Keterangan Al-Qur’an
tentang Persaudaraan
Beragamnya manusia dengan segala etnis, agama, bahasa, budaya, ras, dan golongan adalah realitas fakta kehidupan yang diciptakan Allah SWT. Mafhum mukhalafah-nya, siapa saja yang memaksakan keseragaman identitas bisa dikatakan menentang kehendak Sang Pencipta. Karena dengan kekuasaannya, Allah bisa saja membuat manusia menjadi seragam. Perbedaan tersebut agar manusia saling mengenal dan menjalin persaudaraan.
Pakar Tafsir Al-Qur'an, Muhammad Quraish
Shihab dalam dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan
Umat (2000) menegaskan, untuk memperkokoh ukhuwah atau persaudaraan antarsesama
manusia, pertama kali Al-Qur’an menggarisbawahi bahwa perbedaan adalah hukum
yang berlaku dalam kehidupan. Selain perbedaan tersebut merupakan kehendak Ilahi,
juga demi kelestarian hidup, sekaligus demi mencapai tujuan kehidupan makhluk
di bumi.
وَلَوْ
شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا
آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ
بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami
berikan aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan
kamu satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu mengenai pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS Al-Maidah [5]: 48)
Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan
pendapat, niscaya diciptakan-Nya manusia tanpa akal budi seperti binatang atau
benda-benda tak bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilah dan memilih,
karena hanya dengan demikian seluruhnya akan menjadi satu pendapat.
Dari sini, seorang Muslim dapat memahami
adanya pandangan atau bahkan pendapat yang berbeda dengan pandangan agamanya,
karena semua itu tidak mungkin berada di luar kehendak Ilahi. Kalaupun nalarnya
tidak dapat memahami kenapa Tuhan berbuat demikian, kenyataan yang diakui Tuhan
itu tidak akan menggelisahkan atau mengantarkannya "mati", atau
memaksa orang lain secara halus maupun kasar agar menganut pandangan agamanya.
“Sungguh kasihan jika kamu akan membunuh
dirimu karena sedih akibat mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Islam).”
(QS Al-Kahf [18]: 6)
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah
beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu akan
memaksa semua manusia agar menjadi orang-orang yang beriman?” (QS Yunus [10]:
99)
Praktik
Quraish Shihab (2000) menjelaskan, jika kita
mengangkat salah satu ayat dalam bidang ukhuwah, agaknya salah satu ayat surat
Al-Hujurat dapat dijadikan landasan pengamalan konsep ukhuwah Islamiyah.
Ayat yang dimaksud adalah, “Sesungguhnya
orang-orang Mukmin bersaudara, karena itu lakukanlah ishlah di antara kedua
saudaramu.” (QS Al-Hujurat [49]: 10).
Kata ishlah atau shalah yang banyak sekali
berulang dalam Al-Qur’an, pada umumnya tidak dikaitkan dengan sikap kejiwaan,
melainkan justru digunakan dalam kaitannya dengan perbuatan nyata.
Kata ishlah hendaknya tidak hanya dipahami
dalam arti mendamaikan antara dua orang (atau lebih) yang berselisih, melainkan
harus dipahami sesuai makna semantiknya dengan memperhatikan penggunaan
Al-Qur’an terhadapnya.
Puluhan ayat berbicara tentang kewajiban
melakukan shalah dan ishlah. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata shalah
diartikan sebagai antonim dari kata fasad (kerusakan), yang juga dapat
diartikan sebagai yang bermanfaat. Sedangkan kata ishlah digunakan oleh
Al-Qur’an dalam dua bentuk: Pertama ishlah yang selalu membutuhkan objek; dan
kedua adalah shalah yang digunakan sebagai bentuk kata sifat.
Sehingga, shalah dapat diartikan terhimpunnya
sejumlah nilai tertentu pada sesuatu agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik
sesuai dengan tujuan kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang
tidak menyertainya hingga tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia
dituntut untuk menghadirkan nilai tersebut, dan hal yang dilakukannya itu
dinamai ishlah.
Jika kita menunjuk hadis, salah satu hadis
yang populer di dalam bidang ukhuwah adalah sabda Nabi SAW yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar:
“Seorang Muslim bersaudara dengan Muslim
lainnya. Dia tidak menganiaya, tidak pula menyerahkannya (kepada musuh).
Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi pula
kebutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan dan seorang Muslim suatu kesulitan,
Allah akan melapangkan baginya satu kesulitan pula dan kesulitan-kesulitan yang
dihadapinya di hari kemudian. Barangsiapa yang menutup aib seorang Muslim,
Allah akan menutup aibnya di hari kemudian.”
Dari riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah,
larangan di atas dilengkapi dengan, Dia tidak mengkhianatinya, tidak
membohonginya, dan tidak pula meninggalkannya tanpa pertolongan. Demikian
terlihat, betapa ukhuwah Islamiyah mengantarkan manusia mencapai hasil-hasil
konkret dalam kehidupannya.
Untuk memantapkan ukhuwah Islamiyah, yang
dibutuhkan bukan sekadar penjelasan segi-segi persamaan pandangan agama, atau
sekadar toleransi mengenai perbedaan pandangan, melainkan yang lebih penting
lagi adalah langkah-langkah bersama yang dilaksanakan oleh umat, sehingga
seluruh umat merasakan nikmatnya. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar