Selasa, 24 Maret 2020

Zuhairi: Dilema Politik Israel


Dilema Politik Israel
Oleh: Zuhairi Misrawi

Setelah tiga kali pemilu dalam setahun terakhir, Israel belum mampu membentuk pemerintahan. Dari 120 kursi parlemen, belum ada partai pemenang yang mampu membentuk koalisi pemerintahan. Netanyahu yang koalisinya mendapatkan 59 kursi belum bisa membentuk pemerintahan karena memerlukan sedikitnya 2 kursi lagi.

Kegagalan Netanyahu membentuk pemerintahan, karena Avigdor Lieberman, pimpinan Partai Yisrael Beitenu yang mempunyai 7 kursi parlemen menolak bergabung dengan koalisi Netanyahu. Mereka dikabarkan akan mengambil langkah untuk mencegah terlaksananya pemilu keempat, sehingga ada kepastian politik untuk mendukung jalannya roda pemerintahan secara efektif dan efisien.

Manuver Netanyahu untuk meraih dukungan mayoritas dalam koalisinya mengalami jalan terjal. Padahal Netanyahu melakukan sejumlah terobosan politik yang sangat ekstrem. Pertama, Netanyahu mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat untuk menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota Israel dengan cara memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem.

Meskipun manuver tersebut mendapatkan protes keras dari mayoritas anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, tapi toh banyak negara yang mengamini langkah AS untuk memuluskan misi Israel menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Secara de facto, Jerusalem menjadi ibu kota Israel, karena kantor pemerintahan berada di sana. Tapi secara de jure, hal tersebut masih menjadi polemik karena Jerusalem juga menjadi wilayah Palestina. Dan saat Palestina merdeka nanti, ibu kotanya adalah Jerusalem.

Kedua, Netanyahu mendapatkan sokongan luar biasa dari AS dalam proposal "kesepakatan abad ini" yang menegaskan Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Dan Palestina mendapatkan kemerdekaan dan kedaulatan dengan ibu kota di luar Jerusalem dengan kompensasi suntikan dana sebesar 50 Miliar dollar AS. Namun manuver ini pun mendapatkan penentangan keras dari Palestina, dunia Arab, dan dunia Islam. Israel dan AS secara nyata ingin membunuh Palestina dengan kompensasi bantuan uang.

Kedua manuver tersebut rupanya belum bisa meyakinkan mayoritas warga Israel karena Netanyahu sendiri sosoknya sedang meredup akibat dugaan korupsi yang menimpa dirinya dan keluarganya. Sebagian besar warga Israel memandang Netanyahu telah menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Apapun, korupsi menjadi musuh bersama yang harus ditumpas, karena akan menggerogoti kemaslahatan umum.

Semua sadar, jika Netanyahu meraih kekuasaan kembali, ia akan membuat undang-undang yang memuat kekebalan hukum bagi dirinya dan keluarganya, sehingga kasus korupsi yang menimpa dirinya tidak bisa diadili. Jika hal ini berlaku, maka Netanyahu dan keluarganya akan semakin merajalela untuk mencengkramkan tangan kekuasaannya.

Isu korupsi yang menimpa Netanyahu dan keluarganya merupakan batu sandungan yang serius dalam mendapatkan dukungan dari Lieberman, karena mereka tidak ingin dianggap sebagai partai yang mendukung koruptor. Langkah ekstrem dan fundamentalistik sudah diambil Netanyahu sesuai dengan aspirasi kubu haluan kanan. Namun, isu korupsi telah mengganjal langkah Netanyahu untuk memperpanjang kekuasaannya.

Arah dukungan dari Lieberman akan sangat menentukan masa depan Netanyahu. Jika diputuskan tidak akan memberikan dukungan kepada koalisi Netanyahu, maka akan menjadi akhir kekuasaan Netanyahu, dan ia harus menghadapi pengadilan yang akan menjadi akhir yang pahit bagi karier politiknya. Ia tidak hanya gagal meraih kursi perdana menteri, melainkan juga harus mendekam di penjara.

Liberman bisa saja memberikan dukungan kepada partai oposisi, koalisi kubu Tengah -Kiri, Benny Gantz yang meraih 54 kursi. Tapi juga tidak mudah karena di dalam koalisi oposisi terdapat Joint List, partai warga Palestina Arab yang tinggal di Israel. Partai ini mendapatkan kursi terbesar ketiga, 15 kursi parlemen. Partai Yisrael Beitenu merupakan partai haluan kanan-jauh, yang mana platform politiknya berbeda dengan Partai Joint List dan koalisi oposisi.

Dengan demikian, politik Israel sedang memasuki kemelut dan dilema yang sangat serius, karena belum ditemukan formulasi rekonsiliasi bersama. Netanyahu sudah menawarkan rekonsiliasi nasional dalam kampanye pemilu yang terakhir. Tetapi agenda ekstrem dan rasis yang digaungkan Netanyahu dan koalisinya telah memupuskan kepercayaan dari kubu oposisi. Di samping, kasus korupsi yang menjadi hambatan untuk membangun rekonsiliasi nasional.

Jika skenario rekonsiliasi gagal, maka harus digelar pemilu keempat. Yang menarik dari pemilu mutakhir, yaitu munculnya kesadaran politik di kalangan warga Palestina-Arab yang sudah menjadi warga Israel. Mereka berhasil meraih 15 kursi dengan agenda-agenda perdamaian yang sangat progresif dan membentuk kesadaran berpolitik yang humanis dan demokratis.

Kita tahu bahwa pemerintah Israel baru saja berhasil melakukan amandemen konstitusi yang menjadikan Israel sebagai negara Yahudi. Dari konstitusi yang sebelumnya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis dan hak asasi manusia, Israel di bawah kekuasaan kubu kanan fundamentalis berhasil menjadi negara fundamentalis, yaitu negara agama, negara Yahudi.

Langkah tersebut tentu mendapatkan keprihatinan dari kubu minoritas, termasuk warga Arab-Palestina yang sudah menjadi warga Israel. Mereka akan semakin terpinggirkan di dalam politik, karena Israel sudah bermetamorfosis menjadi negara agama. Tidak hanya itu saja, sikap Israel terhadap Palestina akan semakin ekstrem, karena haluan kanan dalam platform politik cenderung tidak mengakui eksistensi Palestina.

Maka dari itu, keberadaan Partai Joint List dan perolehan suara yang lumayan besar dalam pemilu merupakan sebuah harapan baru untuk merasionalisasikan politik Israel. Tidak hanya itu, solusi dua negara yang hidup berdampingan dengan damai merupakan gagasan yang mestinya terus didorong, sehingga Israel dalam menentukan kebijakan politik lebih rasional dan humanis. Apalagi langkah Joint List mendapatkan dukungan dari partai-partai Yahudi yang berhaluan kiri-tengah.

Dengan demikian, gagasan negara demokratis dan humanis di Israel serta solusi dua negara yang berdaulat dan hidup berdampingan secara damai bukanlah gagasan yang mati. Hasil pemilu Israel telah membuktikan bahwa jalan damai antara Israel dan Palestina masih terbuka melalui mekanisme politik di parlemen. Meskipun jalan menuju ke arah itu sangat sulit karena kubu kanan Israel kerap mendapatkan sokongan dari kubu konservatif AS. Koalisi AS dan Israel inilah yang diam-diam ingin Palestina terus terjajah. []

DETIK, 05 Maret 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar