Menunda Bayar Utang padahal
Mampu adalah Kezaliman
Salah satu tolok ukur kualitas hubungan
sosial yang baik adalah bagaimana cara seseorang membayar utangnya kepada orang
lain. Dalam salah satu hadits dijelaskan:
فَإِنَّ
مِنْ خِيَارِ النَّاسِ أَحْسَنَهُمْ قَضَاءً
“Sesungguhnya sebagian dari orang yang paling
baik adalah orang yang paling baik dalam membayar (utang),” (HR. Bukhari).
Karena itu syariat memberikan ketentuan bahwa
tatkala seseorang memiliki uang yang cukup untuk membayar tanggungan utang yang
ia miliki, maka ia harus segera membayar utangnya kepada orang yang memberinya
utang. Menunda bayar utang merupakan bentuk tindakan menzalimi orang lain.
Dalam hal ini, Rasulullah menjelaskan dalam haditsnya:
مَطْلُ
الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Menunda-nunda membayar utang bagi orang yang
mampu (membayar) adalah kezaliman,” (HR Bukhari).
Menurut para ulama ahli hadits, makna riwayat
di atas mengarah pada ketentuan haramnya menunda utang tatkala seseorang sudah
cukup secara finansial dan mampu untuk membayar. Berbeda ketika seseorang dalam
keadaan tidak memiliki uang yang cukup, maka ia tidak tergolong dalam cakupan
hadits di atas. Dalam hal ini, Syekh Badruddin al-‘Aini menjelaskan:
لأن
المعنى أنه يحرم على الغني القادر أن يمطل بالدين بعد استحقاقه بخلاف العاجز
“Makna hadits di atas bahwa haram bagi orang
yang cukup secara finansial melakukan penundaan membayar utang setelah tetapnya
utang tersebut, berbeda halnya dengan orang yang belum mampu (membayar),”
(Syekh Badruddin al-‘Aini, ‘Umdah al-Qari Syarah Shahih al-Bukhori, juz 18,
hal. 325)
Hukum yang sama juga berlaku bagi orang yang
sudah memiliki uang yang cukup untuk membayar utangnya, tapi memiliki kendala
(udzur) untuk menyerahkan uang tersebut, seperti karena uangnya tidak berada di
tempat, atau halangan lain yang tak memungkinkan ia membayar segera. Dalam
kodisi demikian, ia tidak berdosa tapi tetap berkewajiban membayar utangnya
tatkala sudah mampu untuk menyerahkan uangnya. Seperti yang dijelaskan dalam
kitab Syarah an-Nawawi ala Muslim:
فمطل
الغنى ظلم وحرام ومطل غير الغنى ليس بظلم ولا حرام لمفهوم الحديث ولأنه معذور ولو
كان غنيا ولكنه ليس متمكنا من الأداء لغيبة المال أو لغير ذلك جاز له التأخير إلى
الامكان
“Menunda membayar utang bagi orang yang mampu
adalah perbuatan zalim dan merupakan tindakan yang diharamkan. Sedangkan
menundanya orang yang tidak mampu tidaklah dianggap zalim dan bukan perbuatan
haram, berdasarkan mafhum dari hadits. Sebab ia dalam keadaan uzur (untuk
membayar). Jika seseorang dalam keadaan tercukupi (untuk membayar utang), tapi
ia tidak mampu untuk membayarnya karena hartanya tidak berada di tempat atau
karena faktor yang lain, maka boleh baginya untuk mengakhirkan membayar utang
sampai ia mampu membayarnya,” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarah
an-Nawawi ala Muslim, juz 10, hal. 227).
Ketentuan di atas juga berlaku dalam
permasalahan ketika seseorang telah memiliki uang yang cukup untuk membayar
utang dan mampu untuk menyerahkan uangnya pada orang yang memberinya utang,
tapi masa waktu utangnya belum jatuh tempo. Maka dalam keadaan demikian, ia
diperkenankan untuk mengakhirkan pembayaran utangnya sampai batas waktu
pembayaran yang telah disepakati. Sebab dalam hal ini orang yang memberi utang
telah rela jika pembayarannya tidak langsung dibayar tatkala ia mampu, selama
tidak melewati batas pembayaran yang telah ditentukan.
Namun jika ternyata pada saat waktu jatuh
tempo pembayaran ternyata ia tidak dapat membayar utangnya, karena adanya suatu
hal, padahal sebelumnya ia berada dalam keadaan yang mampu, maka dalam hal ini
ia dianggap teledor dan termasuk bagian dari orang zalim seperti yang
dijelaskan dalam hadits di atas.
Apakah orang yang menunda utang itu masuk
kategori orang fasik? Menurut mazhab Maliki, iya, meskipun hanya dilakukan satu
kali. Sebab, dalam pandangan mazhab ini, menunda utang termasuk dosa besar.
Menurut mazhab Syafi’i, label fasik itu berlaku ketika perbuatan haram itu
dilakukan berulang-ulang. Hal ini seperti dijelaskan dalam lanjutan referensi
di atas:
وقد
اختلف أصحاب مالك وغيرهم في أن المماطل هل يفسق وترد شهادته بمطلة مرة واحدة أم لا
ترد شهادته حتى يتكرر ذلك منه ويصير عادة ومقتضى مذهبنا اشتراط التكرار
“Ulama mazhab Maliki berbeda pendapat
mengenai orang yang menunda membayar utang apakah ia dihukumi fasik dan
tertolak kesaksiannya (di majelis hakim) dengan melakukan satu kali penundaan
membayar utang, atau kesaksiannya tidak tertolak kecuali ia sampai mengulangi
perbuatan tersebut secara berulang-ulang dan menjadi kebiasaannya? Berdasarkan
analisis dalam mazhab kita (mazhab Syafi’i) disyaratkan berulang-ulangnya
penundaan membayar utang (dalam melabeli fasik pada orang yang menunda membayar
utang),” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarah an-Nawawi ala Muslim, juz
10, hal. 227).
Walhasil, menunda membayar utang tatkala
mampu adalah perbuatan yang diharamkan, sebab merupakan bentuk menzalimi hak
yang mestinya segera diterima oleh orang yang memberi utang, kecuali ia masih
belum mampu untuk membayar atau memang terdapat kesepakatan agar utang
diserahkan pada waktu tertentu.
Harus diingat bahwa utang-piutang
termasuk haqqul adami (urusan hak sesama manusia). Artinya, dosa yang
tertoreh tak serta merta terhapus hanya dengan beristighfar kepada Allah--tanpa
lebih dulu menyelesaikan apa yang menjadi hak orang lain. Dalam utang tersimpan
tanggung jawab, dan salah satu bentuk tanggung jawab itu adalah membayarnya
segera tatkala sudah mampu membayarnya. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di
Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar