Senin, 16 Maret 2020

Nasaruddin Umar: Meluruskan Makna Jihad (41): Lain Al-Quran, Lain Tafsir


Meluruskan Makna Jihad (41)
Lain Al-Quran, Lain Tafsir
Oleh: Nasaruddin Umar

Artikel ini tidak bermaksud mempertentangkan antara Al-Quran dan tafsirnya. Lebih jauh, saya tidak serta-merta mengedepankan pendekatan negasi (principle of negation) ala Hegel yang senang membangun pemikiran baru melalui pola tesis-antitesis-sintesis, yang ujung-ujungnya hanya akan mendangkalkan nilai-nilai spiritual.

Saya menurunkan sejumlah artikel yang berusaha membedakan istilah-istilah yang sering dirancukan pemahamannya di dalam masyarakat, seperti antara fanatik dan radikal, antara jihad dan teroris, antara ajaran Islam dan budaya Arab, antara syariah dan fikih, antara Al-Quran dan terjemah/tafsirnya, dan antara agama dan pemahaman agama. Ini semata-mata hanya untuk mengajak umat kita untuk lebih kritis dan tidak simplistik.

Seolah-olah yang berbeda dengan kebiasaan dan persepsinya semuanya salah dan dengan fanatik berusaha mempertahankan persepsi tersebut dengan berbagai cara. Termasuk, melakukan tindakan-tindakan yang destruktif seperti radikal dan teroris. Jika demikian adanya, maka yang rugi bukan hanya orang-orang yang bersangkutan atau umat Islam, tetapi citra Islam itu sendiri.

Contoh yang bisa kita lihat ialah ayat: Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka jahanam. Dan itulah seburtuk-buruk tempat kembali. (Q.S. at-Taubah/9:73).

Kata "berjihadlah" (jahid!) bisa ditafsirkan macam-macam, baik oleh ulama tafsir sendiri maupun ulama lain. Ibnu Jarir al-Thabari dalam kitab Tafsir Al-Thabai menafsirkan kata "berjihadlah" yaitu berjihad terhadap orang-orang yang memperlihatkan sikap-sikap kemunafikan. Jika tidak tampak tanda-tanda itu, maka interaksi dengan mereka tetap terjalin sebagaimana dengan kaum muslimin pada umumnya.

Hal tersebut akan berbeda kondisinya jika mereka murtad atau lalim terhadap komunitas kaum muslimin atau menghalang-halangi (usaha) pelaksanaan syiar Islam dan rukunnya. Lain halnya dengan Sayyid Quthub dalam Fi Dzhilal al-Qur'an Vol. III, h. 1676 menafsirkan ayat tersebut dengan pemahaman bahwa Al-Quran menegaskan golongan munafik tersebut mengucapkan kata-kata kufur dan memperlihatkan kekufurannya setelah sebelumnya beriman, maka itu yang menjadi sasaran jihad.

Terdapat dua perintah dalam ayat itu, yaitu berjihad (jahid) dan bersikap keras (wa ughludzh 'alaihim). Al-Razi dalam kitab tafsirnya Mafatih al-Ghayb Vol. VIII, h. 138 menjelaskan bahwa kata jihad dalam ayat di atas bermakna mengerahkan segenap usaha (badzl al-juhd). Ayat ini sama sekali tidak menyebutkan praktik jihad tersebut; apakah dengan pedang, lisan, atau dengan cara lain.

Keterangan tentang praktik jihad diperoleh dari dalil lain. Yang jelas adalah ayat itu mewajibkan jihad terhadap dua golongan, yaitu kafir dan munafik. Tentang apa penafsiran kata kafir dan munafik, panjang lagi perdebatannya di dalam kitab-kitab tafsir. Poin yang ditekankan di sini ialah betapa perlunya memahami mekanisme penetapan makna ayat.

Para ulama tafsir yang memiliki wawasan dan metodologi relatif sama bisa melahirkan penafsiran yang berbeda, apalagi mereka yang hanya sebagai pemahaman (mufahhim) Al-Quran, yaitu mereka yang non disiplin ilmu tafsir, tentu berbeda lagi.

Jadi kita tidak boleh fanatik terhadap suatu pendapat, sebab siapa tahu pendapat lain yang lebih tepat. Namun kita tidak boleh juga tanpa pendapat, karena itu bisa lebih repot. Minimal kita punya pendapat pribadi atau mengikut pendapat ulama yang kita percaya. []

DETIK, 28 Februari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar