Jumat, 27 Maret 2020

Kang Komar: Sembelihlah Anakmu!


Sembelihlah Anakmu!
Oleh: Komaruddin Hidayat

TERDAPAT kisah dalam kitab suci Alquran dan Bibel, bahwa Nabi Ibrahim diperintah Tuhan untuk menyembelih putranya yang sangat dicintainya. Sebuah kisah yang sulit diterima nalar.

Umat Islam meyakini yang dimaksud putra laki-laki itu adalah Ismail, sedangkan versi kristiani adalah Ishak. Namun akhirnya, atas perintah Tuhan, peristiwa penyembelihan itu diurungkan, lalu digantikan dengan menyembelih kambing kibas yang gemuk dan sehat.

Kalau saja cerita itu tidak terdapat dalam kitab suci, hati dan pikiran saya sulit menerimanya. Tuhan yang saya yakini dan sembah adalah tuhan yang Maha Pengasih, bukan tuhan yang haus sesaji darah manusia.Tuhan yang saya imani adalah tuhan yang menjunjung tinggi nilai dan eksistensi kemanusiaan, apa pun latar belakang etnis dan agamanya, karena sesungguhnya semesta seisinya ini adalah ciptaan-Nya dan hadir atas kehendak-Nya.

Lalu, apa dan siapa yang disembelih? Kisah dramatis Ibrahim, istri dan anaknya seputar penyembelihan anak yang kemudian dibatalkan oleh Tuhan, dikisahkan kembali dalam Alquran tentu mengandung pesan buat kita semua, apa pun agama dan bangsanya. Bayangkan, Ibrahim yang sudah berusia lanjut belum juga diberi anak.

Setiap malam Ibrahim berdoa semoga mendapatkan keturunan, sampai-sampai Sarah turut sedih dan haru mendengarkan rintihan doa suaminya, sehingga Ibrahim diizinkan menikahi Hajar, perempuan berkulit hitam sebagai istri keduanya, semoga bisa memberikan keturunan. Rupanya Tuhan mengabulkan doanya, sehingga ketika lahir anak lelaki itu diberi nama Ismail, Allah mendengarkan dan mengabulkan doanya.

Singkat cerita, begitu lahir, Tuhan menyuruh Ibrahim dan Hajar meninggalkan kampungnya di wilayah Israel hari ini menuju Mekkah yang waktu itu merupakan padang pasir gundul dan gersang. Sesampai di Mekkah, Hajar dan Ismail ditinggal. Hati Ibrahim dan Hajar merasa sangat sedih dan pilu, namun mesti dilakukan semata mengikuti perintah Tuhan.

Lagi-lagi, kalau saja bukan cerita kitab suci, nalar sulit menerima cerita ini. Bagaimana mungkin anak laki yang sudah lama didambakan kehadirannya, lalu diterlantarkan di tanah gersang bersama istrinya.

Begitulah, ketika Ismail menginjak usia 14 tahun, Ibrahim datang ke Mekkah untuk melepas rindu melihat anak dan istrinya. Betapa bahagianya ketika menjumpai Ismail sudah tumbuh menginjak dewasa dengan badannya yang tegap dan tampan.

Namun lagi-lagi ujian Tuhan belum berakhir, justru kali ini datang lebih besar dan mengharu-biru iman dan perasaan. Yaitu lewat mimpi, Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih Ismail.

Terjadilah keguncangan dan gejolak jiwa Ibrahim. Lalu, dia sampaikan perintah itu kepada Hajar dan Ismail. Mereka pun ragu akan kesahihan perintah itu.

Tetapi ternyata perintah itu berulang lagi sampai tiga kali, sehingga Ibrahim, Hajar, dan Ismail menjadi yakin bahwa itu memang perintah Tuhan. Sungguh luar biasa, di luar jangkauan nalar pada umumnya, Ibrahim, Hajar, dan Ismail menyatakan siap dan mantap untuk melaksanakan perintah itu sehingga proses drama eksistensial penyembelihan Ismail segera dimulai.

Singkat cerita, ketika semua tahapan sudah dilalui dan sampai pada menit-menit akhir untuk eksekusi, tiba-tiba datang perintah Tuhan agar penyembelihan Ismail dibatalkan, diganti dengan menyembelih hewan domba yang ada di dekat Ismail. Lalu dagingnya dimasak dan dimakan dengan penuh rasa syukur, tanda telah lulus dari ujian yang amat dahsyat.Rupanya yang diminta Tuhan itu bukan menyembelih fisik putranya, melainkan agar Ibrahim menyembelih berhala yang bertengger di hati, yaitu sikap mempertuhankan anak, harta, dan dunia.

Apa pesan moral cerita ini? Tentu tiap pembaca bebas menafsirkannya. Ibrahim itu representasi sosok seorang pemimpin yang dikenal sebagai bapak tiga agama besar dunia, Yahudi, Kristen, dan Islam.

Dia juga memiliki gelar kekasih Tuhan. Seakan tuhan hendak menguji dan mendidik kekasih-Nya, agar cintanya tidak beralih dan bergeser pada anak dan dunia.

Anak adalah kristalisasi objek kecintaan duniawi. Dalam bawah sadarnya, orang tua bekerja sampai membanting tulang siang dan malam demi anak.

Oleh karena itu, kisah ini juga mengandung pesan, siapa pun jadi pemimpin, sejak dari tingkat presiden sampai camat, hendaknya hati-hati menyikapi godaan anak dan harta. Jangan sampai kecintaannya pada mereka, lalu melupakan kecintaanya pada Tuhan, pada amanat kepemimpinannya, pada kebenaran dan pada rakyat.

Sejarah mengajarkan, sosok pemimpin yang tidak hati-hati menghadapi godaan anak bisa jatuh reputasinya. Alquran (8:25) mengingatkan bahwa harta dan anak itu disebut "fitnah". Sebuah ujian berat bagi kita semua. []

KORAN SINDO, 13 Maret 2020
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar