Rabu, 11 Maret 2020

Nasaruddin Umar: Meluruskan Makna Jihad (38): Lain Jihad, Lain Terorisme


Meluruskan Makna Jihad (38)
Lain Jihad, Lain Terorisme
Oleh: Nasaruddin Umar

Makna jihad dan konsep-konsep Islam lain perlu segera diluruskan. Selama dekade terakhir ini vocabulary popular bahasa Inggris dan bahasa Eropa lainnya, bahkan termasuk bahasa Indonesia sendiri cenderung mengadili ajaran-ajaran luhur Islam menjadi ajaran yang berkonotasi negatif.

Contohnya, kata jihad yang seharusnya berarti perjuangan untuk menegakkan ajaran-ajaran universal Islam dengan memperhatikan strategi dan kondisi objektif sasaran dikonotasikan dengan perjuangan kelompok radikal dan teroris. Kata futuhat yang seharusnya berarti perluasan dakwah Islam diartikan sebagai perluasan wilayah dan pendudukan (expantion and occupation). Kata fae yang seharusnya berarti harta rampasan yang sah dalam hukum perang (al-gazawat) tiba-tiba dikonotasikan oleh berbagai pihak sebagai pembenaran simplistik untuk menjarah harta orang atau sumber keuangan teroris.

Dan, simbol Allah (alif-lam-lam-ha) sebagai simbol suci tiba-tiba tampil sebagai simbol mengerikan. Hanya karena lambang Allah ini dipakai oleh ISIS sehingga sejumlah di masjid dan musala di dunia Barat dicopot dari dinding masjid, karena takut ada akibatnya dari komunitas sekitarnya.

Jihad sesungguhnya, seperti dikatakan dalam artikel terdahulu, adalah lambang perjuangan kemanusiaan. Jihad untuk menghidupkan orang, bukan untuk mematikan atau menghancurkan properti orang, apalagi orang-orang yang tak berdosa. Kenapa tiba-tiba istilah jihad sudah menjadi istilah yang berkonotasi negatif? Ini tentu tantangan kita sebagai umat Islam untuk memulihkan citra istilah jihad.

Apalagi ISIS dalam bahasa Barat sering diidentikkan dengan "universal jihadi", suatu istilah yang sangat tidak tepat karena dikonotasikan sebagai gerakan terorisme internasional.

Anehnya, pengertian terrorism dalam International Oxford Dictionary tidak dipakai di dalam pengertian popular tentang terrorism, karena di sana disebutkan pengertian terrorism di antaranya ialah "melakukan penyerbuan secara brutal dan menebarkan rasa takut kepada masyarakat luas...." Kalau definisi ini dipakai, maka upaya counter terrorism yang dilakukan di dunia Barat, termasuk AS juga tindakan teroris.

Sepertinya kata teroris harus ditujukan kepada komunitas tertentu dengan agama tertentu saja. Israel yang melakukan serangan brutal membabi buta dan cenderung biadab tidak pernah dicap sebagai negara teroris. Mereka tenang-tenang saja diberi gelar sebagai negara yang melakukan pertahanan diri atau bela diri. Di forum-forum internasional termasuk di bawah badan PBB tidak pernah disetujui Israel sebagai negara teroris, tetapi Irak, Iran, Siria, dan entah negara mana lagi yang akan menyusul dengan cepat dianggap sebagai negara teroris yang harus diembargo.

Pola pendekatan yang tidak adil dan double standard seperti itulah yang memicu dan melestarikan teroris.

Sehubungan dengan ini, Obama dalam akhir periodenya sebagai Presiden AS memberikan harapan baru untuk dunia internasional. Pernyataan Gedung Putih dan US State Department menarik untuk diperhatikan. Sepertinya akan muncul kesadaran kemanusiaan atau kesadaran nurani di dalam membaca perkembangan terakhir.

Dalam acara Summit on Countering Violent Extremism, 19 Februari 2015 yang dibuka Obama, saya sebagai salah seorang panelis juga menekankan apa yang saya singgung di atas. Ternyata civil society AS sesungguhnya sangat mencintai keadilan, keharmonisan, dan ketenangan. Semoga semuanya akan membawa hikmah lebih besar untuk dunia kemanusiaan. []

DETIK, 25 Februari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar