Meluruskan Makna Jihad (34)
Merespons dan Memaafkan Pengritik
Oleh: Nasaruddin Umar
Ibnu Abbas meriwayatkan kisah fenomenal dari sosok Luqmanul Hakim,
seorang manusia biasa yang pekerjaan sehari-harinya pencari kayu bakar di
Habsy. Ia bukan Nabi, bukan Rasul, bukan bangsawan, dan bukan pula ulama besar.
Ada riwayat menyebutkan ia seorang hakim di zaman Nabi Daud. Riwayat lain menyebutkan
ia hidup sesudah Nabi Isa, sebelum Nabi Muhammad lahir. Ia memiliki banyak
kelebihan di balik kesederhanaannya sehingga namanya diabadikan di dalam
Al-Quran sebagai Surah Luqman.
Menurut Ibnu Katsir, nama panjang Luqman ialah Luqman bin Unaqa' bin
Sadun. Ia digambarkan bertubuh pendek dan berhidung mancung, berasal dari
Nubah, dan ada juga yang berpendapat ia berasal dari Sudan.
Suatu hari, Luqmanul Hakim masuk ke pasar menaiki seekor himar
(keledai), sedangkan anaknya mengikuti dari belakang. Melihat tingkah laku
Luqman, ada sekumpulan orang yang berkata. "Lihatlah oran tua yang tidak
punya perasaan, ia keenakan sementara anaknya berjalan kaki." Setelah
mendengarkan kata-kata itu, maka Luqman turun dari atas keledai lalu anaknya disuruh
naik ke atas keledai, sedangkan ia sendiri berjalan kaki.
Melihat kenyataan itu, maka orang-orang pasar kembali mencemoh,
"Lihat orangtua itu, ia berjalan kaki sedangkan anaknya keenakan di
punggung keledai, sungguh anak itu tidak tahu malu." Mendengar itu, Luqmanul
Hakim juga naik ke atas keledai bersama-sama anaknya. Orang-orang pasar kembali
mencemoh, "Lihat itu ada dua orang menaiki seekor keledai, sungguh
menyiksa keledai itu."
Karena tidak suka mendengar cemoohan itu, maka Luqmanul Hakim dan
anaknya turun dari keledai. Orang-orang pasar kembali mencibir, "Lihat
itu, dua orang berjalan kaki, sedangkan keledai tidak dikendarai."
Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari Luqmanul Hakim ialah,
kritik dan hujatan dari orang lain terhadap penampilan dan kebijakan yang kita
pilih tidak boleh memalingkan kita ke titik nol. Hampir mustahil memenuhi
seluruh harapan dan kehendak orang lain kepada kita, apalagi kalau kita sedang
mengemban jabatan publik.
Lukmanul Hakim tetap melanjutkan perjalanan sambil melakukan
penyesuaian diri. Seseorang tidak perlu tersinggung jika dikritik sebab kritik
itu pada umumnya bertujuan untuk memperbaiki keadaan. Pengritik juga harus
bijaksana. Tidak etis kritik dilayangkan, didorong oleh rasa kecemburuan. Jika
kita sudah berusaha memperbaiki semua harapan para pengritik namun masih saja
tetap kritiknya jalan, anggaplah itu bagian dari upaya untuk lebih mengokohkan
keimanan dan kematangan spiritual kita.
Semakin banyak kritik yang kita terima dan kita berusaha
memahaminya, maka pada saat itu pengritik akan bertambah matang pula. Yang
penting buat kita adalah kelapangan dada harus dimiliki. Semakin lapang dada
ini, semakin nyaman kritikan itu; semakin sempit hati menerima kritikan,
semakin pedas rasa kritikan itu. Akhirnya kita kembalikan kepada Allah.
Faidza 'azamta
fatawakkal 'alallah (Jika sudah berusaha dan berketetapan hati,
maka serahkanlah sepenuhnya kepada Allah). Innallah
ma'an (sesungguhnya Allah selalu bersama kita). []
DETIK, 19 Februari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam
Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar