KH Ali Alhamidi
Matraman, Penulis Produktif dari Betawi
Nama lengkapnya KH Muhammad Ali Alhamidi. Namun, sering juga ditulis dengan nama KH Ali Alhamidi atau KH Ali Alhamidi Matraman.
Nama KH Ali Alhamidi
Matraman merupakan nama yang populer darinya. Nama Matraman yang dinisbatkan di
belakang namanya merupakan nama jalan tempat tinggalnya. Semasa hidupnya, dia
bertempat tinggal di Jl. Matraman Dalam I No. 56, Pegangsaan, Menteng, Kota
Jakarta Pusat.
Matraman sendiri
adalah sebuah kawasan yang merupakan kecamatan di Jakarta Timur yang berbatasan
dengan Jakarta Pusat. Namun dikarenakan nama jalan rumahnya adalah Matraman
Dalam, maka nama Matraman dilekatkan dengan namanya.
Disebut Matraman,
karena dulunya diperkirakan kawasan itu dijadikan perkubuan oleh pasukan
Mataram dalam rangka penyerangan kota Batavia melalui darat. Matraman sudah
disebut-sebut ketika kawasan ini menjadi milik tuan tanah bernama David
Johannes Smith.
Menurut F d Haan,
dalam buku Oud Batavia, kawasan itu diberikan kepada orang-orang Jawa dari
Mataram, mungkin setelah Mataram berada di bawah pengaruh Kompeni, menyusul
ditandatanganinya perjanjian antara Mataram dengan VOC tertanggal 28 Februari
1677.
Pada masa itu,
orang-orang Mataram yang karena keahliannya misalnya sebagai pengrajin perunggu
atau gangsa, membuka usaha di tempat yang kini dikenal dengan nama Pegangsaan.
Jadi, nama Matraman diyakini berasal dari kata Mataram (Zaenuddin HM, 212
Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe: Disertai Fakta, Foto, dan Kesaksian Unik Yang
Membawa Anda Ke Masa Lalu, 2012).
Dalam Buku Database
Orang Betawi terbitan Dinas Komunikasi, Informatika, dan Kehumasan Pemprov DKI
Jakarta (Murni, 2012), yang saya merupakan salah seorang editornya, dijelaskan
tentang sosoknya. KH Muhammad Ali Alhamidi dilahirkan di Kwitang, Jakarta
Pusat, pada tanggal 20 September 1909. Keluarganya berasal dari Bogor, Jawa
Barat.
KH Muhammad Ali
Alhamidi adalah satu orang Betawi yang beruntung pada zamannya karena mengenyam
pendidikan, bisa baca dan tulis. Sebab sensus pada tahun 1930, di saat dia
berusia 21 tahun, menunjukan bahwa wilayah Jakarta merupakan salah satu wilayah
terbelakang dalam pendidikan umum. Prosentasi melek-huruf di Batavia (11,9%) merupakan
angka yang rendah bagi daerah perkotaan. Sebagai contoh bandingkan dengan
Bandung, yaitu 23,6%. Selain itu, mereka yang melek huruf hampir bisa
dipastikan bukan orang Betawi (Lance Castles, Profil Etnik Jakarta, 2007).
Untuk sanad keilmuan
atau genealogi intelektualnya, ia belajar agama kepada Abdullah Hasan, pendiri
Persis. Namun dari wawancara saya dengan menantu dan ahli waris tidak
disinggung bahwa ia belajar kepada Abdullah Hasan, tetapi kepada Syekh Ahmad
Surkati, yang merupakan salah satu sahabatnya.
Menurut KH Saifuddin
Amsir dan budayawan Ridwan Saidi, ia juga belajar agama kepada Habib Ali
Kwitang. Tetapi, menurut keturunannya, seperti yang tercantum di dalam buku
Database Orang Betawi, walau lahir di Kwitang, ia tidak belajar kepada Habib
Ali Kwitang. Saya sendiri berpegang kepada pendapat KH Saifuddin Amsir dan
Ridwan Saidi bahwa KH Muhammad Ali Alhamidi berguru juga kepada Habib Ali
Kwitang.
Di dalam buku
Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945) karya
Zainul Milal Bizawie diceritakan tentang sosok KH Muhammad Ali Alhamidi,
Matraman yang dekat dengan Habib Ali Kwitang selayaknya murid dengan guru.
Menurut KH Saifuddin
Amsir bahwa KH Muhammad Ali Alhamidi pernah belajar dan menjadi murid Habib Ali
Kwitang di Madrasah Unwanul Falah, Kwitang, yang didirikan oleh Habib Ali
Al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) pada tahun 1911.
Madrasah Unwanun
Falah banyak melahirkan ulama-ulama Betawi terkemuka, seperti KH Abdullah
Syafi`i, KH Thohir Rohili, KH Zayadi Muhadjir, KH Ismail Pendurenan, KH
Muhammad Naim Cipete, KH Fathullah Harun, dan Mualim KH M Syafi`i Hadzami.
Termasuk juga KH Muhammad Ali Alhamidi.
Hal ini juga
diperkuat oleh wawancara saya dengan H Ahmad Syaukani,Mantu ke-12, umur 59
tahun, yang membantu pencetakan karya-karya KH Muhammad Ali Alhamidi dengan
mesin stensil, bahwa KH Muhammad Ali Alhamidi belajar juga kepada Habib Ali
Kwitang.
Semasa hidupnya, KH
Muhammad Ali Alhamidi merupakan penulis produktif. Beberapa karya tulisnya
adalah Godaan Setan, Jalan Hidup Muslim, Hidayatullah, Islam dan Perkawinan,
Manasik Haji, Ruhul Mimbar, Adabul Insan fil Islam, Al-Wahyu Wa Al-Qur`an,
Kunci Khutbah dan Pidato Juz Pertama, Kunci Khutbah dan Pidato Juz Kedua.
Perbaikan Akhlak dan lain sebagainya. Sebagian karyanya diterbitkan oleh
Penerbit Al-Ma’arif Bandung.
Namun, hanya tiga
karyanya yang saya anggap sebagai karya monumentalnya, yaitu Godaan Setan,
Ruhul Mimbar dan Adabul Insan fil Islam.
Karyanya yang
berjudul Godaan Setan ia tulis di tahanan Departemen Kepolisian Kebayoran Baru
Jakarta Selatan dari 28 Juni hingga 1 Agustus 1962. KH Ali Alhamidi ditangkap
di rumahnya di Matraman Dalam Jakarta Pusat oleh penguasa PKI saat itu dengan
tuduhan yang tidak jelas. Ia ditahan karena difitnah bukan karena melakukan
kesalahan.
Ia pun ditahan oleh
penguasa PKI selama 3 (tiga) bulan 10 hari. 2 bulan di Departemen Kepolisian
Kebayoran Baru Jakarta Selatan dan 1 bulan di Rindam Condet Jakarta Timur.
Tidak hanya KH. Ali Alhamidi, para murid-muridnya pun ditangkap oleh penguasa
PKI dengan tuduhan yang tidak jelas.
Sementara karyanya
yang berjudul Ruhul Mimbar adalah kumpulan naskah khutbah Jumat yang dia tulis
dalam aksara Arab Melayu. Kendati ia berpaham Persis, tetapi banyak juga para
ustadz dan ulama Betawi yang berfaham NU menjadikan kitab Ruhul Mimbar dan
karya-karyanya yang lain sebagai bahan referensi untuk berkhutbah. Bahkan
karya-karyanya beredar hingga ke Sumatera dan Kalimantan.
Sedangkan Kitab
Adabul Insan fil Islam merupakan kitab dalam aksara Arab Melayu tentang
masalah-masalah adab manusia kepada Allah, kepada agamanya, rasulnya, dirinya,
ibu bapaknya dan lain-lainnya. Kitab ini diterbitkan oleh sebuah penerbitan di
Surabaya.
KH Muhammad Ali
Alhamidi merupakan salah satu ulama Betawi yang modernis. Dia pencetus pertama
Sholat Id di lapangan terbuka bukan di dalam masjid. Sholat Id pertama di
lapangan dilaksanakan di Lapangan Banteng Jakarta Pusat dan dilaksanakan pada
tahun berikutnya di beberapa tempat. Pada tahun 1945, ia menjadi imam dan
khatib shalat Idul Fitri di Jalan Pegangsaan Proklamasi Jakarta Pusat di bawah
penjagaan ketat tentara Dai Nippon Jepang.
Pascakemerdekaan, KH
Ali Alhamidi bergabung di Partai Masyumi. Ia berhubungan baik dengan Muhammad
Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan tokoh Masyumi lainnya. Ia juga dekat
dengan Presiden Soekarno.
Ia pernah berpidato
saat Rapat IKADA pada tahun 1957. Namun sejak Masyumi dibubarkan ia tidak aktif
berpolitik dan menghabiskan waktunya untuk berdakwah hingga akhir hayatnya. KH
Muhammad Ali Alhamidi wafat pada 22 Agustus 1985 dan dimakamkan di Pemakaman
Umum Menteng Pulo I, Jakarta Pusat. (bersambung...)
Penulis Rakhmad
Zailani Kiki, Peneliti dan Penulis Genealogi Intelektual Ulama Betawi
danSekretaris RMI-NU DKI Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar