Meluruskan
Makna Jihad (41)
Lain
Al-Quran, Lain Tafsir
Oleh:
Nasaruddin Umar
Artikel
ini tidak bermaksud mempertentangkan antara Al-Quran dan tafsirnya. Lebih jauh,
saya tidak serta-merta mengedepankan pendekatan negasi (principle of negation) ala
Hegel yang senang membangun pemikiran baru melalui pola
tesis-antitesis-sintesis, yang ujung-ujungnya hanya akan mendangkalkan
nilai-nilai spiritual.
Saya
menurunkan sejumlah artikel yang berusaha membedakan istilah-istilah yang
sering dirancukan pemahamannya di dalam masyarakat, seperti antara fanatik dan
radikal, antara jihad dan teroris, antara ajaran Islam dan budaya Arab, antara
syariah dan fikih, antara Al-Quran dan terjemah/tafsirnya, dan antara agama dan
pemahaman agama. Ini semata-mata hanya untuk mengajak umat kita untuk lebih
kritis dan tidak simplistik.
Seolah-olah
yang berbeda dengan kebiasaan dan persepsinya semuanya salah dan dengan fanatik
berusaha mempertahankan persepsi tersebut dengan berbagai cara. Termasuk,
melakukan tindakan-tindakan yang destruktif seperti radikal dan teroris. Jika
demikian adanya, maka yang rugi bukan hanya orang-orang yang bersangkutan atau
umat Islam, tetapi citra Islam itu sendiri.
Contoh
yang bisa kita lihat ialah ayat: Wahai
Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan
bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka jahanam. Dan
itulah seburtuk-buruk tempat kembali. (Q.S. at-Taubah/9:73).
Kata
"berjihadlah" (jahid!)
bisa ditafsirkan macam-macam, baik oleh ulama tafsir sendiri maupun ulama lain.
Ibnu Jarir al-Thabari dalam kitab Tafsir
Al-Thabai menafsirkan kata "berjihadlah" yaitu berjihad
terhadap orang-orang yang memperlihatkan sikap-sikap kemunafikan. Jika tidak
tampak tanda-tanda itu, maka interaksi dengan mereka tetap terjalin sebagaimana
dengan kaum muslimin pada umumnya.
Hal
tersebut akan berbeda kondisinya jika mereka murtad atau lalim terhadap
komunitas kaum muslimin atau menghalang-halangi (usaha) pelaksanaan syiar Islam
dan rukunnya. Lain halnya dengan Sayyid Quthub dalam Fi Dzhilal al-Qur'an Vol.
III, h. 1676 menafsirkan ayat tersebut dengan pemahaman bahwa Al-Quran
menegaskan golongan munafik tersebut mengucapkan kata-kata kufur dan
memperlihatkan kekufurannya setelah sebelumnya beriman, maka itu yang menjadi
sasaran jihad.
Terdapat
dua perintah dalam ayat itu, yaitu berjihad (jahid)
dan bersikap keras (wa
ughludzh 'alaihim). Al-Razi dalam kitab tafsirnya Mafatih al-Ghayb Vol.
VIII, h. 138 menjelaskan bahwa kata jihad dalam ayat di atas bermakna
mengerahkan segenap usaha (badzl
al-juhd). Ayat
ini sama sekali tidak menyebutkan praktik jihad tersebut; apakah dengan pedang,
lisan, atau dengan cara lain.
Keterangan
tentang praktik jihad diperoleh dari dalil lain. Yang jelas adalah ayat itu
mewajibkan jihad terhadap dua golongan, yaitu kafir dan munafik. Tentang apa
penafsiran kata kafir dan munafik, panjang lagi perdebatannya di dalam
kitab-kitab tafsir. Poin yang ditekankan di sini ialah betapa perlunya memahami
mekanisme penetapan makna ayat.
Para
ulama tafsir yang memiliki wawasan dan metodologi relatif sama bisa melahirkan
penafsiran yang berbeda, apalagi mereka yang hanya sebagai pemahaman (mufahhim) Al-Quran, yaitu
mereka yang non disiplin ilmu tafsir, tentu berbeda lagi.
Jadi kita
tidak boleh fanatik terhadap suatu pendapat, sebab siapa tahu pendapat lain
yang lebih tepat. Namun kita tidak boleh juga tanpa pendapat, karena itu bisa
lebih repot. Minimal kita punya pendapat pribadi atau mengikut pendapat ulama
yang kita percaya. []
DETIK, 28
Februari 2020
Prof. Dr.
Nasaruddin Umar, MA | Imam
Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar