Virus Korona; Stigmatisasi
Oleh: Azyumardi Azra
Bencana pandemik global virus Korona yang juga disebut Covid-19 yang berasal dari Wuhan, China Daratan, menyebar cepat. Warga sekitar 190 negara besar dan kecil di berbagai benua terlanda penyakit yang belum ada obatnya ini. Berbagai usaha penelitian dan pengembangan untuk menemukan obat penangkal virus korona belum menampakan hasil.
Angka penyebararan Covid-19 terus meningkat di berbagai penjuru.
Wabah ini mengerikan karena sudah mematikan lebih 5000 orang yang bakal terus
meningkat. Belum terlihat tanda-tanda meyakinkan, kematian karena virus korona
baru ini berhenti.
Tidak ada jalan pintas dan efektif untuk membendung virus korona.
Ada negara-negara yang menerapkan isolasi atau karantina diri (lockdown), menutup diri
penuh; tidak ada orang yang boleh masuk atau pun keluar.
Atau menerapkan penjarakan sosial (social distancing) untuk mengurangi interaksi
antar manusia yang menyebarkan Covid-19. Warga dianjurkan berdiam di rumah;
tidak keluar kecuali untuk urusan yang memang sangat perlu
Tetapi dalam perkembangan memprihatinkan itu, juga kian tersibak
harapan dengan meningkatnya jumlah mereka yang sembuh. Di sejumlah negara,
jumlah mereka yang sembuh lebih banyak daripada munculnya kasus-kasus baru
mereka yang terlanda virus korona.
Hikmah dan pelajaran apa yang bisa diambil dari kasus virus korona
yang menjadi pandemi global?
Satu hal penting, kemunculan dan penyebaran Covid-19 meningkatkan
pertengkaran global di antara dua negara yang kini sudah menjadi musuh
bebuyutan: China dan Amerika Serikat. Kalangan pejabat tinggi pemerintah China
secara terbuka menyatakan virus korona adalah buatan AS yang disebarkan
tentaranya yang mengikuti pekan olahraga militer di Wuhan China sekitar Agustus
2019.
AS menolak tuduhan itu. Sebaliknya menuduh China bertanggung-jawab
atas kemunculan dan penyebaran virus korona secara cepat ke berbagai penjuru
dunia. Kalangan pejabat tinggi AS menyatakan, akhirnya China secara ekonomi
mendapat lebih banyak ‘keuntungan’ daripada AS.
Bisa dipastikan, pertengkaran di antara kedua negara ini terus
berlanjut. Adu mulut di antara China dan AS jelas tidak hanya terkait bencana
Covid-19, tetapi juga dalam isyu lain terkait persaingan ekonomi dan juga
politik.
Pelajaran lain dari bencana Covid-19 adalah meningkatnya prasangka
dan stigmatisasi rasial ke dalam interaksi antar manusia dan juga wacana dalam
media sosial. Karena dibayangi prasangka dan stigmatisasi, sering perilaku
dalam interaksi dan wacana media sosial tidak masuk akal. Sepatutnya warga
masyarakat tetap berpikir dan bertindak rasional—menghindari diri dari
prasangka, bias dan stigmatisasi.
Salah satu contoh sikap yang nampaknya bersumber dari prasangka
dan stigmatisasi itu adalah perlakuan tidak menyenangkan atau bahkan dianggap
diskriminatif terhadap warga dan anak-anak Jepang di Jakarta pekan lalu
(9-10/3/2020). Duta besar Jepang untuk Indonesia, Mashafumi Ishii menyampaikan
keberatannya ke Kementerian Luar Negeri Indonesia dan Kantor Staf Kepresidenan
(KSP).
Dubes Ishii menyatakan mendapat laporan tentang perlakuan tidak
menyenangkan atau bahkan diskriminasi kalangan warga Indonesia terhadap
anak-anak dan warga Jepang yang dianggap sebagai penyebar virus korona. “Kami
telah menyampaikan rasa prihatin kepada masyarakat Indonesia, Warganegara
Jepang yang berada di Indonesia bukan sumber penyebaran virus, melainkan
sahabat Indonesia”.
Menyimak komplain Dubes Jepang, Wamenlu Mahendra Siregar berjanji
menyelidiki duduk perkara kasus tersebut. “Perlakuan diskrimnatif tidak bisa
dibenarkan”, katanya. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Donny
Gahral Adian juga bersikap sama. “Prasangka dan stigmatisasi terkait virus
korona jelas tidak bisa dibiarkan”.
Munculnya prasangka dan stigmatisasi terhadap warga Jepang terkait
sebagai ‘sumber korona’ boleh jadi karena warga Indonesia tidak bisa membedakan
wajah dan penampilan orang Jepang dengan orang Wuhan atau China Daratan. Muncul
dan berkembangnya wabah korona dari Wuhan atau China Daratan membangkitkan
prasangka dan stigmatisasi di banyak negara terhadap warga China. Di sini
orang-orang berwajah mirip China—seperti Jepang—juga menjadi sasaran prasangka
dan stigmatisasi. Beberapa kasus seperti ini juga terjadi di negara-negara
lain.
Bagaimanapun, di tengah bencana korona yang belum tahu kapan berakhirnya, prasangka dan stigma tak patut dikembangkan. Sebaliknya, semua umat manusia harus memperkuat solidaritas dan kebersamaan. []
REPUBLIKA, 19 Maret 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar