Saat Abu Musa al-Asy’ari Minta Disiapkan
Galian Kubur
Sejak zaman Nabi Adam, tidak ada satu pun kisah orang yang hidupnya kekal. Nabi Sulaiman yang kaya raya serta taat, menjadi utusan Allah, dan kerajaannya tiada banding sepanjang sejarah manusia hidup di muka bumi, juga pada akhirnya meninggal dunia.
Qarun merupakan salah seorang sepupu Nabi
Musa yang superkaya. Untuk membawa kunci gudangnya saja, setidaknya dibutuhkan
sepuluh orang berbadan kekar. Meski demikian toh akhirnya mati pula. Begitu
pula Fir'aun, orang yang pernah mengaku sebagai Tuhan, tak kuasa melawan takdir
kematian atas dirinya.
Di dunia ini, orang yang hidupnya masih
bertahan lama hanya empat. Demikian disampaikan KH Sya'roni Ahmadi asal Kudus,
Jawa Tengah. Dua di antaranya, Nabi Idris dan Nabi Isa hidup di langit.
Sedangkan yang dua masih hidup di dunia, yaitu Nabi Khidir dan Nabi Ilyas,
'alaihimus salam. Dari keempat nabi tersebut pada akhirnya juga meninggal
ketika jatuh hari kiamat kelak.
Ada berbagai macam sikap orang-orang baik
saat mempersiapkan kematian mereka. Ada seorang habib yang setiap pergi ke
mana-mana, membawa kain kafan di dalam tasnya, agar dia bisa mengingat mati di
setiap saat. Lalu, bagaimana sikap orang-orang shalih itu menghadapi kematian
yang sudah di ujung mata?
Hani al-Haj menceritakan banyak kisah orang shalih dalam menghadapi kematiannya yang terekam dalam ktabnya Alfu Qishah wa Qishah, al-Maktabah at-Taufîqiyyah, halaman 266-271.
Satu contoh, Abu Musa al-Asy'ari. Suatu hari
tokoh generasi sahabat ini memanggil sejumlah pemuda dan mengajukan permintaan
yang aneh.
"Pergilah kalian, tolong galikan aku
sebuah kuburan yang dalam. Sebab penggalian yang dalam merupakan sebuah
kesunnahan." Demikian pesan Abu Musa kepada para pemuda tersebut. Setelah
usai, para penggali kubur kemudian melapor kepada Abu Musa, "Ini, kami sudah
selesai menggali."
"Iya, coba duduklah kalian di sini,
bersamaku! Demi Allah, Tuhan yang menggenggam jiwaku. Dalam kuburan yang kalian
gali itu terdapat dua tempat. Mungkin saja kuburanku itu kelak akan diluaskan
sehingga setiap sudut akan dilebarkan menjadi 40 hasta.
Dari ruangan itu, akan dibukakan kepadaku
pintu-pintu surga. Di sana aku akan melihat rumahku dan istri-istriku.
Kenikmatan-kenikmatan surgawi disiapkan untukku. Lalu, pada hari ini, tempatku
di surga itu aku hadiahkan kepada keluargaku. Aku akan mendapatkan kesegaran
dan aroma wewangian yang semerbak hingga kelak aku dibangkitkan.
Dan jika kejadiannya lain, kuburanku
disempitkan sampai tulang rusukku terjepit, sampai-sampai ukuran kuburkanku
lebih sempit daripada sekian saja. Pintu-pintu neraka jahanam telah dibukakan
kepadaku. Di situ, aku akan melihat tempatku dan aneka siksaan yang
dipersiapkan Allah kepadaku, berupa rantai-rantai, belenggu, dan teman-teman
yang buruk. Pada hari itu, aku akan merasakan kepanasan sampai kelak aku dibangkitkan."
Abu Musa al-Asy’ari mengingatkan kita bahwa
kematian pasti terjadi dan hanya dua kondisi yang akan dialami manusia kelak:
kebahagiaan atau kesengsaraan. Ia merenungi itu untuk diri sendiri, juga untuk
orang-orang di sekitarnya yang masih muda-muda. Kematian memang tak mengenal
usia. Siapa saja layak menerima nasihat tentang kenyataan manis atau pahit
kehidupan selepas mati.
Kematian bagi para ulama terdahulu begitu
melekat di hati, bahkan menjadi sesuatu yang patut ditangisi. Kesedihan mereka bukan
lantaran takut pada kematian itu sendiri, melainkan karena ketidakpastian:
apakah diri ini kelak mendapat ridha Allah atau tidak. Sebuah ekspresi yang
timbul dari kerendahan hati mereka.
Ibrahim an-Nakha'i saat menjelang
kematiannya, ia menangis. Lalu ada orang yang bertanya, "Apa yang membuat
anda menangis?"
Dijawab, "Tidak, aku tidak menangis.
Hanya saja aku sedang menunggu utusan-utusan Tuhanku datang. Entah mereka akan
membawa kabar gembira kepadaku berupa surga atau neraka.
Ibnul Munkadir juga menangis ketika
menghadapi kematiannya. Saat ditanya mengapa menangis, ia menjawab "Demi
Allah, aku bukan menangisi dosa yang telah aku ketahui. Namun aku khawatir, aku
telah melakukan sesuatu yang menurut dugaanku itu merupakan hal yang
remeh-temeh, tapi menurut Allah ternyata hal tersebut adalah suatu hal yang
besar. Wallahu a'lam. []
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren
Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar