Meluruskan Makna Jihad (35)
Ketika Kelompok Radikal Mengusung Isu Ganda
Oleh: Nasaruddin Umar
Ketika ikut bersama rombongan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) ke Cina beberapa hari lalu, saya sempat mengunjungi Xinjiang,
provinsi yang dihuni mayoritas muslim. Penduduknya banyak menggunakan bahasa
Uighur, yang sangat berbeda dengan bahasa Cina. Provinsi ini berbatasan
langsung dengan sejumlah negara seperti India, Pakistan, Afganistan, dan
Tajikistan.
Postur dan wajah mereka juga lebih mirip atau paling tidak
kelihatan blasterannya dengan negara-negara Asia Barat Daya. Hidung mereka
mancung postur tubuh rata-rata lebih tinggi, rambut hitam. Budaya lokal
setempat juga lebih dekat kepada tetangganya ketimbang budaya Cina daratan
lainnya. Kekayaan alam mereka sangat mendukung, yaitu pertanian dan
pertambangan. Jumlah penduduk yang besar juga merupakan aset penting, apalagi
dengan SDM yang lebih terampil.
Ada beberapa pelajaran penting bisa kita ambil sebagai pelajaran
di sana. Pertama ialah lahirnya kelompok radikal yang mengusung dua isu, yaitu
isu radikalisme agama (Islam) dan radikalisme separatis, yang berusaha untuk
memisahkan diri dengan Tiongkok Raya dan berdiri sebagai negara sendiri.
Sasaran-sasaran kelompok di wilayah ini ialah pemerintah yang berdaulat.Mereka
meminta merdeka atau memisahkan diri dengan pemerintah pusat dan pada saat
bersamaan mereka menuntut diberlakukan syariah Islam.
Fenomena radikalisme di Xinjiang mirip dengan apa yang pernah
terjadi di Indonesia dalam tahun 1960-an, ketika sejumlah kelompok radikal dan
separatis menyatu untuk mengusung sebuah ideologi tersendiri. Kita pernah
mengenal Pemberontakan Kartosuwiryo di Jawa Barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi
Selatan, dan Daud Beureuh di Aceh. Tuntutan mereka berduplikasi antara tuntutan
ideologi agama dan separatism.
Penduduk Uighur banyak meninggalkan negerinya lalu meminta suaka
politik dengan alasan di negerinya mengalami ancama keselamatan. Tetapi sembari
meminta suaka politik ditemukan juga beberapa komunitas Uighur menjadi anggota
ISIS dan ikut aktif mencari pengaruh ke di negara tujuan. Di Indonesia sendiri
sudah ada empat orang warga Uighur yang ditangkap di wilayah Poso, Sulawesi
Tengah untuk bergabung dengan kelompok Santoso dan Daeng Koro di sana. Namun
mereka keburu ditangkap sebelum bergabung dengan mereka.
Yang perlu diwaspadai ialah jangan sampai muncul kelompok radikal
yang mempunyai jualan ganda, yaitu ideologi agama dan separatisme. Kedua hal
ini bisa menjadi isu, dengan adanya kenyataan bahwa pertama, ISIS sedang
mencari para pejuang yang akan berjuang untuk membentuk Khilafah Islaminyah,
dan kedua isu ketimpangan pendapatan pusat dan daerah sering diangkat sebagai
kekuatan logika untuk membangkitkan emosi masa untuk bergolak.
Media publik yang sedemikian bebas berbanding lurus dengan
fenomena melemahnya rasa nasionalisme kebangsaan bisa saja memicu persoalan
dengan skala besar. Angka-angka distribusi pembagian kue pembangunan per
wilayah dibuka di media. Kelihatan secara transparan bahwa ada provinsi
penghasil devisa sangat tinggi, tetapi daerah tersebut menikmati kurang dari
10% pendapatan daerahnya. Sementara daerah lain dengan berlindung di bawah
otonomi khusus bisa menikmati lebih dari 20% penghasilan daerahnya.
Angka-angka ekstrem seperti itu bisa dipicu dengan kecemburuan
sosial antara wilayah tertentu di Indonesia dengan wilayah Indonesia di bagian
barat, khususnya Pulau Jawa. Bahaya radikalisme perlu dilihat dari berbagai
aspek, bukan hanya dari aspek kelompok minoritas muslim yang selalu turun ke
jalan. Ketidakadilan yang terpampang di hadapan mata publik bisa memicu
persoalan yang tak kalah bahayanya dengan masalah radikalisme agama. []
DETIK, 20 Februari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam
Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar