Kuburan, Rumah Idaman dan
Penjara yang Menyiksa?
Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya Al-Jâmi’
li Ahkâmil Qur’ân menuliskan sebuah penjelasan tentang kematian:
قَالَ
الْعُلَمَاءُ: الْمَوْتُ لَيْسَ بِعَدَمٍ مَحْضٍ وَلَا فَنَاءٍ صِرْفٍ، وَإِنَّمَا
هُوَ انْقِطَاعُ تَعَلُّقِ الرُّوحِ بِالْبَدَنِ وَمُفَارَقَتُهُ، وَحَيْلُولَةٌ
بَيْنَهُمَا، وَتَبَدُّلُ حَالٍ وَانْتِقَالٌ مِنْ دَارٍ إِلَى دَارٍ
Artinya: “Para ulama berkata, kematian
bukanlah ketiadaan belaka dan bukan pula kerusakan semata. Kematian hanyalah
terputus dan terpisahnya hubungan ruh dengan badan, perubahan kondisi di antara
keduanya, pergantian keadaan, dan perpindahan dari satu kampung ke kampung yang
lain.” (Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jȃmi’ li Ahkȃmil Qur’ȃn, [Kairo:
Darul Hadis, 2010], Juz IX, Hal. 428)
Apa yang disampaikan oleh Al-Qurthubi di atas
setidaknya memberikan pemahaman kepada kita bahwa kematian bukanlah akhir dari
segalanya. Kematian seseorang tidak berarti perjalanan kehidupannya telah
selesai sama sekali dan kemudian tidak akan ada lagi fase berikutnya. Kematian
sesungguhnya adalah akhir satu fase dari beberapa fase kehidupan manusia yang
pasti akan dilaluinya. Kematian mengantarkan seorang manusia menjalani
kehidupan pada sebuah fase berikutnya yang tidak sama dengan fase kehidupan
sebelumnya.
Yang cukup menarik dari apa yang dijelaskan
Al-Qurthubi dan akan dibahas pada tulisan ini adalah kalimat intiqâlun min
dârin ilâ dârin, bahwa kematian merupakan perpindahan dari satu kampung ke
kampung yang lain.
Dapat digambarkan perihal orang yang berpindah
tempat dari satu kampung ke kampung yang lain, di kampung barunya ia dapat
beraktivitas sebagaimana ia beraktivitas di kampung lamanya. Ia dapat
mengunjungi tetangga rumahnya sesama penduduk kampung, pun ia masih bisa
mengunjungi keluarga yang ditinggalkannya di kampung lama, hingga ia mengetahui
bagaimana kabar mereka.
Demikian pula dengan orang yang meninggal
dunia. Di alam kuburnya—alam barzakh—ia bukan makhluk mati yang sama sekali tak
mampu beraktivitas. Di sana ia hidup dan beraktivitas dalam sebuah kehidupan
yang tentunya tak sama dengan kehidupan dunia.
Mereka yang telah memasuki alam barzakh dapat
saling mengunjungi satu sama lain, berbincang berbagai hal tentang apa-apa yang
dulu pernah mereka alami saat bersama hidup di alam dunia. Pun mereka juga
mengetahui apa-apa yang sedang terjadi pada keluarga mereka, para tetangga, dan
sanak keluarga yang masih hidup di dunia. Hanya saja mereka yang masih hidup di
dunia tak mengetahui apa yang terjadi di alam kubur sana.
Alam kubur atau alam barzakh tak ubahnya
seperti sebuah ruangan berkaca riben. Orang yang ada di dalamnya mampu melihat
orang yang di luar, namun orang yang di luar tak bisa melihat yang ada di
dalam.
Namun demikian, kehidupan di alam barzakh
yang seperti itu hanya dinikmati oleh mereka yang semasa hidup di dunianya
melakukan ketaatan kepada Allah dan berperilaku baik terhadap sesama
makhluk-Nya. Sedangkan mereka yang saat di dunia berperilaku menyimpang dari
ajaran Islam, tidak menaati Allah dan Rasul-Nya, serta tidak memperlakukan
sesama sebagaimana mestinya, maka alam kubur baginya laksana penjara. Ia tak
bisa meninggalkan tempatnya, melakukan aktivitas secara bebas, saling
mengunjungi dan berbicara dengan lainnya, juga tak tahu bagaimana kabar
keluarga yang ditinggalkannya.
Hal ini dapat dipahami dari penuturan Imam
Ibnu Qayim Al-Jauzi di dalam kitabnya Ar-Rûh:
أَن
الْأَرْوَاح قِسْمَانِ أَرْوَاح معذبة وأرواح منعمة فالمعذبة فِي شغل بِمَا هى
فِيهِ من الْعَذَاب عَن التزاور والتلاقي والأرواح المنعمة الْمُرْسلَة غير
المحبوسة تتلاقي وتتزاور وتتذاكر مَا كَانَ مِنْهَا فِي الدُّنْيَا وَمَا يكون من
أهل الدُّنْيَا
Artinya: “Sesungguhnya arwah ada dua macam;
arwah yang disiksa dan arwah yang diberi nikmat. Arwah yang disiksa sibuk
menjalani siksaan yang menjadikan mereka tidak bisa saling berkunjung dan
berjumpa dengan lainnya. Sedangkan arwah yang diberi nikmat bebas tidak
tertahan, mereka dapat saling bertemu, mengunjungi dan mengingat apa-apa yang
dulu terjadi di dunia dan apa-apa yang sedang terjadi pada penduduk dunia.”
(Ibnu Qayim Al-Jauzi, Ar-Rȗh, [Beirut: Darul Fikr, 2005], hal. 27)
Dari sini maka alam kubur bagi penghuninya
bisa merupakan rumah yang aman dan nyaman bagi yang menjalani ketaatan kepada
Allah, dan sebaliknya alam kubur juga bisa menjadi penjara bagi siapa saja yang
menyimpang dari aturan-aturan-Nya.
Maka apa pun amalan yang dilakukan oleh
seorang manusia pada saat hidup di dunia sesungguhnya ia sedang membangun
kuburnya sebagai rumah atau sebagai penjara. Bila ketaatan yang ia lakukan maka
kelak ketika meninggal dunia ia hanya berpindah dari rumah dunia ke rumah
barzakh yang bisa jadi jauh lebih menyenangkan baginya. Namun bila sebaliknya
maka bisa jadi ketika ia mati ia berpindah dari rumah dunia yang nyaman baginya
ke dalam penjara yang begitu menyiksa. Wallȃhu a’lam. []
Ustadz Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok
Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif di kepengurusan PCNU Kota Tegal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar