana ayat tersebut memerintahkan kita untuk mendengarkan bacaan Al-Qur’an.
Beliau juga berpedoman pada hadits riwayat Abu Hurairah, Rasul shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا
جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا، وَإِذَا
قَرَأَ فَأَنْصِتُوْا
“Sesungguhnya dijadikannya imam itu adalah
untuk diikuti. Apabila ia bertakbir maka takbirlah dan jika ia membaca (ayat
Al-Qur’an) maka diamlah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah). (Lihat: Muhammad Ali
al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min Al-Qur’an, Damaskus:
Maktabah al-Ghazali, Juz 1980, hal. 55-59). Wallahu A’lam. []
Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan
Pengurus LDNU Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar