Beda Pendapat Para Ulama
tentang Hukum Sperma
Sperma (mani) adalah cairan berwarna putih
yang keluar memancar dari kemaluan. Biasanya, keluarnya cairan ini diiringi
dengan rasa nikmat dan dibarengi dengan syahwat. Sperma dapat keluar dalam
keadaan sadar, seperti karena berhubungan suami-istri, ataupun dalam keadaan
tidur, biasa dikenal dengan sebutan “ihtilam” atau mimpi basah.
Keluarnya sperma menyebabkan seseorang harus mandi besar.
Mengetahui pendapat para ulama tentang hukum
sperma merupakan hal urgen. Sebab, tubuh atau pakaian seseorang, terutama yang
sudah berkeluarga, akan sangat rentan terkena sperma. Bahkan tidak jarang
keberadaan sperma tersebut baru diketahui setelah ia selesai melaksanakan
shalat.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum
sperma; apakah suci atau najis? Pertama, Imam Malik, Abu Hanifah,
Tsauri, dan Auza’i menyatakan bahwa sperma hukumnya najis (Lihat: Syarh
Fathul Qadir, juz I, halaman 197). Jika ia mengenai anggota tubuh atau
pakaian maka wajib disucikan. Hanya saja, menurut Abu Hanifah, jika sperma itu
sudah kering, cara menyucikannya cukup dikerik (digosok). Sedangkan menurut
Malik dan Auza’i, cara menyucikannya adalah dengan membasuhnya (mencucinya),
baik sperma tersebut dalam keadaan masih basah atau sudah kering.
Mereka berpedoman pada hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam riwayat Umrah dari Aisyah radhiyallahu anha:
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ: كُنْتُ أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا كَانَ يَابِسًا وَأَغْسِلُهُ إذَا كَانَ
رَطْبًا
Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Aku mengerik mani
dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika ia kering, dan
mencucinya (membasuhnya) jika ia basah.” (HR Daruquthni)
Hadits di atas menjelaskan, Aisyah mengerik
atau mencuci pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang terkena sperma. Ini
menunjukkan bahwa sperma itu najis. Sebab jika sperma itu suci, Aisyah tidak
akan mengeriknya atau mencucinya. Perbuatan Aisyah tersebut dilakukan
berkali-kali, sehingga kemungkinan besar Nabi mengetahuinya, tetapi
membiarkannya, sebagai pertanda beliau menyetujuinya.
Di samping hadits, mereka juga berpedoman
pada dalil akal bahwa sperma keluar melalui lubang keluarnya air kencing.
Lubang tersebut dihukumi najis sebab terkena air kencing. Sehingga, sperma juga
dihukumi najis karena terkena najisnya lubang dimaksud.
Kedua, Imam Syafi’i, Ahmad
bin Hambal, Sufyan al-Tsauri, Ibnu Hazm, dan Daud al-Dzahiri menegaskan bahwa
sperma itu suci (Lihat: Raudhatut Thalibin, juz I, halaman 17). Mereka
berpegangan pada hadits riwayat Al-Aswad bin Yazid dari Aisyah radhiyallahu
anha:
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ: كُنْتُ أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُصَلِّي فِيهِ
Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Aku mengerik mani
dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian ia shalat dengan
pakaian itu.” (HR. Jama’ah, kecuali Imam Bukhari)
Pada hadits di atas, Aisyah mengerik sperma
dari pakaian Rasul kemudian beliau shalat dengan pakaian tersebut. Ini
menunjukkan bahwa sperma tidak najis. Karena jika sperma dihukumi najis maka
cara menyucikannya tidak dengan mengeriknya, melainkan dengan mencucinya,
sebagaimana darah, madzi, dan sebagainya.
Kelompok ini membantah pemahaman kelompok
pertama terhadap hadits Umrah dari Aisyah di atas, bahwa mengerik sperma tidak
berarti sperma itu najis. Mengerik sperma bisa untuk tujuan kebersihan atau
memperoleh kesunnahan belaka.
Mereka juga membantah dalil akal yang
digunakan kelompok pertama, bahwa keluarnya sperma dari lubang kencing tidak
otomatis membuatnya najis. Sebab permasalahan suci dan najis hanya terkait pada
hal-hal yang ada di luar tubuh manusia, bukan hal-hal yang masih ada dalam
tubuhnya. Karenanya, persentuhan sperma dengan benda najis yang terjadi dalam
tubuh seseorang tidak membuatnya najis, berbeda jika persentuhan tersebut
terjadi di luar tubuhnya.
Sebaliknya, kelompok pertama juga menyanggah
pemahaman kelompok kedua terhadap hadits riwayat Al-Aswad bin Yazid dari
Aisyah, bahwa hadits ini bertentangan dengan hadits-hadits yang dijadikan
sandaran oleh kelompok pertama. Dalam keadaan seperti ini, hadits kelompok
pertama lebih diunggulkan daripada hadits kelompok kedua, sebagaimana kaidah:
إَذَا
حَدَثَ تَعَارُضٌ بَيْنَ دَلِيْلٍ مُبِيْحٍ وَدَلِيْلٍ مُحَرِّمٍ فَإِنَّ
الْمُحَرِّمَ يُقَدَّمُ عَلَى الْمُبِيْحِ
“Jika terjadi pertentangan antara dalil yang
membolehkan dengan dalil yang mengharamkan, maka dalil yang mengharamkan
didahulukan daripada dalil yang membolehkan.”
Akan tetapi, kelompok kedua membantah
sanggahan ini dan menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara hadits-hadits
tersebut, sebab hadits-hadits itu bisa difahami secara bersamaan (al-jam’u
baina al-adillah), yaitu bahwa mencuci sperma dilakukan untuk kebersihan
semata sedangkan mengeriknya saja sudah dianggap cukup untuk menyucikannya.
Dari kedua pendapat di atas, tampaknya
pendapat yang menegaskan kesucian sperma merupakan pendapat yang kuat. Karena,
jika sperma dihukumi najis maka untuk menyucikannya tidak cukup dengan
mengeriknya, melainkan harus mencucinya. (Lihat: Muhammad Ra’fat Usman, Muqaranatul
Madzahib Al-Islamiyyah, Kairo: Al-Azhar Press, t.t, halaman 45-55).
Lalu jika sperma itu suci, bagaimanakah hukum
menelannya? Imam An-Nawawi dalam kitab al-Majmu Syarh al-Muhadzab juz 2
halaman 556 menyebutkan:
هَلْ
يَحِلُّ أَكْلُ الْمَنِيِّ الطَّاهِرِ؟ فِيْهِ وَجْهَانِ. الصَّحِيْحُ
الْمَشْهُوْرُ: أَنَّهُ لَا يَحِلُّ، لِأَنَّهُ مُسْتَخْبَثٌ، قَالَ تَعَالَى:
{وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ} (الأعراف:157). وَالثَّانِيْ: يَجُوْزُ، وَهُوَ قَوْلُ الشَّيْخِ أَبِيْ
زَيْدٍ الْمَرُوْزِيْ، لِأَنَّهُ طَاهِرٌ لَا ضَرَرَ فِيْهِ
“Apakah boleh memakan sperma yang suci? Ada
dua pendapat; pendapat yang shahih dan masyhur adalah tidak halal, karena
sperma dianggap menjijikkan. Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Diharamkan
bagi kalian, hal-hal yang menjijikkan”. Pendapat kedua: Boleh. Ini adalah
pendapat syaikh Abi Zaid al-Maruzi. Alasannya, sperma itu suci, tidak
membahayakan.”
Wallahu A’lam.[]
Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan
Pengurus LDNU Jombang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar