Status Utang Orang Tua
kepada Anak
Memuliakan orang tua merupakan salah satu
budi pekerti yang mulia dan sangat dianjurkan dalam Islam. Perintah untuk
bersikap baik pada kedua orang tua secara tegas tercantum dalam Al-Qur’an:
وَقَضَىٰ
رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا
أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka
dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia,” (QS al-Isra’: 23).
Di antara sikap baik kepada orang tua adalah
memenuhi berbagai keperluan yang dibutuhkan mereka dengan cara membiayainya.
Lantas bagaimana jika seandainya orang tua justru berutang pada sang anak?
Apakah utang yang mereka tanggung wajib untuk dibayar, mengingat hal itu adalah
uang anaknya sendiri?
Soal kewajiban membayar, para ulama mengategorikan
tanggungan utang orang tua kepada anak sebagaimana utang pada orang lain.
Artinya, orang tua punya tanggung jawab melunasi, dan anak memiliki hak untuk
menagih bila orang tua dirasa sudah mampu membayarnya (menurut selain mazhab
Hanbali). Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah
al-Kuwaitiyyah:
ولو
استقرض الأب من ولده فإنّ للولد مطالبته ، عند غير الحنابلة ، لأنّه دينٌ ثابتٌ
فجازت المطالبة به كغيره وقال الحنابلة: لا يطالب
“Jika seorang ayah berutang pada anaknya,
maka sang anak berhak untuk menagih utang tersebut menurut selain mazhab Imam
Hanbali, sebab utang ayah tersebut merupakan sebuah tanggungan yang tetap
(tsabit). Boleh (bagi anak) untuk menagih utang tersebut, seperti halnya
utang-utang yang lain. Sedangkan menurut mazhab Hanbali, utang pada orang tua
tidak boleh untuk ditagih,” (Kementrian Wakaf dan Urusan Keagamaan Kuwait,
al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 5, hal. 86)
Meski begitu, utang orang tua pada anak ini
memiliki kekhususan yang membedakannya dengan utang pada orang lain, yakni
tentang hak memberikan sanksi oleh anak kepada orang tua. Dalam literatur fiqih
hukuman tersebut adalah habsu (menahan/memenjarakan). Dalam konteks sekarang,
sanksi itu bisa disetarakan dengan menyeretnya sebagai kasus hukum atau menyita
barang-barang yang masih dibutuhkan muqtaridl (orang yang berutang). Syariat
tidak membenarkan adanya hukuman yang dilakukan oleh anak kepada orang tua
(Lihat: Syekh Syamsuddin ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 4, hal. 333).
Ketentuan yang dijelaskan di atas berlaku
bila akad utang dilakukan sesuai ketentuan syariat. Berbeda ketika anak sebatas
menyerahkan uang pada orang tua tanpa ada penegasan penyerahan uang tersebut
atas nama transaksi apa. Maka dalam hal demikian, perlu untuk diberikan
penjelasan tentang akad yang dimaksud dalam penyerahan uang yang diberikan oleh
anak pada orang tuanya.
Selain itu, perlu pula mempertimbangkan
kondisi dan keadaan orang tua. Ketika orang tua dalam keadaan tidak mampu, maka
uang yang diberikan oleh anak yang masih berkaitan dengan kebutuhan pokok kedua
orang tuanya, seharusnya bukan atas nama akad utang, melainkan atas nama
nafaqah (nafkah). Sebab anak memang diwajibkan untuk menafkahi kedua orang
tuanya.
Kewajiban menafkahi orang tua ini berlaku
bagi anak ketika sang anak dalam keadaan memiliki harta yang cukup, dan orang
tuanya berada dalam keadaan tidak memiliki harta yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan pribadinya. Kewajiban itu gugur ketika yang terjadi adalah sebaliknya
(lihat: Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini, Kifayah al-akhyar, hal. 576).
Dapat disimpulkan bahwa utang orang tua
terhadap anak statusnya sama halnya dengan utang pada orang lain, dalam hal
orang tua wajib untuk dibayar dan anak berhak untuk menagih utang
tersebut.
Meski demikian sebaiknya secara praktik
sangat penting mereka mengedepankan asas kekeluargaan dan mempertimbangkan
budaya yang berlaku dalam sebuah keluarga. Rasanya sangat tidak elok jika
seorang anak memberi utang orang tua yang sejak awal hidupnya didedikasikan
untuk membesarkan dan menyukseskan anaknya. Tak heran jika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu hadisnya:
أَنَّ
رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنَّ لِى مَالاً وَوَلَدًا وَإِنَّ وَالِدِى يَحْتَاحُ مَالِى. قَالَ: أَنْتَ وَمَالُكَ لِوَالِدِكَ إِنَّ أَوْلاَدَكُمْ
مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِكُمْ فَكُلُوا مِنْ كَسْبِ أَوْلاَدِكُمْ
“Seorang lelaki mendatangi Nabi, lalu
berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku memiliki harta dan anak, sedangkan orang tuaku
membutuhkan hartaku.’ Rasulullah lalu bersabda, ‘Dirimu dan hartamu milik orang
tuamu, sungguh anak-anak kalian itu termasuk yang paling baik dari usaha
kalian. Maka makanlah dari hasil kerja anak-anak kalian,” (HR Baihaqi). Wallahu
A’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di
Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar