Jumat, 06 Maret 2020

KH Ali Alhamidi Matraman, Penulis Produktif dari Betawi


KH Ali Alhamidi Matraman, Penulis Produktif dari Betawi

Nama lengkapnya KH Muhammad Ali Alhamidi. Namun, sering juga ditulis dengan nama KH Ali Alhamidi atau KH Ali Alhamidi Matraman.

Nama KH Ali Alhamidi Matraman merupakan nama yang populer darinya. Nama Matraman yang dinisbatkan di belakang namanya merupakan nama jalan tempat tinggalnya. Semasa hidupnya, dia bertempat tinggal di Jl. Matraman Dalam I No. 56, Pegangsaan, Menteng, Kota Jakarta Pusat.

Matraman sendiri adalah sebuah kawasan yang merupakan kecamatan di Jakarta Timur yang berbatasan dengan Jakarta Pusat. Namun dikarenakan nama jalan rumahnya adalah Matraman Dalam, maka nama Matraman dilekatkan dengan namanya.

Disebut Matraman, karena dulunya diperkirakan kawasan itu dijadikan perkubuan oleh pasukan Mataram dalam rangka penyerangan kota Batavia melalui darat. Matraman sudah disebut-sebut ketika kawasan ini menjadi milik tuan tanah bernama David Johannes Smith.

Menurut F d Haan, dalam buku Oud Batavia, kawasan itu diberikan kepada orang-orang Jawa dari Mataram, mungkin setelah Mataram berada di bawah pengaruh Kompeni, menyusul ditandatanganinya perjanjian antara Mataram dengan VOC tertanggal 28 Februari 1677.

Pada masa itu, orang-orang Mataram yang karena keahliannya misalnya sebagai pengrajin perunggu atau gangsa, membuka usaha di tempat yang kini dikenal dengan nama Pegangsaan. Jadi, nama Matraman diyakini berasal dari kata Mataram (Zaenuddin HM, 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe: Disertai Fakta, Foto, dan Kesaksian Unik Yang Membawa Anda Ke Masa Lalu, 2012).

Dalam Buku Database Orang Betawi terbitan Dinas Komunikasi, Informatika, dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta (Murni, 2012), yang saya merupakan salah seorang editornya, dijelaskan tentang sosoknya. KH Muhammad Ali Alhamidi dilahirkan di Kwitang, Jakarta Pusat, pada tanggal 20 September 1909. Keluarganya berasal dari Bogor, Jawa Barat.

KH Muhammad Ali Alhamidi adalah satu orang Betawi yang beruntung pada zamannya karena mengenyam pendidikan, bisa baca dan tulis. Sebab sensus pada tahun 1930, di saat dia berusia 21 tahun, menunjukan bahwa wilayah Jakarta merupakan salah satu wilayah terbelakang dalam pendidikan umum. Prosentasi melek-huruf di Batavia (11,9%) merupakan angka yang rendah bagi daerah perkotaan. Sebagai contoh bandingkan dengan Bandung, yaitu 23,6%. Selain itu, mereka yang melek huruf hampir bisa dipastikan bukan orang Betawi (Lance Castles, Profil Etnik Jakarta, 2007).

Untuk sanad keilmuan atau genealogi intelektualnya, ia belajar agama kepada Abdullah Hasan, pendiri Persis. Namun dari wawancara saya dengan menantu dan ahli waris tidak disinggung bahwa ia belajar kepada Abdullah Hasan, tetapi kepada Syekh Ahmad Surkati, yang merupakan salah satu sahabatnya.

Menurut KH Saifuddin Amsir dan budayawan Ridwan Saidi, ia juga belajar agama kepada Habib Ali Kwitang. Tetapi, menurut keturunannya, seperti yang tercantum di dalam buku Database Orang Betawi, walau lahir di Kwitang, ia tidak belajar kepada Habib Ali Kwitang. Saya sendiri berpegang kepada pendapat KH Saifuddin Amsir dan Ridwan Saidi bahwa KH Muhammad Ali Alhamidi berguru juga kepada Habib Ali Kwitang.

Di dalam buku Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945) karya Zainul Milal Bizawie diceritakan tentang sosok KH Muhammad Ali Alhamidi, Matraman yang dekat dengan Habib Ali Kwitang selayaknya murid dengan guru.

Menurut KH Saifuddin Amsir bahwa KH Muhammad Ali Alhamidi pernah belajar dan menjadi murid Habib Ali Kwitang di Madrasah Unwanul Falah, Kwitang, yang didirikan oleh Habib Ali Al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) pada tahun 1911.

Madrasah Unwanun Falah banyak melahirkan ulama-ulama Betawi terkemuka, seperti KH Abdullah Syafi`i, KH Thohir Rohili, KH Zayadi Muhadjir, KH Ismail Pendurenan, KH Muhammad Naim Cipete, KH Fathullah Harun, dan Mualim KH M Syafi`i Hadzami. Termasuk juga KH Muhammad Ali Alhamidi.

Hal ini juga diperkuat oleh wawancara saya dengan H Ahmad Syaukani,Mantu ke-12, umur 59 tahun, yang membantu pencetakan karya-karya KH Muhammad Ali Alhamidi dengan mesin stensil, bahwa KH Muhammad Ali Alhamidi belajar juga kepada Habib Ali Kwitang.

Semasa hidupnya, KH Muhammad Ali Alhamidi merupakan penulis produktif. Beberapa karya tulisnya adalah Godaan Setan, Jalan Hidup Muslim, Hidayatullah, Islam dan Perkawinan, Manasik Haji, Ruhul Mimbar, Adabul Insan fil Islam, Al-Wahyu Wa Al-Qur`an, Kunci Khutbah dan Pidato Juz Pertama, Kunci Khutbah dan Pidato Juz Kedua. Perbaikan Akhlak dan lain sebagainya. Sebagian karyanya diterbitkan oleh Penerbit Al-Ma’arif Bandung.

Namun, hanya tiga karyanya yang saya anggap sebagai karya monumentalnya, yaitu Godaan Setan, Ruhul Mimbar dan Adabul Insan fil Islam.

Karyanya yang berjudul Godaan Setan ia tulis di tahanan Departemen Kepolisian Kebayoran Baru Jakarta Selatan dari 28 Juni hingga 1 Agustus 1962. KH Ali Alhamidi ditangkap di rumahnya di Matraman Dalam Jakarta Pusat oleh penguasa PKI saat itu dengan tuduhan yang tidak jelas. Ia ditahan karena difitnah bukan karena melakukan kesalahan.

Ia pun ditahan oleh penguasa PKI selama 3 (tiga) bulan 10 hari. 2 bulan di Departemen Kepolisian Kebayoran Baru Jakarta Selatan dan 1 bulan di Rindam Condet Jakarta Timur. Tidak hanya KH. Ali Alhamidi, para murid-muridnya pun ditangkap oleh penguasa PKI dengan tuduhan yang tidak jelas.

Sementara karyanya yang berjudul Ruhul Mimbar adalah kumpulan naskah khutbah Jumat yang dia tulis dalam aksara Arab Melayu. Kendati ia berpaham Persis, tetapi banyak juga para ustadz dan ulama Betawi yang berfaham NU menjadikan kitab Ruhul Mimbar dan karya-karyanya yang lain sebagai bahan referensi untuk berkhutbah. Bahkan karya-karyanya beredar hingga ke Sumatera dan Kalimantan.

Sedangkan Kitab Adabul Insan fil Islam merupakan kitab dalam aksara Arab Melayu tentang masalah-masalah adab manusia kepada Allah, kepada agamanya, rasulnya, dirinya, ibu bapaknya dan lain-lainnya. Kitab ini diterbitkan oleh sebuah penerbitan di Surabaya.

KH Muhammad Ali Alhamidi merupakan salah satu ulama Betawi yang modernis. Dia pencetus pertama Sholat Id di lapangan terbuka bukan di dalam masjid. Sholat Id pertama di lapangan dilaksanakan di Lapangan Banteng Jakarta Pusat dan dilaksanakan pada tahun berikutnya di beberapa tempat. Pada tahun 1945, ia menjadi imam dan khatib shalat Idul Fitri di Jalan Pegangsaan Proklamasi Jakarta Pusat di bawah penjagaan ketat tentara Dai Nippon Jepang.

Pascakemerdekaan, KH Ali Alhamidi bergabung di Partai Masyumi. Ia berhubungan baik dengan Muhammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan tokoh Masyumi lainnya. Ia juga dekat dengan Presiden Soekarno.

Ia pernah berpidato saat Rapat IKADA pada tahun 1957. Namun sejak Masyumi dibubarkan ia tidak aktif berpolitik dan menghabiskan waktunya untuk berdakwah hingga akhir hayatnya. KH Muhammad Ali Alhamidi wafat pada 22 Agustus 1985 dan dimakamkan di Pemakaman Umum Menteng Pulo I, Jakarta Pusat. (bersambung...)

Penulis Rakhmad Zailani Kiki, Peneliti dan Penulis Genealogi Intelektual Ulama Betawi danSekretaris RMI-NU DKI Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar