Ibnu Katsir al-Makki, Imam
Qira’at dari Generasi Tabi’in
Makkah merupakan tempat pertama turunnya
Al-Qur’an. Dari sinilah Nabi pertama kali menerima wahyu dari Allah, melalui
malaikat Jibril kemudian mengajarkannya kepada para sahabat.
Dari Nabi para sahabat menerima bacaan
Al-Qur’an dan mereka berlomba-lomba penuh antusias menghafal setiap ayat yang
disampaikan oleh Nabi. Dari para sahabat, para tabi’in menerima bacaan
Al-Qur’an dan kemudian mereka mengajarkannya kepada generasi berikutnya. Hingga
lahirlah generasi qur’ani yang menetap di Makkah dan menjadi salah satu imam
qira’at sab’ah. Salah satu generasi tabi’in yang dikenal piawai dalam bidang
ilmu Al-Qur’an dan qira’atnya adalah Imam Ibnu Katsir.
Ia merupakan imam yang fasih, pandai
berorasi, dan cerdik. Pembawaannya tenang dan berwibawa.
Selain sebagai imam dalam bidang ilmu
Al-Qur’an dan qira’at, beliau juga dikenal sebagai qadli (hakim) di Makkah.
Tidak ada seorang pun yang meragukan kepaiawaiannya dalam bidang ilmu Al-Qur’an
dan qira’atnya.
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Abdullah
bin Zadan bin Fairuz bin Hurmuz. Sebagian riwayat mengatakan bahwa beliau
dikenal dengan sebutan Ibnu Katsir al-Dari, dinisbatkan kepada bani Abdi
al-Dar. Sebagian riwayat yang lain mengatakan bahwa kata “al-Dari” dinisbatkan
pada sebuah tempat di Bahrain. (Bedakan dengan ahli tafsir kenamaan, Ibnu
Katsir al-Bashri ad-Dimasyqi, red).
Beliau lahir pada tahun 45 H dan menetap di
sana hingga remaja di Makkah.
Secara fisik, Imam Ibnu Katsir ini memiliki
fisik yang tinggi, berisi, gelap kulitnya, biru bola matanya, putih rambut dan
jenggotnya. Seringkali rambutnya disemir dengan hina’.
Sebagai tabi’in generasi awal yang tinggal di
Makkah, Imam Ibnu Katsir pernah berjumpa dengan beberapa para sahabat, di
antaranya adalah Abdullah bin Zubair, Abu Ayyub al-Ansari, Anas bin Malik,
Mujahid bin Jabar, dan Darbas budak pembantu Ibnu Abbas.
Perjalanan Intelektual dan Silsilah Sanad
Ibnu Katsir
Setalah menginjak dewasa, beliau menyempatkan
diri untuk menuntut ilmu Al-Qur’an dan qira’atnya kepada beberapa tabi’in
senior, salah satunya adalah: (1) Abdullah bin al-Saib al-Makhzumi. (2) Mujahid
bin Jabar al-Makki. (3) Darbas pembantu Ibnu Abbas.
Ketiga dari guru Imam Ibnu Katsir ini
memiliki transmisi sanad yang bersambung langsung kepada para sahabat. Artinya,
secara transmisi sanad qira’at Ibnu Katsir ini dapat dipertanggung-jawabkan
kemutawatirannya.
1. Abdullah bin al-Saib belajar kepada
sahabat Ubay bin Ka’ab dan Sayyidina Umar bin Khattab, keduanya menerima bacaan
dari Nabi Muhammad ﷺ.
2. Mujahid bin Jabar belajar kepada Abdullah
bin al-Saib dan Sayyidina Abdullah bin Abbas,
3. Darbas belajar kepada sayyidina Abdullah
bin Abbas. Abdullah bin Abbas belajar kepada Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin
Tsabit. Keduanya belajar langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Murid-murid Imam Ibnu Katsir
Sebagai seorang imam qira’at, tentu banyak
dari kalangan penuntut ilmu yang berguru kepadanya dan kemudian melanjutkan
estafet bacaan qira’atnya. Namun di antara beberapa santri yang belajar dan
termaktub dalam sejarah, yang kemudian melanjutkan estafet bacaannya adalah:
(1) Ismail bin Abdullah al-Qisth, (2) Ismail bin Muslim, (3) Hammad bin
Salamah, (4) Al-Khalil bin Ahmad, (5) Sulaiman bin al-Mughirah, 6) Syibl bin
Ubbad, (7) Abdul Malik bin Juraih, (8) Ibnu Abi Mulaikah, (9) Sufyan bin
Uyainah, (10) Abi Amr bin al-’Ala’, (11) Isa bin Umar.
Selain yang tertera di atas, menurut
penuturan sejarah, imam Syafi’I juga merupakan salah satu seorang imam madzhab
yang menukil dan menggunakan bacaan qira’at Ibnu Katsir. Tidak hanya menukil
dan menggunakan tetapi beliau juga memujinya. Salah satu pujiannya adalah:
“qira’at (bacaan) kita adalah bacaan Ibnu Katsir dan dengan bacaannya saya
menemukan warga Makkah membaca dan mengamalkannya.
Komentar Ulama
Imam Ibnu Katsir tidak hanya sekedar piawai
dalam ilmu Al-Qur’an dan qira’atnya tetapi beliau piawai dalam bidang bahasa
Arab. Salah satu pujian itu datang dari ulama, baik yang semasa maupun yang
datang setelahnya.
Imam al-Ashmu’I bertanya kepada Abu Amr:
“Apakah Anda membaca kepada Imam Ibnu Katsir?” “Iya, saya mengkhatamkan
Al-Qur’an setelah saya mengkhatamkan kepada Mujahid, dan Ibnu Katsir lebih
piawai dalam bidang bahasa Arab daripada Mujahid.”
Ibnu Mujahid berkata: “Imam Ibnu Katsir
merupakan seorang imam yang yang disepakati kepakarannya dalam bidang qira’at
Al-Qur’an di Makkah hingga ia wafat pada tahun 120 H. Sebagian riwayat
menegaskan bahwa beliau pernah singgah dan bermukim di Irak kemudian kembali ke
Makkah dan wafat di sana.”
Perawi Imam Ibnu Katsir
Perlu diketahui, bahwa dalam dunia ilmu
qira’at atau transmisi periwayatan qira’at adakalanya perawi itu meriwayatkan
secara langsung dari imam qira’at, dan adakalanya perawi itu meriwayatkannya
melalui perantara.
Penetapan perawi ini, baik yang meriwayatkan
secara langsung kepada imam qira’at maupun melalui perantara, dilakukan oleh
Imam Mujahid dalam karyanya “al-Sab’ah”. Penetapan ini bersifat final dan
disepakati oleh para ulama lainnya, karena seorang perawi dipilih berdasarkan
konsistensinya dan kemasyhurannya dalam meriwayatkan bacaan sang imam qira’at.
Perawi dari Ibnu Katsir ini termasuk perawi yang meriwayatkan melalui
perantara.
Kedua dari perawi Imam Ibnu Katsir yang
terkenal dan termasyhur adalah: Imam al-Bazzi dan Imam Qanbul.
1. Imam al-Bazzi
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin
Abdullah bin al-Qasim bin Nafi’ bin Abi Bazzah, beliau dinisbatkan kepada
kakeknya yang paling jauh, yaitu Abi Bazzah. Nama Abi Bazzah sendiri adalah
Basysyar. Ia adalah seorang Persia dari marga Hamadzan. Ia masuk Islam di
tangan al-Saib bin Abi al-Saib al-Makhzumi. Kuniyahnya adalah Abu al-Hasan.
Beliau merupakan muadzin sekaligus sebagai imam shalat di Masjidil Haram selama
40 tahun.
Beliau dilahirkan pada tahun 170 H.
Perjalanan Intelektualnya
Menginjak masa remaja, beliau belajar dan
meriwayatkan qira’at Ibnu Katsir dari Ikrimah bin Sulaiman dari Ismail bin
Abdullah al-Qisth, dan Syibl bin Ubbad dari Ibnu Katsir. Dari kedua gurunya
tersebut, beliau menerima qira’at Ibnu Katsir secara sempurna. Dengan demikian,
jika ditelisik melaui transmisi periwayatan, maka beliau meriwayatkan qira’at
Ibnu Katsir melalui dua jalur, yaitu: Ikrimah dari Ismail al-Qisth (dua jalur)
dari Ibnu Katsir, dan Syibl bin Ubbad dari Ibnu Katsir (satu jalur).
Dalam meriwayatkan qira’at Ibnu Katsir beliau
tidak sendirian, tetapi ada banyak ulama yang meriwayatkannya. Dengan demikian,
sangat mustahil mereka sepakat untuk melakukan kebohongan atas qira’at Ibnu
Katsir. Hanya saja beliau merupakan perawi termasyhur, teristimewa dan paling
adil diantara mereka.
Ada banyak predikat yang melekat dan
diberikan kepada beliau, salah sarunya adalah predikat, ustadz muhaqqiq,
dhabit, mutqin dan tsiqah. Dengan ketenaran dan kemasyhurannya, maka tak ayal
beliau dianggap sebagai pemungkas para masyikhah pengajaran Al-Qur’an di
Makkah.
Setelah mengabdi kepada kitab Allah dengan
penuh perjuangan dan pengorbanan raga dan jiwa, pada tahun 285 H, Allah
memanggilnya dan dikebumikan di Makkah.
2. Imam Qanbul.
Namanya adalah Muhammad bin Abdurrahman bin
Khalid bin Muhammad bin Said al-Makhzumi al-Makki. Beliau lebih dikenal dengan
julukan Qunbul. Ada perbedaan pendapat tentang sebab pembeiran julukan
tersebut, ada yang mengatakan bahwa beliau dari warga “Qanabilah” di daerah
Makkah. Ada yang mengatakan bahwa beliau memakai obat yang untuk penyakit yang
dideritanya, menurut para apoteker, dikenal dengan nama “Qunbil” (قنبيل)
(memakai ya’ setelah huruf ba’, kemudian dibuang huruf ya’nya untuk meringankan
pengucapan, maka dibacalah “Qanbul”). Karena seringnya memakai obat tersebut,
maka ia kemudian dikenal dengan sebutan Qanbul.
Beliau lahir di Makkah pada tahun 175 H.
Perjalanan Intelektualnya
Belajar dan membaca Al-Qur’an kepada Ahmad
bin Muhammad bin ‘Aun al-Nabbal, imam al-Bazzi, Abu al-Hasan al-Qawwas dan
Ma’ruf bin Misykan.
Beliau merupakan imam qira’at yang mutqin dan
dhabith, pemungkas para imam di Hijaz, dan termasuk pembesar perawi Imam Ibnu
Katsir dan paling tsiqah (terpercaya).
Imam al-Bazzi didahulukan daripada Qanbul
karena beliau lebih tinggi sanadnya. Karena imam Qanbul sendiri juga belajar
kepada Imam al-Bazzi, sehingga menurut hitungan periwayatan, beliau lebih
rendah (nazil) daripada imam al-Bazzi.
Menurut Abdullah al-Qashsha’, kedudukan imam
Qanbul ini berada di atas perwira di Makkah karena seorang perwira tidak akan
mendampingi seseorang kecuali dari kalangan orang mulia dan baik supaya ia
berada pada jalur yang benar terhadap sesuatu yang berhubungan dengan hukum dan
perdata. Mereka menyertainya karena ilmu dan keutamaannya di sisi mereka.
Perlakuan seperti ini saat beliau berada di pertengahan umurnya. Terpuji
perjalanan hidupnya.
Di antara murid-muridnya yang belajar
kapadanya adalah Abu Rabi’ah Muhammad bin Ismail, yang termasuk santri
seniornya, Muhammad bin Abdul Aziz dan Ahmad bin Musa bin Mujahid, pengarang
kitab “Al-Sab’ah”, dan Muhammad bin Ahmad bin Syambudz, beliau adalah temannya.
Dikatakan bahwa ketika beliau sudah sepuh,
berhenti mengajar sebelum wafat tujuh tahun atau sepeuluh tahun.
Setelah mengabdi dan berkhidmah kepada kitab
Allah, beliau dipanggil oleh pemiliknya pada tahun 271 H. di Makkah. []
Ustadz Moh. Fathurrozi, Pecinta Ilmu Qira’at,
Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar