Shalat Istikharah, Apakah
Jawabannya lewat Mimpi?
Shalat istikharah sejak awal dianjurkan bagi
seseorang yang merasa bimbang dalam menentukan keputusan terbaik antara dua
pilihan atau lebih. Sehingga, kesunnahan shalat istikharah ini tidak berlaku
bagi orang yang hatinya sudah mantap dalam menentukan sebuah keputusan. Begitu
juga bagi orang yang sudah memiliki kecondongan terhadap salah satu dari dua
pilihan yang akan ia pilih. Sebab dalam keadaan demikian hal yang mesti ia
lakukan adalah melakukan apa yang sesuai dengan kemantapan atau kecondongan isi
hatinya.
Tata cara shalat istikharah sebelumnya sudah
pernah dibahas dalam artikel Tata Cara dan Doa Shalat Istikharah. Secara
singkat, istikharah bermakna memohon petunjuk atas pilihan terbaik. Banyak
masyarakat yang memahami bahwa petunjuk atau jawaban dari permohonan tersebut
adalah lewat perantara mimpi. Benarkah mesti demikian?
Syekh Said Ramadhan al-Buthi dalam himpunan
fatwanya, Masyurat Ijtima’iyyat pernah ditanya persoalan yang sama:
هل
يوجد نص شرعي حول تعلق الاستخارة بالرؤية؟
لا
علاقة لصلاة الاستخارة برؤية المنامات . بل هي مجرد صلاة ثم دعاء مأثور عن رسول
الله . وليتابع بعد ذلك العمل على مشروعه الذي استخار الله له. فإن كان خيرا يسر
الله له بلوغه، وإن لم يكن خيرا صرفه الله عنه .
“Apakah ditemukan dalil syara’ tentang
hubungan shalat istikharah dengan mimpi pada saat tidur?
Tidak ada hubungan antara shalat istikharah
dengan mimpi saat tidur, bahkan shalat istikharah itu hanya sebatas
melaksanakan shalat lalu berdoa dengan doa yang disarikan dari Rasulullah. Lalu
iringilah dengan melakukan perbuatan yang diistikharahi. Jika perbuatan itu
baik, maka Allah akan mudahkan, dan jika buruk maka Allah akan memalingkan
seseorang dari perbuatan tersebut” (Syekh Said Ramadhan al-Buthi, Masyurat
Ijtima’iyyat, hal. 158)
Berpijak pada referensi di atas, beliau
berpandangan bahwa tidak ada keterkaitan sama sekali antara mimpi yang dialami
oleh seseorang dengan shalat istikharah yang telah dilakukan olehnya.
Dalam fatwanya yang lain, beliau menegaskan
bahwa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang setelah melaksanakan shalat
istikharah adalah bergegas melaksanakan hal yang ia istikharahi. Jika ternyata
diberi kemudahan maka hal tersebut merupakan sesuatu yang baik baginya.
Sebaliknya, jika saat hendak melakukan hal yang ia istikharahi, ia mengalami
hambatan dan kesulitan maka hal tersebut tidak baik untuknya. Berikut redaksi
fatwa beliau dalam referensi yang sama:
كيف
أستطيع التوفيق بين الحديث (إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه) وبين ما أشعر
به من عدم الارتياح بعد
صلاة
الاستخارة؟
ثمرة
صلاة الاستخارة لا تتمثل في الانشراح أو عدم الانشراح ولا في رؤية منام. وإنما
المطلوب من صاحب المشروع بعد صلاة
الاستخارة
أن يمضي في مشروعه ويمارس أسبابه، فإن كان خيرا يسره الله له ، وإن كان شرا
استغلقت عليه السبل وتعقد الأمر
“Bagaimana
agar aku dapat menyelaraskan antara hadits ‘Ketika datang pada kalian orang
yang kalian ridhai agama dan budi pekertinya, maka nikahilah dia’ dan perasaan
tak lega (tidak puas) setelah melaksanakan shalat istikharah?
Buah dari shalat istikharah bukanlah berupa
lega atau tidaknya hati, juga tidak pada mimpi saat tidur. Hal yang dituntut
dari seseorang setelah melaksanakan shalat istikharah adalah melanjutkan apa
yang biasa dilakukannya dan melaksanakan sebab-sebab terjadinya hal yang ia
istikharahi. Jika ternyata baik, maka Allah akan memudahkannya, dan jika buruk
maka Allah akan mengunci jalannya dan akan mengikat hal tersebut (agar tidak
terjadi)” (Syekh Said Ramadhan al-Buthi, Masyurat Ijtima’iyyat, hal. 159).
Pandangan tentang tidak adanya keterkaitan
antara mimpi yang dialami oleh seseorang dengan shalat istikharah, juga
disampaikan oleh salah satu ulama kenamaan mesir, Syekh Mutawali as-Sya’rawi
dalam salah satu fatwa beliau:
وهل
ما يراه الإنسان في منامه بعد الاستخارة يدل على القبول أو الرفض؟
ويجيب
فضيلة الشيخ الشعراوي :إن الرؤيا في المنام لیست واردة في الاستخارة ، ولكن ما
نراه في المنام يأتي من شغل البال بالموضوع . إنما الاستخارة الشرعية التي علمنا
إياها النبي هي : أن نصلي ركعتين ، ثم نسأل الله بالدعاء المعروف - ثم
ما ينشرح له صدرك بعد ذلك فهو ما يريده الله لك .
“Apakah mimpi yang dialami oleh seseorang
setelah shalat istikharah menunjukkan diterimanya hal yang ia istikharahi (di
sisi Allah) atau tertolaknya hal tersebut?
Syekh as-Sya’rawi menjawab, ‘Mimpi pada saat
tidur tidaklah berlaku pada shalat istikharah, tetapi mimpi tersebut bermula
dari isi hatinya terhadap suatu subjek tertentu. Istikharah secara syara’ hanya
tertentu pada hal yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, yakni shalat dua rakaat
lalu memohon pada Allah dengan doa yang sudah dijelaskan (dalam hadits), lalu
apa yang tercerahkan (merasa lega) dalam hatimu setelah melaksanakan shalat dan
doa istikharah, maka itulah hal yang dikehendaki oleh Allah padamu” (Syekh
Mutawali as-Sya’rawi, al-Fatawa as-Sya’rawi, hal. 702).
Dua referensi di atas sekaligus menegaskan
perbedaan pendapat tentang jawaban dari pertanyaan “apakah kelegaan hati
setelah shalat istikharah merupakan pertanda jawaban baik atas hal yang semula
kita bimbangkan?”
Pandangan Syekh Mutawali as-Sya’rawi tersebut
senada dengan pendapat an-Nawawi, bahwa kelegaan hati yang dialami oleh
seseorang merupakan pertanda baik dan jawaban atas shalat istikharah yang
dilakukan seseorang. Sedangkan pendapat Syekh Said Ramadhan bahwa jawaban dari
shalat istikharah tidak ditentukan dari kelegaan hati (insyirah ash-shadri)
melainkan dari sulit dan mudahnya seseorang tatkala melakukan hal yang ia
istikharahi, sesuai dengan pendapat Ibnu Qayyim al-Jauzi yang disampaikan dalam
kitab Zad al-Ma’ad dan Madarij as-Salikin (lihat: Abu al-Hasan Ubaidillah
al-Mubarakfuri, Mir’ah al-Mafatih, juz 4, hal. 364-365).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
jawaban dari shalat istikharah tidak selamanya dari mimpi. Sebab, seringkali
mimpi yang dialami oleh seseorang lebih dikarenakan kondisi emosional atau
pikiran-pikiran yang sering terlintas dalam benaknya, yang sebenarnya tidak
berkaitan dengan petunjuk Allah atas shalat istikharah yang ia lakukan.
Perbedaan pandangan tentang jawaban dari
shalat istikharah seperti yang dijelaskan di atas, sejatinya merupakan
pandangan para ulama yang berdasarkan dalil serta pengalaman spiritual mereka.
Masing-masing dapat dijadikan pijakan oleh orang awam yang belum bisa
membedakan antara petunjuk Tuhan atas jawaban dari persoalan yang sedang
dialaminya dan khayalan pribadinya belaka. Berbeda halnya dengan mimpi-mimpi
serta petunjuk (irsyadat) yang dialami orang-orang khas, seperti kaum sufi dan
para ulama al-‘amilin yang memiliki ketajaman batin dan pengalaman
spiritual mendalam. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di
Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar