Dilema
Politik Israel
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Setelah
tiga kali pemilu dalam setahun terakhir, Israel belum mampu membentuk
pemerintahan. Dari 120 kursi parlemen, belum ada partai pemenang yang mampu
membentuk koalisi pemerintahan. Netanyahu yang koalisinya mendapatkan 59 kursi
belum bisa membentuk pemerintahan karena memerlukan sedikitnya 2 kursi lagi.
Kegagalan
Netanyahu membentuk pemerintahan, karena Avigdor Lieberman, pimpinan Partai
Yisrael Beitenu yang mempunyai 7 kursi parlemen menolak bergabung dengan
koalisi Netanyahu. Mereka dikabarkan akan mengambil langkah untuk mencegah
terlaksananya pemilu keempat, sehingga ada kepastian politik untuk mendukung
jalannya roda pemerintahan secara efektif dan efisien.
Manuver
Netanyahu untuk meraih dukungan mayoritas dalam koalisinya mengalami jalan
terjal. Padahal Netanyahu melakukan sejumlah terobosan politik yang sangat
ekstrem. Pertama, Netanyahu mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat untuk
menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota Israel dengan cara memindahkan Kedutaan
Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem.
Meskipun
manuver tersebut mendapatkan protes keras dari mayoritas anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa, tapi toh banyak negara yang mengamini langkah AS untuk
memuluskan misi Israel menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Secara de facto, Jerusalem
menjadi ibu kota Israel, karena kantor pemerintahan berada di sana. Tapi secara
de jure, hal
tersebut masih menjadi polemik karena Jerusalem juga menjadi wilayah Palestina.
Dan saat Palestina merdeka nanti, ibu kotanya adalah Jerusalem.
Kedua,
Netanyahu mendapatkan sokongan luar biasa dari AS dalam proposal
"kesepakatan abad ini" yang menegaskan Jerusalem sebagai ibu kota
Israel. Dan Palestina mendapatkan kemerdekaan dan kedaulatan dengan ibu kota di
luar Jerusalem dengan kompensasi suntikan dana sebesar 50 Miliar dollar AS.
Namun manuver ini pun mendapatkan penentangan keras dari Palestina, dunia Arab,
dan dunia Islam. Israel dan AS secara nyata ingin membunuh Palestina dengan
kompensasi bantuan uang.
Kedua
manuver tersebut rupanya belum bisa meyakinkan mayoritas warga Israel karena
Netanyahu sendiri sosoknya sedang meredup akibat dugaan korupsi yang menimpa
dirinya dan keluarganya. Sebagian besar warga Israel memandang Netanyahu telah
menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Apapun,
korupsi menjadi musuh bersama yang harus ditumpas, karena akan menggerogoti
kemaslahatan umum.
Semua
sadar, jika Netanyahu meraih kekuasaan kembali, ia akan membuat undang-undang
yang memuat kekebalan hukum bagi dirinya dan keluarganya, sehingga kasus
korupsi yang menimpa dirinya tidak bisa diadili. Jika hal ini berlaku, maka
Netanyahu dan keluarganya akan semakin merajalela untuk mencengkramkan tangan
kekuasaannya.
Isu
korupsi yang menimpa Netanyahu dan keluarganya merupakan batu sandungan yang
serius dalam mendapatkan dukungan dari Lieberman, karena mereka tidak ingin dianggap
sebagai partai yang mendukung koruptor. Langkah ekstrem dan fundamentalistik
sudah diambil Netanyahu sesuai dengan aspirasi kubu haluan kanan. Namun, isu
korupsi telah mengganjal langkah Netanyahu untuk memperpanjang kekuasaannya.
Arah
dukungan dari Lieberman akan sangat menentukan masa depan Netanyahu. Jika
diputuskan tidak akan memberikan dukungan kepada koalisi Netanyahu, maka akan
menjadi akhir kekuasaan Netanyahu, dan ia harus menghadapi pengadilan yang akan
menjadi akhir yang pahit bagi karier politiknya. Ia tidak hanya gagal meraih
kursi perdana menteri, melainkan juga harus mendekam di penjara.
Liberman
bisa saja memberikan dukungan kepada partai oposisi, koalisi kubu Tengah -Kiri,
Benny Gantz yang meraih 54 kursi. Tapi juga tidak mudah karena di dalam koalisi
oposisi terdapat Joint List, partai warga Palestina Arab yang tinggal di
Israel. Partai ini mendapatkan kursi terbesar ketiga, 15 kursi parlemen. Partai
Yisrael Beitenu merupakan partai haluan kanan-jauh, yang mana platform politiknya
berbeda dengan Partai Joint List dan koalisi oposisi.
Dengan
demikian, politik Israel sedang memasuki kemelut dan dilema yang sangat serius,
karena belum ditemukan formulasi rekonsiliasi bersama. Netanyahu sudah
menawarkan rekonsiliasi nasional dalam kampanye pemilu yang terakhir. Tetapi
agenda ekstrem dan rasis yang digaungkan Netanyahu dan koalisinya telah
memupuskan kepercayaan dari kubu oposisi. Di samping, kasus korupsi yang
menjadi hambatan untuk membangun rekonsiliasi nasional.
Jika
skenario rekonsiliasi gagal, maka harus digelar pemilu keempat. Yang menarik
dari pemilu mutakhir, yaitu munculnya kesadaran politik di kalangan warga
Palestina-Arab yang sudah menjadi warga Israel. Mereka berhasil meraih 15 kursi
dengan agenda-agenda perdamaian yang sangat progresif dan membentuk kesadaran
berpolitik yang humanis dan demokratis.
Kita tahu
bahwa pemerintah Israel baru saja berhasil melakukan amandemen konstitusi yang
menjadikan Israel sebagai negara Yahudi. Dari konstitusi yang sebelumnya sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis dan hak asasi manusia, Israel di bawah
kekuasaan kubu kanan fundamentalis berhasil menjadi negara fundamentalis, yaitu
negara agama, negara Yahudi.
Langkah
tersebut tentu mendapatkan keprihatinan dari kubu minoritas, termasuk warga
Arab-Palestina yang sudah menjadi warga Israel. Mereka akan semakin
terpinggirkan di dalam politik, karena Israel sudah bermetamorfosis menjadi
negara agama. Tidak hanya itu saja, sikap Israel terhadap Palestina akan
semakin ekstrem, karena haluan kanan dalam platform politik cenderung tidak
mengakui eksistensi Palestina.
Maka dari
itu, keberadaan Partai Joint List dan perolehan suara yang lumayan besar dalam
pemilu merupakan sebuah harapan baru untuk merasionalisasikan politik Israel.
Tidak hanya itu, solusi dua negara yang hidup berdampingan dengan damai
merupakan gagasan yang mestinya terus didorong, sehingga Israel dalam
menentukan kebijakan politik lebih rasional dan humanis. Apalagi langkah Joint
List mendapatkan dukungan dari partai-partai Yahudi yang berhaluan kiri-tengah.
Dengan
demikian, gagasan negara demokratis dan humanis di Israel serta solusi dua
negara yang berdaulat dan hidup berdampingan secara damai bukanlah gagasan yang
mati. Hasil pemilu Israel telah membuktikan bahwa jalan damai antara Israel dan
Palestina masih terbuka melalui mekanisme politik di parlemen. Meskipun jalan
menuju ke arah itu sangat sulit karena kubu kanan Israel kerap mendapatkan
sokongan dari kubu konservatif AS. Koalisi AS dan Israel inilah yang diam-diam
ingin Palestina terus terjajah. []
DETIK, 05
Maret 2020
Zuhairi
Misrawi
| Cendekiawan
Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East
Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar