Jumat, 13 Maret 2020

KH Ali Alhamidi Matraman dan Paham Keislamannya


KH Ali Alhamidi Matraman dan Paham Keislamannya

KH Saifuddin Amsir yang melewati masa kecilnya di Matraman meyakini bahwa KH Muhammad Ali Alhamidi Matraman (1909-1985 M) bukanlah orang atau penganut paham Persis, tetapi memiliki pemahaman keagamaan yang tidak biasanya seperti ulama Betawi lainnya karena pengaruh dari gerakan tajdid yang waktu itu merebak di di Jakarta.

Paham yang tidak biasa itu seperti yang dikatakan oleh KH Muhammad Ali Alhamidi bahwa Ahlussunnah wal Jama`ah tidak harus bermazhab Syafi`i. Padahal umumnya masyarakat Betawi berpaham Ahlussunnah wal Jama`ah Asy-Syafi`iyyah.

Dia juga tidak menjalankan tradisi keislaman yang biasa dilakukan oleh masyarakat Betawi, seperti tahlilan dan Maulid Nabi SAW. Dia juga sebagai pencetus pertama shalat Id di lapangan terbuka bukan di dalam masjid.

Namun dari dari karya-karyanya, seperti Ruhul Mimbar, terlihat bahwa dia menulis sesuai dengan paham Ahlussnunnah wal Jama`ah Asy-Syafi`iyyah sehingga KH Saifuddin Amsir mengutip pernyataan Muallim Ramli dari Gang Murtadho, bahwa teks-teksi khutbah Jumat yang ditulis KH Muhammad Ali Alhamidi sesuai dengan Ahlussunnah wal Jama`ah Asy-Syafi`iyyah tetapi orang yang menulisnya tidak (berpaham Ahlussunnah wal Jama`ah Asy-Syafi`iyyah).

Walau KH Muhammad Ali Alhamidi memiliki pemahaman keislaman yang berbeda dengan kebanyakan ulama Betawi, namun cara dia menyebarkan pemahamannya banyak menggunakan guyonan khas Betawi supaya tidak mendapatkan respon negatif. Contohnya tentang tradisi ritual tujuh bulanan, yang di dalam budaya Betawi diistilahkan dengan nuju bulan.

Orang Betawi sangat memikirkan dan memuliakan perempuan yang hamil. Perempuan hamil adalah pintu gerbang bagi penciptaan generasi penerus yang andal. Salah satunya adalah memuliakan perempuan yang kehamilannya memasuki usia tujuh bulan dengan istilah nuju bulan. Di daerah Marunda, upacara ini disebut dengan kekeba.

Upacara ini dilakukan karena bayi dalam rahim pada usia itu sudah dianggap sempurna, sudah berbentuk, sehingga harus disyukuri dalam bentuk upacara. Nuju bulan juga dimaksudkan untuk memberi rasa aman kepada keluarga si ibu yang sedang mengandung agar tidak terjadi malapetaka bagi diri yang mengandung dan keluarganya.

Upacara nuju bulan ini dilakukan untuk Tanggal pelaksanaannya biasanya antara tanggal 7, 17, atau 27 dari bulan hijriyah. Orang Betawi biasanya memilih tanggal 7 atau 17, karena tanggal 27 dianggap sudah masuk bulan ke delapan.

Upacara nuju bulan dilakukan tiga tahap, yaitu: selametan (tahlilan) dengan membaca surat Yusuf di dalam ruangan, mandi air kembang di kamar mandi, dan ngirag di kamar tidur. Ngirag di daerah lain disebut juga gedog. Dapat pula dilakukan sebaliknya, mulai dari ngirag dan seterusnya.

Ngirag disebut juga ngorog, merupakan upacara di mana secara simbolis orang tua melalui dukun bayi mengajarkan anak dalam kandungan sesuatu yang baik, anak harus patuh kepada kedua orang tua. Pada upacara ini dukun bayi membetulkan letak bayi dalam kandungan ibu sambil membisikkan kepada bayi pesan agar kelak ia akan menjadi anak yang berguna dan patuh kepada orang tua.

Acara ini dilakukan di dalam kamar atau di ruangan tertutup setelah acara memandikan si ibu hamil selesai. Dalam upacara ini digunakan sejumlah uang logam dan sedikit bunga tujuh warna, sama dengan bunga yang digunakan untuk mandi kembang.

Semuanya dibalut dengan kain warna putih kurang lebih satu meter, seperti orang menggulung tembakau dengan kertasnya. Gulungan kain putih yang berisi kembang dan uang logam tadi disimpan dahulu untuk dipergunakan setelah acara mandi.

Terhadap tradisi nuju bulan yang telah mendarah daging di masyarakat Betawi ini, KH Muhammad Ali Alhamidi berkomentar,” Nggak usah ngadaian nuju bulan. Nuju bulan mah repot, perlu roket!”

Yang mendengar komentarnya bertanya,” Kok perlu roket?”

KH Muhammad Ali Alhamidi menjawab, ”Kan nuju (menuju) bulan!”

Kritiknya juga dilakukan terhadap tradisi masyarakat Betawi membaca surat Yasin. KH Muhammad Ali Alhamidi berkomentar dengan guyonan khas orang Betawi,” Kenapa cuma si Yasin. Kasihan Yusuf, Yunus kagak diajak!”

KH Muhammad Ali Alhamidi juga tidak menganjurkan ziarah kubur. Bahkan kepada anak, keturunannya dan kerabat dekatnya, dia berpesan agar ketika dia wafat, makamnya tidak usah diziarahi. Kalau mau berdoa untuknya, dari rumah saja. Maka sampai saat ini, anak, keturunannya dan kerabat dekatnya tidak menziarahi makamnya untuk mendoakannya di Pemakaman Umum Menteng Pulo I, Jakarta Pusat.

Anak, keturunan dan kerabat dekatnya, seperti mantu-mantunya, juga tidak menjalankan tradisi masyrakat Betawi seperti pemahaman KH Muhammad Ali Alhamidi, yaitu nuju bulan, ritual baca surat Yasin, tahlilan, dan maulid Nabi SAW. (bersambung...)

Penulis Rakhmad Zailani Kiki, Peneliti dan Penulis Genealogi Intelektual Ulama Betawi, Sekretaris RMI-NU DKI Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar