Pengguna Kursi Roda
Dilarang Masuk Masjid?
Di Indonesia sebagian dari kita tentu pernah
mendengar atau membaca berita tentang penyandang disabilitas pengguna kursi
roda yang ditolak masuk masjid atau dilarang menaiki karpet shalat di dalamnya.
Peristiwa ini sudah beredar di sejumlah media. Kasusnya pun tidak hanya
sekali.
Sebagian pengurus ta'mir masjid berdalih
bahwa kursi roda yang dibawa bisa saja membawa najis dari luar. Demi menjaga
kesucian lantai atau karpet masjid, penyandang disabilitas pun terpaksa ditahan
di luar atau dipersilakan masuk dengan catatan: tanpa membawa kursi roda, atau
kursi roda tak boleh menyentuh karpet.
Peristiwa ini pun memancing kontroversi.
Pergunjingan di masyarakat menyentuh isu diskriminasi layanan terhadap kelompok
berkebutuhan khusus. Pengurus masjid dianggap tidak empatik. Masjid yang
seharusnya milik umat bersama terkesan tidak ramah kepada penyandang disabilitas.
Bagaimana sebenarnya hukum Islam mencermati
problem ini?
Mencermati gejala di atas, setidaknya ada dua
isu pokok yang mesti dijelaskan. Pertama, perihal diskriminasi--bagaimana Islam
menempatkan kaum difabel atau penyandang disabilitas? Kedua, ihwal status
kesucian kursi roda--bagaimana sebaiknya kita menghukumi sesuatu yang belum
jelas suci atau najisnya?
Kaum Difabel di Mata Islam
Tentang persoalan pertama, Musyawarah
Nasional Alim Ulama NU yang digelar pada 2017 di Lombok, Nusa Tenggara Barat,
sudah memberi penjelasan yang cukup gamblang.
Dalam literatur fiqih terdapat beberapa
istilah yang mengarah kepada penyandang disabilitas atau difabel. Seperti
syalal (kelumpuhan) yaitu kerusakan atau ketidakberfungsian organ tubuh, al-a’ma
(orang buta), al-a’raj (orang pincang), dan al-aqtha’ (orang
buntung).
Islam tak memandang penyandang disabilitas
itu secara negatif. Islam memandang hal itu sebagai ujian. Pertama, ujian bagi
yang penyandang disabilitas, apakah yang bersangkutan bisa sabar atau tidak.
Kedua, juga ujian bagi pihak lain, apakah mereka memiliki kepedulian pada
penyandang disabilitas atau tidak.
Bahkan, dalam perspektif Islam, orang-orang
dengan sejumlah keterbatasan itu dinilai sebagai sumber kekuatan. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ابَغُوْنِي
الضُّعَفَاءَ ، فإنما تُرْزَقُوْنَ وَ تُنْصَرُوْنَ بِضُعَفَائِكُمْ
“Carilah untuk-ku orang-orang yang lemah di
antara kalian. Karena kalian diberi rezeki dan kemenangan karena membantu
orang-orang yang lemah di antara kalian," (HR. Abu Dawud).
هَلْ
تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلا بِضُعَفَائِكُمْ
“Kalian diberi kemenangan dan rezeki karena
membantu orang-orang yang lemah di antara kalian," (HR. Bukhari).
Terlebih mereka menyandang disabilitas bukan
atas kehendaknya melainkan sebagai karunia Allah. Karena itu, dalam perspektif
Islam, menghargai penyandang disabilitas adalah menghargai ciptaan Allah.
Mereka punya hak untuk dihormati, dihargai. Artinya, seperti manusia lain,
penyandang disabilitas juga memiliki karamah insaniyah (martabat
kemanusiaan). Allah berfirman dalam Al-Qur’an (walaqad
karramnâ banî âdam).
Penyandang disabilitas harus bebas dari
tindakan tak manusiawi. Dalam UU No. 19 tahun 2011 disebutkan bahwa setiap
penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam,
tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi,
kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan
penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan
orang lain. Termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan
pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat.
Soal Najis Kursi Roda
Bukankah kursi roda yang dibawa ke mana-mana
itu potensial membawa najis? Yang patut dicatat dari pertanyaan ini adalah kata
"potensial" alias mungkin. Artinya, status najis baru berada di level
dugaan: bisa benar-benar najis, bisa juga tidak. Ada kaidah fiqih yang penting
disimak:
الْأَصْلُ
الْعَدَمُ
"Hukum asal (sesuatu) adalah dianggap
tidak ada."
Poin pokok dari kaidah ini adalah: status apa
pun belum bisa disematkan kepada sesuatu, selama belum ada bukti meyakinkan
tentang keberadaan status itu. Keraguan atau kesimpangsiuran yang masih terjadi
membuat status baru belum sah diberikan, dan mesti dikembalikan status asalnya.
Misalnya, seseorang memilik air suci dalam sebuah bak kamar mandi, tapi
keesokan harinya ia ragu apakah suci atau najis, maka hukum air dikembalikan
pada status suci karena hukum asal air adalah suci.
Kaidah fiqih lain yang senapas dengan kaidah
tersebut adalah:
الْيَقِينُ
لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
"Fakta (hal yang sudah diyakini terjadi)
tak bisa dihilangkan sebab praduga."
Dalam kasus kursi roda, kita tak bisa
memvonis kursi roda itu membawa najis hanya berdasarkan praduga, tanpa melihat
benar-benar ada najis di sana. Sepanjang bukti itu masih simpangsiur atau
meragukan, status hukum dikembalikan pada hukum asal, yakni suci. Apalagi bila
pengguna kursi roda diketahui sebagai pribadi yang menjaga kebersihan dan tak
biasa melintasi jalan yang sarat kotoran dan benda najis lainnya.
Bagaimana bila roda-roda itu memang terkena
lumpur di jalan? Atau jelas-jelas terkena genangan air hasil luapan dari got
(yang diyakini najis)?
Hujjatul Islam AbuHamid al-Ghazali
menjelaskan:
يُعْذَرُ
مِنْ طِيْنِ الشَّوَارِعِ فِيْمَا يَتَعَذَّرُ الإِحْتِرَازُ عَنْهُ غَالِبًا
"Percikan lumpur di jalan karena
normalnya memang sulit menghindarkan diri dari kondisi itu adalah
ditoleransi," (Imam al-Ghazali, al-Wajîz fî Fiqh Madzhabil Imâm
asy-Syâfi'î, hal. 62).
Bahkan, Imam Ar-Rafi’i dalam kitab Al-Aziz
Syarhul Wajiz menyatakan, seandainya percikan tersebut diyakini najis pun
tetap masih ma'fû (dimaafkan) selama hanya sedikit. Pandangan ini
menunjukkan bahwa Islam memang menghendaki kemudahan. Hal-hal yang dirasa
merepotkan dalam hal ibadah ditoleransi--tanpa meremehkan sama sekali keutamaan
menjaga kesucian.
Alhasil, sikap bijak ketika mendapati
penyandang disabilitas pengguna kursi roda adalah memberi kelonggaran kepada
mereka dari ketatnya aturan yang bisa menyulitkan kondisi fisiknya. Karena
Islam sendiri memberikan toleransi atas keterbatasan-keterbatasan yang tidak
disengaja. Kita tidak mungkin memperlakukan pengguna kursi roda layaknya orang
kebanyakan. Meminta mereka untuk berpindah kursi, turun ke karpet shalat, atau
membatasi langkah mereka masuk ruangan, bisa jadi bukan hanya merepotkan tapi
juga menimbulkan perasaan terhina.
Lebih bagus lagi bila pengurus masjid
setempat menyediakan fasilitas khusus bagi penyandang disabilitas sehingga
akses layanan untuk beribadah secara maksimal dapat terpenuhi, misalnya penanda
khusus, area khusus, tangga khusus, atau tempat wudhu khusus yang disediakan
untuk mereka yang memang berkebutuhan khusus. Masjid yang ramah bagi kaum
difabel penting diwujudkan karena hak atas fasilitas masjid bukan monopoli
kelompok tertentu saja.
Bagi pengguna kursi roda pun demikian.
Seyogianya mereka tetap menjaga kebersihan diri dan perangkat yang dibawanya,
mengambil posisi yang sekiranya tak mengganggu orang lain, dan sikap bijak
lainnya. Yang demikian akan lebih mempertegas kelayakan atas hak-hak mereka
untuk memperoleh layanan berbeda.
Allah menciptakan manusia secara beragam dan
unik, baik secara sosial maupun fisik. Semua tercipta dengan sengaja atas
rahmat-Nya yang mahaluas. Keunikan-keunikan tersebut bukan untuk mempertajam
perselisihan, melainkan membuka terwujudnya sikap saling menunjang, saling
melengkapi, dan saling membantu satu sama lain. Wallahu a'lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar