Bangsa Bernilai
Oleh: Yudi Latif
Paus Fransiskus menemukan alam terkembang sebagai guru. ”Sungai
tak minum airnya sendiri; pohon tak makan buahnya sendiri; kembang tak
pancarkan aroma bagi dirinya; mentari tak bersinar bagi dirinya. Hidup bagi
orang lain adalah suatu hukum alam. Kita terlahir untuk saling membahagiakan.”
Manusia tercipta lebih istimewa, mengemban misi perawatan alam
semesta. Jiwanya laksana mentari yang memancarkan cahaya kasih dalam gerak
meninggi. Jika cahaya itu redup, dunia memasuki gelap malam; kemanusiaan
terjerembap ke lembah kebinatangan. Tengoklah ke dalam, seberapa tinggi derajat
kemanusiaan kita.
Tidakkah kepemimpinan lebih mendahulukan kepentingan (promosi)
keluarga sendiri? Tidakkah DPR membuat undang-undang yang menguntungkan diri
sendiri? Tidakkah pemerintah menyusun kebijakan dan personel untuk keuntungan
pendukung sendiri? Tidakkah kebijakan pejabat menguntungkan perusahaan dan
jaringan sendiri? Tidakkah perusahaan mengelabui pajak, mematikan yang lemah,
dan menghancurkan ekosistem demi keuntungan sendiri?
Manusia memang primata sosial. Padanya mengendap predisposisi
naluriah yang sama dalam dorongan mengembangkan relasi dominatif, struktur
sosial hierarkis, serta ketundukan pada yang superior. Dalam komunitas primata,
semua ketimpangan relasional diterima secara natural demi memastikan
keberlangsungan keturunan sesama kerabat yang memiliki pertalian genetik.
Bisa dipahami, mengapa pilihan standar sistem politik masyarakat
dunia cenderung ke arah otoritarianisme. Demokrasi hanya perkecualian; sesekali
muncul dengan sedikit percobaan yang berhasil. Bahkan, pada era demokrasi,
kebanyakan politik negara masih bersifat demokrasi semu.
Perwujudan demokrasi sehat perlu memenuhi kondisi sosial-budaya,
ekonomi, dan politik yang memungkinkan seraya menuntut penyesuaian model
demokrasi terhadap kondisi sosial-budaya, ekonomi, dan politik yang ada. Salah
satu prasyarat kuncinya adalah variabel budaya. Bernardo Arévalo (1999)
menengarai penyebab kegagalan demokrasi di sejumlah negara diakibatkan
kendatipun perangkat keras (prosedur) demokrasi telah diadopsi, perangkat lunak
(budaya) politiknya masih melanggengkan feodalisme (otoritarianisme).
Variabel budaya yang mendasar adalah nilai keyakinan-moralitas.
Dalam demokrasi, legitimasi kekuasaan tidak bisa bertumpu pada
”kekerasan/pemaksaan”, tetapi harus berbasis moralitas. Sumber moralitas itu
bisa saja dipasok dari nilai keagamaan tradisional (supernatural), tetapi harus
mengalami kristalisasi menjadi civil
religion, yang dapat mempertemukan nilai-nilai universal
(etika-spiritual) agama-agama. Bisa juga berasal dari gagasan (moral) sekuler
yang diangkat ke level ”sakral” sehingga diterima warga negara sebagai nilai
yang ”disucikan”. Dalam konteks Indonesia,
civil religion itu bernama Pancasila.
Tentang bagaimana mengembangkan civil
religion, Jean-Jacques Rousseau dan Emile Durkheim berbeda
pandangan. Bagi Rousseau, civil
religion itu harus dikreasikan dan diinjeksikan oleh negara pada
warganya. Bilamana ada warga yang dianggap bertentangan dengan imperatif civil religion, tidak ada
pilihan lain bagi negara kecuali melibasnya. Konsekuensinya, civil religion rentan
dimanipulasi negara untuk membungkam kritik dan oposisi.
Sebaliknya, bagi Durkheim, civil
religion bisa ditumbuhkan secara sukarela atas dasar swadaya
masyarakat. Berbagai komunitas (agama, sekolah, permukiman, kerja, media,
adat-budaya, organisasi masyarakat, dan politik) aktif menyemai nilai-nilai
kewargaan di komunitas masing-masing seraya terlibat dalam ruang-ruang
interaksi-komunikasi lintas agama-budaya yang memperkuat integrasi
antarkomunitas berbasis nilai yang disepakati bersama. Pada demokrasi yang sehat,
civil religion
menurut versi negara harus dicek dengan versi masyarakat agar tercapai sintesis
sehat, terhindar dari manipulasi kekuasaan.
Menghadirkan prasyarat civil
religion tidaklah mustahil. Manusia primata istimewa, satu-satunya
yang dapat menciptakan, menerima, dan bertindak atas dasar keyakinan (agama,
spiritualitas, ideologi) dan nilai (etika, moralitas). Dengan itu, manusia tak
hanya tunduk pada natur, tapi juga—lewat pembelajaran (nurture)—dapat mengolah
natur jadi kultur.
Berkat kompas keyakinan dan nilai kultural, kebebasan alamiah
dengan dorongan naluri primata ditransformasikan menjadi ”kebebasan sipil”.
Kekuatan dan kepentingan pribadi dibatasi oleh kehendak umum dan kebajikan
bersama. Semangat kekeluargaan meluas dari komunalisme serumpun-sekubu menjadi
solidaritas kebangsaan dan kemanusiaan.
Jika demokrasi dirayakan dengan tirani oligarki, pemodal kuat
menginvasi legislasi, feodalisme membenamkan meritokrasi, komunalisme
melumpuhkan solidaritas kebangsaan, rasa empati pada perbedaan pudar. Itu
pertanda dimensi kemanusiaan kita meluluh. Keluhuran keyakinan dan nilai
merosot seiring ketidaktaatan penyelenggara negara dan warga pada imperatif
moral civil religion
(Pancasila).
Komunitas agama tak tekun menyemai nilai, hanyut dalam perebutan
kuasa. Dunia pendidikan terjebak dalam instrumentalisme, menelantarkan
pembudayaan nilai kewargaan. Penggawa media berlomba mengejar rating dengan
merusak keadaban publik. Elite penguasa memisahkan politik dan etik seperti
minyak dengar air.
Para pengusaha memandang ekonomi bebas nilai, merobohkan batas
aturan dan ambang kepatutan untuk menimbun kapital. Begitulah, prahara terbesar
bangsa ini adalah krisis nilai. Padahal, tanpa kekuatan nilai, pencapaian apa
pun tak bernilai. Jika kemajuan dan kebahagiaan bersama jadi impian, kita harus
bermikraj dari kebinatangan menuju kemanusiaan dengan memuliakan kembali nilai.
[]
KOMPAS, 27 Februari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar