Stagnasi
Masyarakat Sipil
Oleh:
Azyumardi Azra
Mengikuti
perbincangan para ahli dan pengamat dari dalam dan luar negeri, kemunduran
demokrasi Indonesia beberapa tahun terakhir terkait dengan stagnasi masyarakat
sipil (civil society). Jika stagnasi masyarakat sipil ini terus berlanjut, masa
depan demokrasi Indonesia dapat pula semakin tidak menentu.
Demokrasi
Indonesia pernah dipuji berbagai lembaga pemantau dan advokasi demokrasi
internasional sebagai full democracy karena adanya masyarakat sipil yang hidup,
dinamis, dan bersemangat. Namun, berbagai perkembangan terkait politik beberapa
tahun terakhir, lebih khusus demokrasi dan pemerintahan, membuat civil society
kian kehilangan elannya.
Bahkan,
dalam pandangan tertentu, kondisi masyarakat sipil sudah pada tahap
mengenaskan. Peter van Tuijl, aktivis demokrasi dan civil society yang lama
tinggal di Indonesia, menulis Indonesian Civil
Society: Struggling to Survive (2019).
Dalam
kaitan dengan perkembangan politik menjelang Pemilu April 2019, Van Tuijl,
visiting fellow di The Kroc
Institute for International Peace Studies, Universitas Notre Dame,
Amerika Serikat, mencatat, masyarakat sipil Indonesia kini berada dalam posisi
defensif. Dalam posisi itu, masyarakat sipil lebih sibuk mengkritik kelompok
intoleran atau uncivil society atau menangkis tuduhan sebagai ”anti-religius”
atau bahkan ”anti-Indonesia”.
Persepsi
bahwa masyarakat sipil berjuang untuk sekadar bisa bertahan dikonfirmasi jajak
pendapat Kompas
(2/3/2020). Sebanyak 52,1 persen dari responden menilai kekuatan masyarakat
sipil sekarang mengalami stagnasi dibandingkan dengan masa awal reformasi.
Kurang dari setengah (43,5 persen) dari total responden menganggap masyarakat
sipil lebih baik.
Indonesia
sebenarnya sangat beruntung memiliki empat kelompok besar masyarakat sipil.
Pertama, kelompok lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam advokasi
masyarakat di berbagai bidang; kedua, kelompok masyarakat profesional yang
bergerak untuk kepentingan profesinya. Selanjutnya, ketiga, kelompok mahasiswa,
akademisi, dan intelektual; dan keempat organisasi masyarakat, khususnya
berbasis agama, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan organisasi berbasis
gereja.
Kelompok
pertama, ketiga, dan keempat, meski bukan organisasi politik, tetapi sebagai
masyarakat sipil memainkan peran penting dalam penumbuhan budaya sipil (civic culture), civility
yang esensial bagi demokrasi untuk bisa tumbuh. Mereka juga menjadi kekuatan
masyarakat dalam penghadapan dengan negara; memainkan peran sebagai kekuatan
kritis, dan cek serta keseimbangan terhadap kekuasaan.
Masyarakat
sipil Indonesia pernah memainkan peran penting dalam menumbuhkan demokrasi pada
masa Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Meski Soeharto sering
melakukan represi, masyarakat sipil terus menyemai civic culture sebagai nucleus demokrasi untuk
tumbuh.
Masyarakat
sipil juga memainkan peran penting dalam berakhirnya era Orde Baru. Berkat
masyarakat sipil yang kuat, transisi Indonesia dari otoritarianisme ke
demokrasi sejak 1998-1999 dan seterusnya berlangsung relatif lancar dan damai.
Namun, demokrasi dan liberalisasi politik masa reformasi juga menjadi awal
terjadinya disorientasi kalangan masyarakat sipil. Godaan dan tarikan kekuasaan
membuat banyak tokoh dan kelompok masyarakat sipil, terutama intelektual,
akademisi, dan aktivis, terjun ke politik.
Inilah
proses yang penulis sebut sebagai unmaking
of civil society. Kalangan masyarakat sipil yang menempuh jalan ini
sebagian besar gagal dalam proses politik demokrasi; mereka ”terlalu naif”
berpolitik dan ”kekurangan gizi” dalam proses politik yang makin transaksional
dan mahal. Masyarakat sipil juga makin tidak berdaya menghadapi jaring
kekuasaan yang terus mengunci rapat berbagai bidang kehidupan.
Fenomena
ini bisa terlihat dalam beberapa kasus mutakhir. Masyarakat sipil tersingkir
dalam proses pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi UU
KPK. Masyarakat sipil dan publik sejauh ini juga tidak disertakan dan tidak
terlibat dalam pembahasan dan perumusan rancangan undang-undang omnibus law,
misalnya.
Perkembangan
lain juga terlihat kian tidak menguntungkan masyarakat sipil. Belakangan
semakin menguat gejala police
state dan resentralisasi negara seiring merosotnya kontrol, serta
cek dan keseimbangan dari masyarakat sipil.
Selain
itu, masyarakat sipil juga harus berhadapan dengan ”koalisi politik”—untuk tak
menyebut ”konspirasi politik”—yang lebih menempatkan kepentingan politik
masing-masing di atas segalanya. Menghadapi gejala ini, masyarakat sipil hampir
tak berdaya.
Menghadapi
fenomena tak kondusif, masyarakat sipil perlu revitalisasi. Tanpa revitalisasi
masyarakat sipil, masa depan demokrasi dan lebih-lebih masa depan bangsa
Indonesia menjadi pertaruhan sangat mahal.
Masyarakat
sendiri ada kesediaan cukup kuat untuk memberdayakan kembali masyarakat sipil.
Jajak pendapat Kompas
menemukan, dua pertiga responden dari kelompok umur 17-30 dan juga 31-40 tahun
bersedia terlibat dalam gerakan masyarakat sipil.
Sekali
lagi, hanya dengan masyarakat sipil yang kuat, Indonesia dapat tumbuh menjadi
demokrasi terkonsolidasi, dengan pemerintahan bertata kelola yang baik untuk
lebih memajukan negeri ini. []
KOMPAS, 5
Maret 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar