Senin, 16 Maret 2020

Azyumardi: Stagnasi Masyarakat Sipil


Stagnasi Masyarakat Sipil
Oleh: Azyumardi Azra

Mengikuti perbincangan para ahli dan pengamat dari dalam dan luar negeri, kemunduran demokrasi Indonesia beberapa tahun terakhir terkait dengan stagnasi masyarakat sipil (civil society). Jika stagnasi masyarakat sipil ini terus berlanjut, masa depan demokrasi Indonesia dapat pula semakin tidak menentu.

Demokrasi Indonesia pernah dipuji berbagai lembaga pemantau dan advokasi demokrasi internasional sebagai full democracy karena adanya masyarakat sipil yang hidup, dinamis, dan bersemangat. Namun, berbagai perkembangan terkait politik beberapa tahun terakhir, lebih khusus demokrasi dan pemerintahan, membuat civil society kian kehilangan elannya.

Bahkan, dalam pandangan tertentu, kondisi masyarakat sipil sudah pada tahap mengenaskan. Peter van Tuijl, aktivis demokrasi dan civil society yang lama tinggal di Indonesia, menulis Indonesian Civil Society: Struggling to Survive (2019).

Dalam kaitan dengan perkembangan politik menjelang Pemilu April 2019, Van Tuijl, visiting fellow di The Kroc Institute for International Peace Studies, Universitas Notre Dame, Amerika Serikat, mencatat, masyarakat sipil Indonesia kini berada dalam posisi defensif. Dalam posisi itu, masyarakat sipil lebih sibuk mengkritik kelompok intoleran atau uncivil society atau menangkis tuduhan sebagai ”anti-religius” atau bahkan ”anti-Indonesia”.

Persepsi bahwa masyarakat sipil berjuang untuk sekadar bisa bertahan dikonfirmasi jajak pendapat Kompas (2/3/2020). Sebanyak 52,1 persen dari responden menilai kekuatan masyarakat sipil sekarang mengalami stagnasi dibandingkan dengan masa awal reformasi. Kurang dari setengah (43,5 persen) dari total responden menganggap masyarakat sipil lebih baik.

Indonesia sebenarnya sangat beruntung memiliki empat kelompok besar masyarakat sipil. Pertama, kelompok lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam advokasi masyarakat di berbagai bidang; kedua, kelompok masyarakat profesional yang bergerak untuk kepentingan profesinya. Selanjutnya, ketiga, kelompok mahasiswa, akademisi, dan intelektual; dan keempat organisasi masyarakat, khususnya berbasis agama, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan organisasi berbasis gereja.

Kelompok pertama, ketiga, dan keempat, meski bukan organisasi politik, tetapi sebagai masyarakat sipil memainkan peran penting dalam penumbuhan budaya sipil (civic culture), civility yang esensial bagi demokrasi untuk bisa tumbuh. Mereka juga menjadi kekuatan masyarakat dalam penghadapan dengan negara; memainkan peran sebagai kekuatan kritis, dan cek serta keseimbangan terhadap kekuasaan.

Masyarakat sipil Indonesia pernah memainkan peran penting dalam menumbuhkan demokrasi pada masa Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Meski Soeharto sering melakukan represi, masyarakat sipil terus menyemai civic culture sebagai nucleus demokrasi untuk tumbuh.

Masyarakat sipil juga memainkan peran penting dalam berakhirnya era Orde Baru. Berkat masyarakat sipil yang kuat, transisi Indonesia dari otoritarianisme ke demokrasi sejak 1998-1999 dan seterusnya berlangsung relatif lancar dan damai. Namun, demokrasi dan liberalisasi politik masa reformasi juga menjadi awal terjadinya disorientasi kalangan masyarakat sipil. Godaan dan tarikan kekuasaan membuat banyak tokoh dan kelompok masyarakat sipil, terutama intelektual, akademisi, dan aktivis, terjun ke politik.

Inilah proses yang penulis sebut sebagai unmaking of civil society. Kalangan masyarakat sipil yang menempuh jalan ini sebagian besar gagal dalam proses politik demokrasi; mereka ”terlalu naif” berpolitik dan ”kekurangan gizi” dalam proses politik yang makin transaksional dan mahal. Masyarakat sipil juga makin tidak berdaya menghadapi jaring kekuasaan yang terus mengunci rapat berbagai bidang kehidupan.

Fenomena ini bisa terlihat dalam beberapa kasus mutakhir. Masyarakat sipil tersingkir dalam proses pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi UU KPK. Masyarakat sipil dan publik sejauh ini juga tidak disertakan dan tidak terlibat dalam pembahasan dan perumusan rancangan undang-undang omnibus law, misalnya.

Perkembangan lain juga terlihat kian tidak menguntungkan masyarakat sipil. Belakangan semakin menguat gejala police state dan resentralisasi negara seiring merosotnya kontrol, serta cek dan keseimbangan dari masyarakat sipil.

Selain itu, masyarakat sipil juga harus berhadapan dengan ”koalisi politik”—untuk tak menyebut ”konspirasi politik”—yang lebih menempatkan kepentingan politik masing-masing di atas segalanya. Menghadapi gejala ini, masyarakat sipil hampir tak berdaya.

Menghadapi fenomena tak kondusif, masyarakat sipil perlu revitalisasi. Tanpa revitalisasi masyarakat sipil, masa depan demokrasi dan lebih-lebih masa depan bangsa Indonesia menjadi pertaruhan sangat mahal.

Masyarakat sendiri ada kesediaan cukup kuat untuk memberdayakan kembali masyarakat sipil. Jajak pendapat Kompas menemukan, dua pertiga responden dari kelompok umur 17-30 dan juga 31-40 tahun bersedia terlibat dalam gerakan masyarakat sipil.

Sekali lagi, hanya dengan masyarakat sipil yang kuat, Indonesia dapat tumbuh menjadi demokrasi terkonsolidasi, dengan pemerintahan bertata kelola yang baik untuk lebih memajukan negeri ini. []

KOMPAS, 5 Maret 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar