10 Amalan Sunnah dalam
Berpuasa
Walau tak sampai merusak keabsahan ibadah
bila dilewatkan, amalan-amalan sunnah dalam ibadah apa pun tidak boleh
diabaikan, demi keutamaan dan kesempurnaan ibadah tersebut. Demikian halnya
dengan amalan-amalan sunnah dalam ibadah puasa. Kaitan dengan ini, Syekh
Muhammad ibn ‘Umar Nawawi al-Bantani (w. 1316) telah merincinya kepada kita
semua.
Dalam kitab Nihâyah al-Zain fî Irsyâd
al-Mubtadi’in (Darul Fikr, Beirut, Cetakan I, h. 194), ia menulis ada 10 amalan
sunnah yang harus kita pelihara saat berpuasa.
Pertama, makan sahur. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
تَسَحَّرُوا
فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً
Artinya, “Bersantap sahurlah kalian, karena
dalam sahur itu ada keberkahan,” (HR al-Bukhari).
Aktivitas sahur sendiri tercapai dengan
menyantap sesuatu walaupun hanya sedikit atau hanya seteguk air. Waktunya
adalah selepas tengah malam. Utamanya, ia diakhirkan selama tidak sampai masuk
waktu yang diragukan: apakah masih malam atau sudah terbit fajar. Dalam hadis
lain, Rasulullah menandaskan:
لَا
تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا أَخَّرُوا السَّحُورَ وَعَجَّلُوا الْفِطْرَ
Artinya, “Umatku senantiasa berada dalam
kebaikan selama mereka mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka,” (HR
Ahmad).
Kedua, menyegerakan berbuka sebelum shalat
maghrib. Namun, itu tentu dilakukan setelah yakin masuk waktu maghrib,
berdasarkan hadis di atas. Saat pertama berbuka, sunnahnya dilakukan dengan
kurma. Jika tidak ada, hendaknya dengan air, berdasarkan sabda Rasulullah:
إِذَا
كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا، فَلْيُفْطِرْ عَلَى التَّمْرِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدِ
التَّمْرَ، فَعَلَى الْمَاءِ فَإِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ
Artinya, “Jika salah seorang berpuasa,
hendaknya ia berbuka dengan kurma. Jika tidak ada kurma, maka dengan air.
Sebab, air itu menyucikan,” (HR Abu Dawud).
Urutan sebaiknya, pertama dengan kurma basah
(ruthab) jika ada. Jika tidak, maka dengan kurma kering (tamar). Jika tidak,
maka dengan air. Sebab, sebuah riwayat menyebutkan, sebelum shalat maghrib,
Rasulullah saw. selalu berbuka dengan kurma basah. Jika tidak ada, beliau
berbuka dengan kurma kering. Jika tidak ada, beliau berbuka dengan air putih.
Bagaimana seandainya tidak ada kurma dan air, yang ada misalnya madu dan susu,
maka dahulukanlah madu walaupun sama-sama manis.
Ketiga, membaca doa yang ma‘tsur sebelum atau
setelah berbuka, antara lain dengan doa berikut:
اللَّهُمَّ
لَكَ صُمْتُ وَبِك آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلَتُ
ذَهَبَ الظَّمَأُ، وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ
اللَّهُ يَا وَاسِعَ الْفَضْلِ اِغْفِرْ لِي اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي هَدَانِي
فَصُمْتُ وَرَزَقَنِي فَأَفْطَرْتُ
Artinya, “Ya Allah, hanya untuk-Mu aku
berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, hanya kepada-Mu
aku bertawakal. Sungguh, rasa haus sudah sirna, urat-urat sudah basah, dan
balasan sudah tetap, insya Allah. Wahai Dzat yang maha luas karunia-Nya,
ampunilah aku. Segala puji hanya milik Allah Dzat yang telah memberiku
petunjuk, hingga aku kuat berpuasa. Lalu Dia memberiku rezeki, hingga aku bisa
berbuka.”
Atau dengan doa yang lebih pendek dan
masyhur:
اللَّهُمَّ
لَكَ صُمْتُ وَبِك آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ
الرَّاحِمِيْنَ
Artinya, “Ya Allah, hanya untuk-Mu aku
berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, berkat rahmat-Mu,
wahai Dzat yang maha penyayang di antara para penyayang.”
Keempat, mandi besar dari junub, haid, atau
nifas sebelum terbit fajar agar bisa menuanikan ibadah dalam keadaan suci, di
samping khawatir masuk air ke mulut, telinga, anus, dan sebagainya jika mandi
setelah fajar. Kendati tidak bersedia mandi seluruh tubuh sebelum fajar,
hendaknya mencuci bagian-bagian tersebut (yang sekiranya rawan masuk air)
disertai dengan niat mandi besar.
Kelima, menahan lisan dari perkara-perkara
yang tak berguna, apalagi perkara haram, seperti berbohong dan mengumpat.
Sebab, semuanya akan menggugurkan pahala puasa.
Keenam, menahan diri dari segala hal yang tak
sejalan dengan hikmah puasa, meskipun itu tidak sampai membatalkan, seperti
berlebihan dalam mengadakan makanan atau minuman, bersenang-senang dengan
perkara-perkara yang sejalan dengan keinginan dan kepuasan nafsu, baik yang
didengar (seperti musik), ditonton, disentuh, diraba, dicium, dan sebagainya.
Sebab semua itu tak seiring dengan hikmah dari ibadah puasa.
Ketujuh, memperbanyak sedekah, baik kepada
keluarga, kaum kerabat, maupun tetangga. Berilah mereka makanan secukupnya.
Kendati tidak ada, jangan sampai luput walau hanya seteguk air atau sebiji
kurma, berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
مَنْ
فَطَّرَ صَائِمًا، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ، إِلَّا أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ
أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ
Artinya, “Siapa saja yang memberi makanan
berbuka kepada seorang yang berpuasa, maka dicatat baginya pahala seperti orang
puasa itu, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang berpuasa tersebut,”
(HR Ahmad).
Selain itu, juga sebaiknya memperbanyak baca
Al-Quran, belajar Al-Quran, menuntut ilmu, berdzikir, berbuat baik di mana pun,
walaupun saat berada di jalan. Dasarnya adalah Rasulullah saw. selalu memeriksa
hapalan Al-Quran-nya kepada malaikat Jibril setiap malam di bulan Ramadhan.
Kedelapan, memperbanyak i'tikaf di masjid.
Sebaiknya dilakukan sebulan penuh. Jika tidak, sepuluh malam terakhir
diutamakan. Sebab, jika memasuki sepuluh malam terakhir, Rasulullah saw. selalu
menghidupkan malam, membangunkan keluarganya, dan mengencangkan ikat pinggang
sebagai bentuk kesiapan menjalankan ibadah.
Kesembilan, mengkhatamkan Al-Quran setidaknya
sekali selama bulan Ramadan. Maksimalnya tentu sebanyak-banyaknya, seperti para
ulama terdahulu. Bahkan, setiap bulan Ramadhan, Imam al-Syafi‘i mengkhatamkannya
hingga 60 kali.
Kesepuluh, istiqamah dalam menjalankan
amaliah Ramadhan dan melanjutkan amaliah-amaliah tersebut di bulan-bulan
berikutnya.
Wallahu ‘alam.
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar