Syarat dan Ketentuan
Jatuhnya Talak atau Cerai Suami-Istri
Talak atau perceraian adalah terlepasnya
ikatan perkawinan antara suami-istri, baik karena ungkapan talak sang suami,
ungkapan tak disadarinya, maupun karena gugatan sang istri melalui meja
pengadilan. Meski talak merupakan perkara yang diperbolehkan dalam syariat,
tapi selama perkawinan masih bisa dipertahankan, seharusnya ia dihindari.
Karena, tak sedikit dampak negatif yang ditimbulkan akibat perceraian, baik
bagi keluarga, anak-anak, maupun masyarakat secara umum.
Hanya saja, jika mahligai rumah tangga sudah
tak mungkin dipertahankan, jalan damai antara suami-istri sudah mengalami
kebuntuan, kerugian keduanya atau salah satunya diperkirakan akan lebih besar,
maka jalan terakhir adalah talak atau perceraian. Kendati demikian, talak bukan
berarti pemutus tali perkawinan sekaligus. Sebab, ia memiliki beberapa
tingkatan yang memungkinkan seorang suami bisa rujuk kepada istri yang
diceraikannya.
Layaknya sebuah akad, talak juga memiliki
sejumlah syarat dan ketentuan, sehingga ia menjadi sah atau jatuh kendati tak
disadari orang yang menjatuhkannya. Para ulama fiqih melihat syarat dan
ketentuan talak ini dari tiga aspek. Pertama, dari aspek yang menjatuhkan,
yaitu suami. Kedua, dari aspek yang ditalak, yakni istri. Ketiga, dari aspek
ungkapan atau redaksi talak.
Pertama, yang menjatuhkan talak adalah suami
yang sah, baligh, berakal sehat, dan menjatuhkan talak atas kemauannya sendiri.
Artinya, tidak sah seorang laki-laki yang menalak perempuan yang belum
dinikahinya, seperti mengatakan, “Jika aku menikahinya, maka ia
tertalak.”
Demikian pula anak kecil dan orang yang
hilang kesadaran akalnya, seperti karena tidur, sakit, tunagrahita, dan mabuk.
Hanya saja, menurut Syekh al-Syairazi dalam al-Muhadzab, (Beirut: Darul Kutub,
jilid 3, hal. 3) hilangnya kesadaran mereka perlu dilihat penyebabnya.
فأما
من لا يعقل فإنه لم يعقل بسبب يعذر فيه كالنائم والمجنون والمريض ومن شرب دواء
للتداوي فزال عقله أو أكره على شرب الخمر حتى سكر لم يقع طلاقه لأنه نص في الخبر
على النائم والمجنون وقسنا عليهما الباقين وإن لم يعقل بسبب لا يعذر فيه كمن شرب
الخمر لغير عذر فسكر أو شرب دواء لغير حاجة فزال عقله فالمنصوص في السكران أنه يصح
طلاقه
Artinya, “Adapun orang yang tidak sadar, jika
tak sadarnya karena sebab yang dimaafkan, seperti orang yang sedang tidur,
tunagrahita, sakit, dan minum obat guna mengobati penyakitnya, sampai hilang
kesadaran akalnya, atau dipaksa minum khamr sampai mabuk, maka ia tidak jatuh
talaknya, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam nash hadits tentang orang
tidur dan orang tunagrahita. Maka kita analogikan saja yang lain kepada
keduanya. Selanjutnya, jika seseorang hilang kesadaran akalnya karena sebab
yang tidak dimaafkan, seperti orang yang minum khamr tanpa alasan sampai mabuk,
atau minum obat tanpa ada kebutuhan, sehingga hilang kesadaran akalnya, maka
menurut pendapat (nash) yang telah ditetapkan tentang orang mabuk, jatuhlah
talaknya.”
Begitu pula orang yang dipaksa menjatuhkan
talak juga perlu dilihat paksaannya: apakah hak atau tidak. Jika paksaannya hak
seperti paksaan hakim di pengadilan, maka talak yang dijatuhkannya adalah sah
dan jatuh. Sama halnya dengan keputusan cerai yang telah diputuskan oleh hakim
pengadilan.
Selanjutnya, Syekh al-Syairaji merinci
kriteria paksaan tersebut: (1) pihak yang memaksa lebih kuat dari yang dipaksa,
sehingga tak bisa ditolak; (2) berdasarkan dugaan kuat, jika paksaan itu
ditolak, sesuatu yang ditakutkan akan terjadi; (3) paksaan akan diikuti dengan
sesuatu yang lebih membahayakan, seperti pemukulan, pembunuhan, dan
seterusnya.
Maka dalam kondisi demikian, ungkapan jelas
seseorang yang menjatuhkan talak dianggap sebagai ungkapan sindiran. Jika diniatkan
dalam hatinya, talaknya jatuh. Jika tidak diniatkan, talaknya tidak jatuh,
sebagaimana yang diungkap oleh Syekh Muhammad ibn Qasim dalam Fathul Qarib
(Semarang: Pustaka al-‘Alawiyyah, tanpa tahun, hal. 47).
Pertanyaannya, bagaimana dengan talak orang
yang marah? Syekh Zainuddin al-Maibari, salah seorang ulama Syafi‘i, menyatakan
dalam Fathul Mu‘in, (Terbitan Daru Ihya al-Kutub, hal. 112).
واتفقوا
على وقوع طلاق الغضبان وإن ادعى زوال شعوره بالغضب
Artinya, “Para ulama sepakat akan jatuhnya
talak orang yang sedang marah, meskipun ia mengaku hilang kesadaran akibat
kemarahannya.”
Kedua, istri yang ditalak harus dalam keadaan
suci dan tidak dicampuri, yang kemudian talaknya dikenal dengan “talak sunnah”
dalam arti talak yang diperbolehkan. Sedangkan istri yang ditalak dalam keadaan
haid atau dalam keadaan suci setelah dicampuri, dikenal dengan “talak bid‘ah”
dalam arti talak yang diharamkan. Kedua jenis talak ini berlaku bagi istri yang
masih haid. Sedangkan bagi istri yang tidak haid—seperti istri yang belum haid,
istri yang sedang hamil, istri yang sudah menopause, atau istri yang ditalak
khuluk dan belum dicampuri—tidak berlaku.
Salah satu hikmah keharusan talak dijatuhkan
saat istri sedang suci adalah agar ia langsung menjalani masa iddah, sehingga
masa iddahnya menjadi lebih singkat. Berbeda halnya, jika talak dijatuhkan saat
istri sedang haid, meskipun tetap sah, maka masa iddahnya menjadi lebih lama
karena dihitung sejak dimulainya masa suci setelah haid. Demikian pula
jika istri ditalak dalam masa suci tetapi setelah dicampuri, maka kemungkinan
untuk hamil akan terbuka. Jika itu terjadi, maka masa mengandung hingga
melahirkan akan menjadi masa iddahnya.
Ketiga, redaksi talak yang dipergunakan bisa
berupa ungkapan yang jelas (sharih), bisa juga berupa ungkapan sindiran
(kinayah). Maksud ungkapan jelas di sini, tidak ada makna lain selain makna
talak. Sehingga meskipun seseorang tidak memiliki niat untuk menjatuhkan talak
dalam hati, jika yang dipergunakan adalah ungkapan sharih maka talaknya jatuh.
Contohnya, “Saya talak kamu,” atau “Saya ceraikan kamu,” atau “Saya lepaskan
kamu.”
Berbeda halnya dengan ungkapan kinayah.
Sebagaimana diketahui, ungkapan kinayah mungkin bermakna talak, mungkin pula
bermakna lain. Sehingga talaknya akan jatuh manakala ada niat talak dalam hati
yang mengucapkanya. Artinya, jika tidak ada niat, maka talaknya tidak jatuh.
Contohnya, “Sekarang kamu bebas,” atau “Sekarang kamu lepas,” atau “Pergilah
kamu ke keluargamu!” Hanya saja, menurut Abu Hanifah, ungkapan kinayah yang
cukup jelas, tetap tidak memerlukan niat. Contohnya, “Engkau sekarang sudah
jelas, bebas, lepas, dan haram (bagiku). Maka pergilah dan pulanglah ke
keluargamu!” Pendapat ini juga didukung oleh Imam Malik. Sementara menurut Imam
Ahmad, makna atau konteks keadaan dalam semua ungkapan kinayah menentukan
status niat. (Lihat: al-Nawawi, Majmu‘ Syarh al-Muhadzab, Darul Fikr, Beirut,
Jilid 17, hal. 104).
Sejalan dengan ungkapan kinayah adalah
ungkapan sharih yang dilontarkan oleh seorang yang dipaksa. Maka jatuh dan
tidaknya talak kembali kepada niat dalam hatinya. Jika bersamaan dengan
ungkapan itu ada niat, maka jatulah talaknya. Begitu pula sebaliknya.
Talak juga jatuh dengan ungkapan ta‘liq,
seperti ungkapan seorang suami kepada istrinya, “Jika engkau masuk lagi ke
rumah laki-laki itu, maka engkau tertalak.” Jika istrinya benar-benar masuk ke
rumah tersebut, maka jatuhlah talaknya (lihat: Syekh Muhammad ibn
Qasim, Fathul Qarib [Semarang: Pustaka al-‘Alawiyyah], tanpa tahun, hal.
48).
Kemudian talak juga jatuh dengan ungkapan
senda gurau atau main-main selama disengaja mengucapkannya sekalipun tak
disengaja maknanya (lihat: Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha
ad-Dimyathi, I‘anah al-Thâlibîn, jilid 4, hal. 8).
Demikianlah uraian singkat tentang syarat dan
ketentuan talak. Semoga ada manfaatnya. Wallahu ‘alam. []
Ustadz M. Tatam Wijaya, Alumni PP Raudhatul
Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin”
Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar