Dunia
Ekstrem Indonesia
Oleh: Haedar Nashir
Musuh terbesar Pancasila ialah agama! Indonesia pun menjadi gaduh. Jika pernyataan kontroversial itu lahir dari fakta kelompok kecil umat yang memandang Pancasila thaghut. Kesimpulan tersebut jelas salah secara logika maupun substansi.
Jika anda
melihat kucing hitam hatta jumlahnya banyak maka jangan simpulkan semua kucing
berbulu hitam. Ini pelajaran mantiq paling elementer. Ketika kesalahan logika
dasar itu dibenarkan dan diulangi, boleh jadi ada masalah lain yang lebih
problematik di ranah personal dan institusional.
Kesalahan
subtansi menjadi lebih parah. Agama manapun tidak bertentangan dan memusuhi
Pancasila. Para pendiri bangsa dari semua golongan telah bersepakat menjadikan
Pancasila ideologi negara. Di dalam Pancasila terkandung jiwa dan nilai ajaran
agama yang luhur. Bung Karno bahkan berkata, dengan sila Ketuhanan maka bukan
hanya manusianya, tetapi Negara Indonesia itu bertuhan.
Indonesia
sebenarnya tak perlu gaduh, jika siapapun yang salah berjiwa kesatria.Bila
kearifan itu lahir tanpa kepongahan, reaksi publik tentu positif. Klarifikasi
pun tidak diperlukan jika sekadar apologia “post factum”, mencari pembenaran di
kemudian hari dengan merakit argumen baru yang esensinya bermasalah. Apalagi
setelah ini meluncur pernyataan serupa yang kian riuh!
Paradigma Ekstrem
Menyatakan
agama musuh terbesar Pancasila sama bermasalah dengan memandang Pancasila thaghut modern. Setali
mata uang dengan pemikiran jika Indonesia ingin maju tirulah Singapura yang
menjauhkan agama dari negara. Berbanding lurus dengan pandangan bila negeri ini
ingin keluar dari masalah harus menjadi negara khilafah.
Sejumlah
kegaduhan di negeri ini terjadi tidak secara kebetulan. Di balik kontroversi
soal agama versus Pancasila serta pandangan sejenis lainnya terdapat gunung es
kesalahan paradigma dalam memposisikan agama dan kebangsaan. Di dalamnya
bersemi paradigma ekstrem (ghuluw,
taṭarruf) dalam memandang agama, Pancasila, keindonesiaan, dan
dimensi kehidupan lainnya.
Pikiran
ekstrem dalam hal apapun akan melahirkan pandangan dan tindakan yang berlebihan.
Karena sudah lama dicekoki oleh pemikiran bahwa sumber radikalisme-esktremisme
dalam kehidupan berbangsa ialah agama dan umat beragama, maka lahirlah
pandangan dan orientasi yang serba ekstrem tentang agama dan kebangsaan. Agama
seolah racun negara dan Pancasila.
Apalagi
ada realitas induksi ketika sebagian kecil umat beragama mengembangkan paham
ekstrem dalam menyikapi dunia dan negara. Kelompok ini dikenal beraliran takfiri dengan memandang
pihak lain salah, sesat, dan kafir. Negara-bangsa atau bentuk negara lainnya
dipandang sebagai thaghut.
Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia produk dari sistem thaghut itu yang harus
dilawan.
Pola
pandang ekstrem beragama ala takfiri
ini melahirkan pengikut (folowwer)
fanatik buta. Sebaliknya melahirkan reaksi balik yang sama ekstrem. Tumbuh pula
kelompok ekstrem liberal-sekular, yang tampil dalam kekenesan baru. Dalam
situasi paradoks ini negara seolah ikut andil dalam memproduksi ekstremitas
melalui program deradikalisme, sehingga kian menambah rumit persilangan dunia
ekstrem di Republik ini. Plus berbagai persoalan bangsa yang dibiarkan akut dan
menjengkelkan.
Dunia
serbaekstrem inilah yang melahirkan konflik antar pemikiran yang sama-sama
keras. Agama versus Pancasila. NKRI versus Khilafah. Ekstrem kanan lawan
ekstrem kiri. Radikal dilawan radikal, melahirkan radikal-ekstrem baru. Tariq
Ali menyebutnya sebagai The Clash of Fundamentalism, sementaraMichael Adas
mencandranya sebagai fenomena sosiologis “the sectarian respons”. Konflik
kebangsaan ini akan terus berlangsung jika tidak ada peninjauan ulang terhadap
paradigma keindonesiaan yang ekstrem dalam hegemoni nalar positivistik, kuasa
monolitik, dan mono-perspektif di Republik ini.
Jalan Terjal Moderasi
Indonesia
menghadapi jalan terjal dunia ekstrem. Dua kecenderungan antagonistik dalam
relasi agama dan negara mengemuka di negeri ini. Pertama, ekstremitas atau
kesekstreman dalam memandang radikalisme hanya tertuju pada radikalisme agama
khususnya Islam. Akibatnya, negara dan kalangan tertentu terjebak pada
kesalahan pandangan dalam menentukan posisi agama dan negara. Pancasila dan
Indonesia pun dikonstruksi dengan paradigma liberal-sekular.
Kedua,
pola pikir keagamaan yang ekstrem, yang memandang kehidupan bernegara
serbasalah, thaghut,
dan sesat. Pandangan ini beriringan dengan kebangkitan agama era abad tengah
yang teosentrisme, millenari, dan hitam-putih. Paham ekstrem keagaamaan ini
sering didukung diam-diam oleh mereka yang kecewa terhadap keadaan —dalam istilah
Taspinar ekstrem karena deprivasi relatif— sehingga lahir revitalisasi paham
ekstrem keagamaan.
Bagaimana
solusinya? Kembangkan moderasi atau wasathiyyah,
baik dalam kehidupan keagamaan maupun kebangsaan. Masalah moderasi telah
dipilih banyak pihak untuk melawan masalah mendesak saat ini, yaitu ekstremisme
(Haslina, 2018). Jika ingin terbangun kehidupan beragama, berbangsa, dan
bersemesta yang moderat maka jalan utamanya niscaya moderasi, bukan
deradikalisasi.
Paradigma
deradikalisme menimbulkan benturan karena ekstrem dilawan ekstrem dalam oposisi
biner yang sama-sama monolitik. Membenturkan agama versus Pancasila maupun ide
mengganti salam agama dengan salam Pancasila secara sadar atau tidak merupakan
buah dari alam pikiran deradikalisme yang esktrem. Jika paradigma ini terus
dipertahankan maka akan muncul lagi kontroversi serupa yang menghadap-hadapkan
secara diametral agama dan kebangsaan, yang sejatinya terintegrasi.
Mayoritas
umat beragama di negeri ini sejatinya moderat, termasuk umat Islam sebagai
mayoritas. Masyarakat Indonesia pun dalam keragaman suku, keturunan, dan
kedaerahan sama moderat. Hidup di negeri kepulauan dengan angin tropis dan
keindahan alamnya membuat masyarakat Indonesia berkepribadian ramah, lembut,
toleran, dan saling berinteraksi dengan cair sehingga lahir bhineka tunggal
ika. Pancasila dan negara-bangsa telah diterima sebagai kesepakatan nasional
yang dalam paradigma Muhammdiyah disebut Darul Ahdi Wasyahadah.
Pancasila
sejatinya mengandung nilai-nilai dasar dan ideologi moderat. Sekali Pancasila
dan Indonesia dibawa ke paradigma ekstrem, maka berlawanan dengan hakikat
Pancasila dan Keindonesiaan yang diletakkan oleh para pendiri negara. Siapapun
yang membenturkan Pancasila dengan agama dan elemen penting keindonesiaan
lainnya pasti ahistoris dan melawan ideologi dasar dan nilai fundamental yang
hidup di bumi Indonesia. Jika ingin Indonesia moderat maka jangan biarkan
kehidupan keagamaan dan kebangsaan disandera oleh sangkar-besi paradigma dunia
ekstrem! []
REPUBLIKA,
22 Februari 2020
Haedar
Nashir | Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar