Kamis, 12 Maret 2020

(Ngaji of the Day) Hukum Menangis dan Pura-pura Menangis saat Membaca Al-Quran


Hukum Menangis dan Pura-pura Menangis saat Membaca Al-Quran

Al-Qur’an adalah pedoman bagi kaum Muslim. Membacanya pun menjadi salah satu ladang amal yang sangat tinggi pahalanya, apalagi sampai mampu menghayati dan mentadabburi bacaan yang sedang kita baca, maka pahalanya pun pasti akan berlipat ganda jika didukung dengan niat yang baik, yakni untuk mencari ridha Allah SWT.

Saat ini sering kita temukan orang yang membaca Al-Qur’an hingga menangis tersedu-sedu, mulai dari seorang qari di acara pernikahan, hingga ustadz-ustadz yang ada di televisi dan aplikasi berbagi video di dunia maya.

Tangis yang muncul bersamaan dengan pembacaan ayat Al-Qur’an tersebut tak jarang menarik orang lain untuk sama-sama menangis. Namun tak jarang banyak juga yang menganggap bahwa itu adalah tangis yang sengaja dibuat-buat untuk menarik simpati dan hati dari penonton.

Untuk menjawab ini, pertama yang harus kita perhatikan adalah kita hanya bisa memvonis tangisan yang mengiringi bacaan Al-Qur’an itu secara zahirnya saja, karena yang menjadi objek hukum adalah perkara zahir, yakni orang tersebut menangis pada saat membaca Al-Qur’an.

Dalam hal ini, Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa menangis saat membaca Al-Qur’an sangat disunnahkan karena menangis saat membaca Al-Qur’an adalah sifat atau ciri-ciri orang-orang yang arif dan hamba-hamba yang saleh.

فإن البكاء عند القراءة صفة العارفين  وشعار عباد الله الصالحين

Artinya, “Sesungguhnya menangis saat membaca Al-Qur’an adalah sifatnya orang-orang yang arif dan syiarnya hamba-hambah Allah yang saleh,” (Lihat Muhyiddin Abu Zakariya An-Nawawi, Al-Adzkar An-Nawawi, [Beirut, Darul Kutub Al-Islamiyah: 2004], juz I, halaman 165).

Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa menangis saat membaca Al-Qur’an adalah salah satu tanda atau implikasi dari kekhusyuan. Dalam hal ini, Imam An-Nawawi mengutip Surat Al-Isra ayat 109:

وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا

Artinya, “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'.” (Al-Isra ayat 109).

Dalam hadits riwayat Imam al-Bukhari dalam Sahih Bukhari juga disebutkan bahwa ketika Abdullah bin Masud diperintahkan Rasul SAW untuk membaca Al-Qur’an, Rasul menangis.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَأْ عَلَيَّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ آقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ قَالَ نَعَمْ فَقَرَأْتُ سُورَةَ النِّسَاءِ حَتَّى أَتَيْتُ إِلَى هَذِهِ الْآيَةِ (فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدً ) قَالَ حَسْبُكَ الْآنَ فَالْتَفَتُّ إِلَيْهِ فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ

Artinya, “Dari Abidah dari Abdullah bin Mas'ud ia berkata; Rasulullah SAW pernah bersabda kepadaku, 'Bacakanlah Al-Qur`an untukku.' Maka aku pun berkata, 'Wahai Rasulullah, apakah aku akan membacanya untuk Anda, padahal kepada engkaulah Al-Qur’an diturunkan?' Ia menjawab, 'Ya.' Lalu aku pun membacakan surat An Nisa, hingga aku sampai pada ayat, 'Dan bagaimanakah sekiranya Kami mendatangkan manusia dari seluruh umat dengan seorang saksi, lalu kami mendatangkanmu sebagai saksi atas mereka.' Maka beliau pun bersabda padaku, 'Cukuplah.' Lalu aku menoleh ke arahnya dan ternyata kedua matanya sudah meneteskan air mata," (Lihat Al-Bukhari, Sahih Bukhari, [Beirut, Daru Tuq an-Najah: 1422 H], juz VI, halaman 196).

Ayat dan hadits tersebut menunjukkan bahwasanya kesunahan menangis saat membaca Al-Qur’an karena khusyu’ menghayati dan mentadabburi bacaan Al-Qur’an. Lalu bagaimana jika ustadz atau qari’ yang membaca Al-Qur’an pura-pura menangis?

Dalam hal ini Imam An-Nawawi juga telah menjelaskan bahwa pura-pura menangis saat membaca Al-Qur’an diperbolehkan, bahkan disunnahkan untuk pura-pura menangis jika tidak mampu menangis dengan sendirinya.

ويستحب البكاء والتباكي لمن لا يقدر على البكاء

Artinya, “Disunnahkan untuk menangis dan pura-pura menangis (dipaksa menangis) jika tidak mampu menangis (dengan sendirinya),” (Lihat Muhyiddin Abu Zakariya An-Nawawi, Al-Adzkar An-Nawawi, [Beirut, Darul Kutub Al-Islamiyah: 2004], juz I, halaman 165).

Hal ini juga didukung sebuah hadits riwayat Imam Al-Baihaqi dan Ibnu Majjah bahwa Rasul meminta kita untuk pura-pura menangis saat tidak mampu menangis ketika membaca Al-Qur’an.

إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ نَزَلَ بِحُزْنٍ فَإِذَا قَرَأْتُمُوهُ فَابْكُوا فَإِنْ لَمْ تَبْكُوا فَتَبَاكَوْا

Artinya, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dengan kesedihan, jika kalian membacanya, maka menangislah, dan jika tidak bisa menangis, maka pura-puralah untuk menangis,” (Lihat Ibnu Majjah, Sunan Ibn Majjah, (Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], halaman 424).

Terkait tujuan tangisannya itu apakah untuk menarik perhatian orang lain atau tidak, itu adalah urusan si qari’ dengan Allah SWT. Jika ia menangis untuk menarik perhatian penonton, bukan karena Allah SWT, maka Allah SWT pula yang hanya dapat mengetahuinya, dan berhak untuk tidak memberikan pahala kepadanya.

Kita sebagai manusia hanya bisa menjangkau sesuatu yang zahir. Kita tidak boleh asal memvonis perkara batin yang sebenarnya tidak kita ketahui. 

Maka jika ada ustadz atau qari yang pura-pura menangis saat membaca Al-Qur’an, kita tidak perlu beranggapan buruk kepadanya. Anggap saja mereka ingin mengamalkan kebaikan-kebaikan yang ada saat membaca Al-Qur’an. Wallahu a’lam. []

(Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar