Meluruskan Makna Jihad (38)
Lain Jihad, Lain Terorisme
Oleh: Nasaruddin Umar
Makna jihad dan konsep-konsep Islam lain perlu segera diluruskan.
Selama dekade terakhir ini vocabulary
popular bahasa Inggris dan bahasa Eropa lainnya, bahkan termasuk bahasa
Indonesia sendiri cenderung mengadili ajaran-ajaran luhur Islam menjadi ajaran
yang berkonotasi negatif.
Contohnya, kata jihad yang seharusnya berarti perjuangan untuk
menegakkan ajaran-ajaran universal Islam dengan memperhatikan strategi dan
kondisi objektif sasaran dikonotasikan dengan perjuangan kelompok radikal dan
teroris. Kata futuhat
yang seharusnya berarti perluasan dakwah Islam diartikan sebagai perluasan
wilayah dan pendudukan (expantion
and occupation). Kata fae
yang seharusnya berarti harta rampasan yang sah dalam hukum perang (al-gazawat) tiba-tiba
dikonotasikan oleh berbagai pihak sebagai pembenaran simplistik untuk menjarah
harta orang atau sumber keuangan teroris.
Dan, simbol Allah (alif-lam-lam-ha)
sebagai simbol suci tiba-tiba tampil sebagai simbol mengerikan. Hanya karena
lambang Allah ini dipakai oleh ISIS sehingga sejumlah di masjid dan musala di
dunia Barat dicopot dari dinding masjid, karena takut ada akibatnya dari
komunitas sekitarnya.
Jihad sesungguhnya, seperti dikatakan dalam artikel terdahulu,
adalah lambang perjuangan kemanusiaan. Jihad untuk menghidupkan orang, bukan
untuk mematikan atau menghancurkan properti orang, apalagi orang-orang yang tak
berdosa. Kenapa tiba-tiba istilah jihad sudah menjadi istilah yang berkonotasi
negatif? Ini tentu tantangan kita sebagai umat Islam untuk memulihkan citra
istilah jihad.
Apalagi ISIS dalam bahasa Barat sering diidentikkan dengan "universal jihadi",
suatu istilah yang sangat tidak tepat karena dikonotasikan sebagai gerakan
terorisme internasional.
Anehnya, pengertian terrorism
dalam International Oxford
Dictionary tidak dipakai di dalam pengertian popular tentang terrorism, karena di sana
disebutkan pengertian terrorism
di antaranya ialah "melakukan penyerbuan secara brutal dan menebarkan rasa
takut kepada masyarakat luas...." Kalau definisi ini dipakai, maka upaya counter terrorism yang dilakukan
di dunia Barat, termasuk AS juga tindakan teroris.
Sepertinya kata teroris harus ditujukan kepada komunitas tertentu
dengan agama tertentu saja. Israel yang melakukan serangan brutal membabi buta
dan cenderung biadab tidak pernah dicap sebagai negara teroris. Mereka
tenang-tenang saja diberi gelar sebagai negara yang melakukan pertahanan diri
atau bela diri. Di forum-forum internasional termasuk di bawah badan PBB tidak
pernah disetujui Israel sebagai negara teroris, tetapi Irak, Iran, Siria, dan
entah negara mana lagi yang akan menyusul dengan cepat dianggap sebagai negara
teroris yang harus diembargo.
Pola pendekatan yang tidak adil dan double standard seperti itulah yang memicu
dan melestarikan teroris.
Sehubungan dengan ini, Obama dalam akhir periodenya sebagai
Presiden AS memberikan harapan baru untuk dunia internasional. Pernyataan
Gedung Putih dan US State Department menarik untuk diperhatikan. Sepertinya
akan muncul kesadaran kemanusiaan atau kesadaran nurani di dalam membaca
perkembangan terakhir.
Dalam acara Summit on Countering Violent Extremism, 19 Februari
2015 yang dibuka Obama, saya sebagai salah seorang panelis juga menekankan apa
yang saya singgung di atas. Ternyata civil
society AS sesungguhnya sangat mencintai keadilan, keharmonisan,
dan ketenangan. Semoga semuanya akan membawa hikmah lebih besar untuk dunia
kemanusiaan. []
DETIK, 25 Februari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar