Menanti Angin Perubahan di Arab Saudi
Oleh: Zuhairi Misrawi
Muhammad bin Salman (MBS) terus melakukan berbagai manuver untuk
memuluskan ambisinya sebagai calon terkuat orang nomor satu di Arab Saudi,
suksesor ayahandanya Salman bin Abdul Aziz. Ia tidak ingin ada pihak-pihak yang
mencoba menggagalkan ambisinya untuk merebut kursi kekuasaan. Sebab itu, yang
teranyar ia menangkap dua sosok penting yang digadang-gadang sebagai kandidat
Raja di masa mendatang, yaitu Ahmed bin Abdul Aziz dan Mohammed bin Nayef.
Hingga saat ini tidak ada keterangan resmi dari MBS perihal
penangkapan tersebut. Isu yang menggelinding di berbagai media kawasan
Timur-Tengah, penangkapan tersebut terkait kasak-kusuk kudeta yang mulai
menyeruak di lingkaran keluarga besar al-Saud. Mereka mulai gerah dengan
manuver yang dilakukan MBS, termasuk kemampuannya dalam mengelola pemerintahan
dan membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Kematian Jamal Khashoggi yang masih misterius hingga sekarang
telah menghilangkan kepercayaan dunia internasional terhadap MBS. Bahkan,
banyak pihak yang meminta agar MBS diadili. Namun, sokongan dari Donald Trump
terhadap MBS menjadikan dirinya bisa bernapas dari tekanan dunia internasional.
Selain itu, konflik Yaman menjadi rapor merah bagi MBS, karena
belum ada tanda-tanda berakhirnya konflik. Alih-alih memenangkan pertarungan
melawan Houthi, keamanan Arab Saudi justru terancam karena simbol-simbol kerajaan
justru menjadi target sasaran rudal Houthi. MBS terbukti tidak mempunyai
kemampuan kepemimpinan dalam memastikan keamanan domestik dan regional.
Puncaknya, MBS terlihat semakin represif terhadap pihak-pihak yang
ditengarai kritis terhadap kebijakan yang dikeluarkan dirinya. Ribuah ulama,
aktivis, bahkan keluarga kerajaan dipenjara, disiksa, dan ditangkap tanpa
melalui proses pengadilan yang transparan. MBS ingin menunjukkan kekuasaan dan
kekuatannya, sehingga tidak ada seorang pun yang bisa mengkritiknya.
Ahmed bin Abdul Aziz dan Mohammed bin Nayef merupakan dua sosok
yang potensial menjadi suksesor Raja Salman bin Abdul Aziz yang saat ini dalam
kondisi kesehatan yang kurang baik. Dari garis keluarga dan kapasitas kedua
sosok ini sebenarnya lebih cocok untuk menjadi Raja daripada MBS. Hal tersebut
juga didukung oleh sebuah tradisi dan fakta bahwa Putera Raja tidak secara
otomatis menjadi Raja. Keluarga besar kerajaan al-Saud biasanya melakukan
musyawarah untuk menentukan siapa yang akan disepakati sebagai khalifah, suksesor.
Namun MBS justru mengambil langkah politik represif terhadap
pamannya (Ahmed bin Abdul Aziz) dan sepupunya (Mohammed bin Nayef). Hingga saat
ini tidak ada penjelasan ke publik perihal ditangkapnya kedua sosok penting
tersebut. Ironis, penangkapan dua sosok penting, tapi tidak ada penjelasan sama
sekali.
Pada 2017 lalu, MBS juga melakukan penangkapan terhadap beberapa
sosok penting dalam lingkaran keluarga kerajaan dengan dalih melawan korupsi.
MBS ingin menunjukkan bahwa dirinya mempunyai komitmen untuk melawan korupsi
yang dilakukan oleh saudara dan lingkaran kerajaan yang selama ini dikenal
mempunyai kekebalan politik.
Namun semua tahu bahwa MBS sedang mengonsolidasi kekuasaannya. Ia
ingin menunjukkan sebagai penguasa de
facto, menggantikan ayahnya Raja Salman bin Abdul Aziz yang dalam
kondisi kesehatan tidak baik. MBS memimpin langsung masalah ekonomi, luar
negeri, dan pertahanan. Ia sedang mencari cara untuk mulusnya transisi
kekuasaan dari ayahnya kepada dirinya. Sebab itu, muncul rumor bahwa MBS sedang
berusaha agar transisi kekuasaan berlangsung dalam waktu dekat sebelum akhir
tahun ini.
Sebenarnya MBS ingin secepatnya ditetapkan sebagai Raja, tetapi
kasus pembunuhan Jamal Khashoggi telah menjadi kartu mati bagi dirinya. Ia
telah kehilangan kepercayaan dunia internasional, yang ditandai dengan
penolakan para investor dalam megaproyek Neom 2030. Hasil investasi telah
membuktikan keterlibatan MBS dalam kematian jurnalis yang mempunyai kedekatan
dengan keluarga kerajaan tersebut.
Maka dari itu, manuver yang dilakukan MBS menimbulkan tanda-tanya
banyak pihak. Ada persoalan serius dalam keluarga kerajaan perihal kepercayaan
terhadap MBS. Jika selama ini dunia internasional sudah kehilangan kepercayaan
terhadap MBS, maka keluarga kerajaan juga sudah melalui gerah dengan manuver
MBS. Tidak hanya itu, MBS terbukti sudah menampar muka keluarga kerajaan karena
ia tidak hanya represif terhadap mereka yang kritis kepada dirinya, melainkan
juga terhadap saudara-saudaranya yang lebih tua, yang semestinya ia juga harus
memberikan penghormatan.
Penangkapan terhadap Ahmed bin Abdul Aziz dan Mohammed bin Nayef
merupakan langkah ceroboh, karena keduanya merupakan simbol lingkaran kerajaan
yang semestinya harus diperlakukan secara terhormat. Nafsu kekuasaan MBS
sejatinya tidak menjadikannya secara serampangan menghancurkan simbol-simbol
penting dalam keluarga kerajaan.
Keberlangsungan Dinasti al-Saud selama beberapa dekade terakhir
karena didukung dan disokong sepenuhnya oleh keluarga kerajaan yang mempunyai
soliditas dan solidaritas yang tinggi dengan melakukan proses musyawarah secara
mufakat dalam mengambil keputusan strategis, khususnya soal suksesi
kepemimpinan. Karenanya, suksesi kekuasaan bisa berlangsung secara damai.
Manuver seperti yang dilakukan MBS pernah dilakukan oleh Raja
Faisal dengan menyingkirkan seluruh keluarga al-Saud untuk memuluskan jalannya
sebagai Raja pada 1960-an. Namun kondisinya saat ini tidak mudah, karena MBS
terlalu dalam melakukan manuver yang menjadikannya tidak hanya sebagai musuh
bagi dunia internasional, tetapi juga musuh di dalam lingkaran kerajaan. Jika
tidak hati-hati, maka seluruh ambisi MBS akan berujung pada malapetaka yang
lebih besar bagi perubahan tatanan sosial dan politik yang bersifat
revolusioner.
Di tengah kesimpangsiuran masa depan Arab Saudi dan hempasan
ekonomi yang semakin tidak jelas, tidak menutup kemungkinan adanya konsolidasi
kelompok kritis dan kaum muda milenial yang menghendaki perubahan secara
menyeluruh. Jika ini yang terjadi, maka akan berembus angin revolusi di Arab
Saudi yang menandakan sebuah perubahan besar akan terjadi. []
DETIK, 12 Maret 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis
pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar