Rabu, 04 Maret 2020

Nasaruddin Umar: Meluruskan Makna Jihad (34): Merespons dan Memaafkan Pengritik


Meluruskan Makna Jihad (34)
Merespons dan Memaafkan Pengritik
Oleh: Nasaruddin Umar

Ibnu Abbas meriwayatkan kisah fenomenal dari sosok Luqmanul Hakim, seorang manusia biasa yang pekerjaan sehari-harinya pencari kayu bakar di Habsy. Ia bukan Nabi, bukan Rasul, bukan bangsawan, dan bukan pula ulama besar. Ada riwayat menyebutkan ia seorang hakim di zaman Nabi Daud. Riwayat lain menyebutkan ia hidup sesudah Nabi Isa, sebelum Nabi Muhammad lahir. Ia memiliki banyak kelebihan di balik kesederhanaannya sehingga namanya diabadikan di dalam Al-Quran sebagai Surah Luqman.

Menurut Ibnu Katsir, nama panjang Luqman ialah Luqman bin Unaqa' bin Sadun. Ia digambarkan bertubuh pendek dan berhidung mancung, berasal dari Nubah, dan ada juga yang berpendapat ia berasal dari Sudan.

Suatu hari, Luqmanul Hakim masuk ke pasar menaiki seekor himar (keledai), sedangkan anaknya mengikuti dari belakang. Melihat tingkah laku Luqman, ada sekumpulan orang yang berkata. "Lihatlah oran tua yang tidak punya perasaan, ia keenakan sementara anaknya berjalan kaki." Setelah mendengarkan kata-kata itu, maka Luqman turun dari atas keledai lalu anaknya disuruh naik ke atas keledai, sedangkan ia sendiri berjalan kaki.

Melihat kenyataan itu, maka orang-orang pasar kembali mencemoh, "Lihat orangtua itu, ia berjalan kaki sedangkan anaknya keenakan di punggung keledai, sungguh anak itu tidak tahu malu." Mendengar itu, Luqmanul Hakim juga naik ke atas keledai bersama-sama anaknya. Orang-orang pasar kembali mencemoh, "Lihat itu ada dua orang menaiki seekor keledai, sungguh menyiksa keledai itu."

Karena tidak suka mendengar cemoohan itu, maka Luqmanul Hakim dan anaknya turun dari keledai. Orang-orang pasar kembali mencibir, "Lihat itu, dua orang berjalan kaki, sedangkan keledai tidak dikendarai."

Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari Luqmanul Hakim ialah, kritik dan hujatan dari orang lain terhadap penampilan dan kebijakan yang kita pilih tidak boleh memalingkan kita ke titik nol. Hampir mustahil memenuhi seluruh harapan dan kehendak orang lain kepada kita, apalagi kalau kita sedang mengemban jabatan publik.

Lukmanul Hakim tetap melanjutkan perjalanan sambil melakukan penyesuaian diri. Seseorang tidak perlu tersinggung jika dikritik sebab kritik itu pada umumnya bertujuan untuk memperbaiki keadaan. Pengritik juga harus bijaksana. Tidak etis kritik dilayangkan, didorong oleh rasa kecemburuan. Jika kita sudah berusaha memperbaiki semua harapan para pengritik namun masih saja tetap kritiknya jalan, anggaplah itu bagian dari upaya untuk lebih mengokohkan keimanan dan kematangan spiritual kita.

Semakin banyak kritik yang kita terima dan kita berusaha memahaminya, maka pada saat itu pengritik akan bertambah matang pula. Yang penting buat kita adalah kelapangan dada harus dimiliki. Semakin lapang dada ini, semakin nyaman kritikan itu; semakin sempit hati menerima kritikan, semakin pedas rasa kritikan itu. Akhirnya kita kembalikan kepada Allah.

Faidza 'azamta fatawakkal 'alallah (Jika sudah berusaha dan berketetapan hati, maka serahkanlah sepenuhnya kepada Allah). Innallah ma'an (sesungguhnya Allah selalu bersama kita). []

DETIK, 19 Februari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar