Sufyan ats-Tsauri Tak
Meriwayatkan Hadits Sebelum Mengamalkannya
Dalam kitab Tadkirah al-Auliyâ’, Imam Fariduddin Attar mencatat sebuah riwayat tentang perkataan Imam Sufyan ats-Tsauri. Berikut riwayatnya:
نقل
عنه أنه قال: ما رويتُ حديثًا عن رسول الله صلي الله عليه وسلم إلّا عملتُ به،
وكان يقول لأصحاب الحديث: أدّوا زكاة الحديث. قيل: وما زكاة الحديث؟ قال: أن
تعملوا من كلّ مئتي حديث بخمسة أحاديث
Diriwayatkan bahwa Sufyan ats-Tsauri berkata:
“Aku tidak meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam kecuali aku mengamalkannya (terlebih dahulu).”
(Suatu saat) ia berkata kepada ashâb
al-hadîts (para perawi hadits/ahli hadits): “Tunaikanlah zakat hadits.”
(Mereka) bertanya: “Apa itu zakat hadits?”
Sufyan ats-Tsauri menjawab: “(Zakat hadits)
adalah kau mengamalkan lima hadits dari setiap dua ratus hadits” (Fariduddin
Attar, Tadzkirah al-Auliyâ’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashîliy
al-Wasthâni al-Syâfi’i [836 H], Damaskus: Darul Maktabi, 2009, h. 240).
****
Abu Abdullah Sufyan bin Sa’id bin Masruq
ats-Tsauri (97-161 H) adalah ahli fiqih, mujtahid, sufi, dan tâbi’ al-tâbi’în
yang dijuluki “amîr al-mu’minîn fî al-hadîts”, baik oleh ulama sezamannya
maupun ulama setelahnya. Imam Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan:
العلماء
ثلاثة: إبن عباس في زمانه والشعبي في زمانه والثوري في زمانه
“Ulama ada tiga: (1) Ibnu ‘Abbas di zamannya,
(2) al-Sya’bi di zamannya, dan (3) ats-Tsauri di zamannya” (Imam al-Hafidh Abu
Ahmad Abdullah bin ‘Adi al-Jurjani, al-Kâmil fî Dlu’afâ’i al-Rijâl, Beirut: Dar
al-Fikr, 1988, juz 1, h. 85).
Di zamannya, Imam Sufyan ats-Tsauri adalah ulama yang sangat diakui kepakaran dan kesalehannya, sampai Ibnu ‘Uyainah memasukkannya dalam tiga kategori ulama hebat di generasinya masing-masing. Sayyidina Ibnu Abbas dari kalangan sahabat, Amir bin Syurahbil al-Sya’bi dari kalangan tabi’in, dan Sufyan ats-Tsauri dari kalangan tâbi’ al-tâbi’în.
Kepakarannya di bidang hadits, menurut banyak
ulama, mengungguli ahli hadits sezaman lainnya. Karena itu ia digelari “amîr
al-mu’minîn fî al-hadîts” (pemimpin orang-orang beriman dalam hadits). Imam
Yahya bin Sa’id mengatakan: “lam ara ahadan ahfadh min sufyan ats-Tsauri” (aku
tidak melihat seorang pun yang lebih terjaga hafalan [hadits dan periwayatannya]
dari Sufyan ats-Tsauri). (Imam al-Hafidh Abu Ahmad Abdullah bin ‘Adi
al-Jurjani, al-Kâmil fî Dlu’afâ’i al-Rijâl, 1988, juz 1, h. 85). Imam Ibnu
‘Uyainah berkata kepada Khalid bin Sa’id:
قد
أتيت الحجاز واليمن والشام، وجالست الناس، لا والله ما رأيت احدا قط أبصر، ولا
أعلم بالحديث من سفيان ابن سعيد الثوري
“Sungguh, (andai) kau datang ke Hijaz, Yaman,
dan Syam, lalu duduk bersama banyak orang (ulama). Tidak, demi Allah, aku tidak
melihat seorang pun yang lebih luas pemahamannya, dan lebih luas pengetahuannya
tentang hadits daripada Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri” (Imam al-Hafidh Abu Ahmad
Abdullah bin ‘Adi al-Jurjani, al-Kâmil fî Dlu’afâ’i al-Rijâl, 1988, juz 1, h.
85).
Artinya, kepakarannya dalam bidang hadits
tidak diragukan lagi. Ia adalah pemimpin para ulama ahli hadits. Meski
demikian, dari sekian banyak hadits yang diriwayatkannya, Imam Sufyan
ats-Tsauri mengatakan, ia tidak meriwayatkan satu hadits pun tanpa
mengamalkannya terlebih dahulu. Karena baginya, membawa hadits adalah amanah,
sebuah mata rantai suci yang berasal dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam. Jika menjadi muhaddits hanya cukup dengan menghafal sekian ratus ribu
hadits, tanpa merasakan kesuciannya, ia akan kehilangan maknanya.
Karena itu, kita sering mendengar amalan para
pengumpul hadits, seperti Imam al-Bukhari yang mandi dan melaksanakan shalat
dua rakaat sebelum menulis satu hadits, dan masih banyak contoh lainnya. Dalam
hal ini, Imam Sufyan ats-Tsauri berupaya selalu mengamalkannya terlebih dahulu
sebelum menyampaikannya kepada orang lain atau murid-muridnya. Ini juga yang
membuatnya menjadi orang yang sangat zuhud, saleh dan sederhana.
Bayangkan saja, untuk seorang dengan komitmen
kuat seperti Imam Sufyan ats-Tsauri, ia pasti berupaya keras untuk mengamalkan
semua hadits yang ia terima dari guru-gurunya. Jika ia tidak mengamalkannya,
artinya ia telah gagal mengemban amanah dalam menyebarkan hadits. Di sisi lain,
ia merasa tidak berhak menyebarkan hadits sebelum ia mengamalkannya. Karena
itu, ia sangat hati-hati dalam berfatwa, bahkan ketika ia tahu jawabannya.
Lalu ia bertanya kepada para ahli hadits
lainnya: “Tunaikanlah zakat hadits.” Tentu mereka bingung, karena selama ini
mereka belum pernah mendengar istilah “zakat hadits”. Imam Sufyan ats-Tsauri
menjelaskan (terjemah bebas): “Zakat hadits adalah kalian mengamalkan lima
hadits dari setiap dua ratus hadits yang kalian hafal, dapatkan atau terima.”
Kita tahu, zakat yang harus kita keluarkan
umumnya sebesar 2,5 persen, dan 2,5 persen dari 200 hadits adalah 5 hadits.
Dalam hal ini, Imam Sufyan ats-Tsauri hendak mendorong murid-muridnya,
teman-temannya, dan orang yang mewakafkan dirinya dalam bidang hadits agar
berupaya mengamalkannya terlebih dahulu sebelum menyebarkannya. Pengamalan ini
sangat penting. Sebab, sebuah hadits bisa mengalami devaluasi (penurunan nilai)
ketika orang yang menyampaikannya diragukan keadilannya.
Hal ini juga berlaku bagi kita yang bukan
ahli fiqih dan ahli hadits, apalagi di era infografis dan meme seperti ini.
Paling tidak, jika mengamalkannya susah, kita cek dulu atau bertanya pada
ahlinya tentang benarkah yang ada di infografis dan meme ini adalah hadits.
Jika benar bagaimana penerapannya.
Ya, paling tidak kita melakukan itu sebelum
menyebarkannya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar