Meluruskan
Makna Jihad (43)
Lain
"Religiousness", Lain "Religious Mindedness"
Oleh:
Nasaruddin Umar
Ada dua
cara orang mengekspresikan rasa keagamaannya. Pertama, orang yang menyerahkan
diri sepenuhnya berada di dalam rangkulan agama. Keseluruhan pandangan hidup
dan perilakunya didominasi oleh ajaran formal agama. Seolah-olah ruang, waktu,
dan dirinya merupakan satu kesatuan kental dengan ajaran agama.
Sementara
di nun jauh di sana (transcendent)
ada Tuhan beserta para malaikat mengawasinya dengan ketat. Ruang dan jendela
untuk mengintip dunia nyata sangat terbatas karena dikelilingi dan dipenuhi
oleh spektrum legalitas ajaran agama. Di sekitarnya seolah dikelilingi daerah
terlarang sehingga dinamika dan kebebasan berekspresi menjadi kaku karena
terlalu banyak rambu-rambu yang berdiri tegak.
Kreativitas
dan inisiatifnya sebagai khalifah ditenggelamkan oleh kapasitas dirinya sebagai
abid (hamba).
Ekspresi keagamaan seperti ini disebut religiousness.
Kedua,
orang yang mengekspresikan rasa keagamaannya dengan merasa dia yang merangkul
agamanya. Agama bagaikan berada di dalam genggaman, ke mana pun ia pergi selalu
bersamanya, namun ia tidak merangkul dirinya melainkan dirinya yang menggenggam
agama itu.
Dampaknya,
orang akan merasa lebih merdeka dan memiliki hamparan luas dan longgar untuk
berekspresi dan berkreasi. Rambu-rambu pembatas itu tidak berdiri tegak di luar
dirinya tetapi melekat di dalam dirinya, sehingga pandangannya luas tanpa
terpantul oleh papan-papan verboden
keagamaan. Hidup dan kehidupannya lebih dinamis karena merasa diberikan
kebebasan penuh dari ajaran agamanya sendiri.
Pada
prinsipnya segala sesuatu boleh selain yang secara khusus dilarang. Jumlah
larangan itu amat sedikit. Ia merasa lebih merdeka sebagai khalifah karena
sikap perhambaan dirinya kepada Tuhan tidak menghalanginya untuk berkreasi dan
berinisiatif. Ekspresi keagamaan seperti ini disebut religious mindedness.
Suasana
batin pertama (religiousness)
cenderung lebih tertutup dan di dalam sisi batinnya ada respek, paling tidak
ada sikap mendua di dalam dirinya terhadap kelompok garis keras, karena ia
memandang hidup ini hitam-putih, artinya kalau bukan putih pasti hitam atau
sebaliknya.
Suasana
batin ini lebih berpotensi untuk berbenturan satu sama lain karena sudah ia
harus tegas dan istikamah terhadap keyakinan agama dianutnya. Orang lain yang
tidak sepaham dirinya cenderung salah, karena ia merasa lebih sesuai dengan
teks-teks ajaran agama.
Suasana
batin kedua (religious
mindedness) cenderung lebih terbuka dan tidak khawatir ke mana pun
dan di mana pun ia akan pergi serta apapun yang akan dikerjakan. Sepanjang
tidak melanggar prinsip-prinsip ajaran agama, maka sepanjang itu boleh
dilakukan. Jalan hidup tidak hanya hitam-putih, tetapi ada rona lain yang
diperkenankan Tuhan.
Hidup ini
dirasakan seperti full
colors, dan ia merasa diberikan otonomi untuk berikhtiar memilih color hidup yang sesuai
dengan kondisi real
hidupnya.
Dalam
konteks kekinian, pola keagamaan religious
mindedness lebih relevan untuk ditegakkan, khususnya agama Islam,
yang memberikan otonomi dan kemerdekaan lebih luas kepada manusia. Semua yang
tidak bertentangan dengan Islam itulah Islam, sebagaimana sabda Rasulullah: Hikmah atau kebajikan ada di
mana-mana, di mana pun Anda temukan ambillah karena itu milik Islam. []
DETIK, 03
Maret 2020
Prof. Dr.
Nasaruddin Umar, MA | Imam
Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar