KH Ali Alhamidi
Matraman dan Paham Keislamannya
KH Saifuddin Amsir yang melewati masa kecilnya di Matraman meyakini bahwa KH Muhammad Ali Alhamidi Matraman (1909-1985 M) bukanlah orang atau penganut paham Persis, tetapi memiliki pemahaman keagamaan yang tidak biasanya seperti ulama Betawi lainnya karena pengaruh dari gerakan tajdid yang waktu itu merebak di di Jakarta.
Paham yang tidak
biasa itu seperti yang dikatakan oleh KH Muhammad Ali Alhamidi bahwa
Ahlussunnah wal Jama`ah tidak harus bermazhab Syafi`i. Padahal umumnya
masyarakat Betawi berpaham Ahlussunnah wal Jama`ah Asy-Syafi`iyyah.
Dia juga tidak
menjalankan tradisi keislaman yang biasa dilakukan oleh masyarakat Betawi,
seperti tahlilan dan Maulid Nabi SAW. Dia juga sebagai pencetus pertama shalat
Id di lapangan terbuka bukan di dalam masjid.
Namun dari dari
karya-karyanya, seperti Ruhul Mimbar, terlihat bahwa dia menulis sesuai dengan
paham Ahlussnunnah wal Jama`ah Asy-Syafi`iyyah sehingga KH Saifuddin Amsir
mengutip pernyataan Muallim Ramli dari Gang Murtadho, bahwa teks-teksi khutbah
Jumat yang ditulis KH Muhammad Ali Alhamidi sesuai dengan Ahlussunnah wal
Jama`ah Asy-Syafi`iyyah tetapi orang yang menulisnya tidak (berpaham
Ahlussunnah wal Jama`ah Asy-Syafi`iyyah).
Walau KH Muhammad Ali
Alhamidi memiliki pemahaman keislaman yang berbeda dengan kebanyakan ulama
Betawi, namun cara dia menyebarkan pemahamannya banyak menggunakan guyonan khas
Betawi supaya tidak mendapatkan respon negatif. Contohnya tentang tradisi
ritual tujuh bulanan, yang di dalam budaya Betawi diistilahkan dengan nuju
bulan.
Orang Betawi sangat
memikirkan dan memuliakan perempuan yang hamil. Perempuan hamil adalah pintu
gerbang bagi penciptaan generasi penerus yang andal. Salah satunya adalah
memuliakan perempuan yang kehamilannya memasuki usia tujuh bulan dengan istilah
nuju bulan. Di daerah Marunda, upacara ini disebut dengan kekeba.
Upacara ini dilakukan
karena bayi dalam rahim pada usia itu sudah dianggap sempurna, sudah berbentuk,
sehingga harus disyukuri dalam bentuk upacara. Nuju bulan juga dimaksudkan
untuk memberi rasa aman kepada keluarga si ibu yang sedang mengandung agar
tidak terjadi malapetaka bagi diri yang mengandung dan keluarganya.
Upacara nuju bulan
ini dilakukan untuk Tanggal pelaksanaannya biasanya antara tanggal 7, 17, atau
27 dari bulan hijriyah. Orang Betawi biasanya memilih tanggal 7 atau 17, karena
tanggal 27 dianggap sudah masuk bulan ke delapan.
Upacara nuju bulan
dilakukan tiga tahap, yaitu: selametan (tahlilan) dengan membaca surat Yusuf di
dalam ruangan, mandi air kembang di kamar mandi, dan ngirag di kamar tidur.
Ngirag di daerah lain disebut juga gedog. Dapat pula dilakukan sebaliknya,
mulai dari ngirag dan seterusnya.
Ngirag disebut juga
ngorog, merupakan upacara di mana secara simbolis orang tua melalui dukun bayi
mengajarkan anak dalam kandungan sesuatu yang baik, anak harus patuh kepada
kedua orang tua. Pada upacara ini dukun bayi membetulkan letak bayi dalam kandungan
ibu sambil membisikkan kepada bayi pesan agar kelak ia akan menjadi anak yang
berguna dan patuh kepada orang tua.
Acara ini dilakukan
di dalam kamar atau di ruangan tertutup setelah acara memandikan si ibu hamil
selesai. Dalam upacara ini digunakan sejumlah uang logam dan sedikit bunga
tujuh warna, sama dengan bunga yang digunakan untuk mandi kembang.
Semuanya dibalut
dengan kain warna putih kurang lebih satu meter, seperti orang menggulung
tembakau dengan kertasnya. Gulungan kain putih yang berisi kembang dan uang
logam tadi disimpan dahulu untuk dipergunakan setelah acara mandi.
Terhadap tradisi nuju
bulan yang telah mendarah daging di masyarakat Betawi ini, KH Muhammad Ali
Alhamidi berkomentar,” Nggak usah ngadaian nuju bulan. Nuju bulan mah repot, perlu
roket!”
Yang mendengar
komentarnya bertanya,” Kok perlu roket?”
KH Muhammad Ali
Alhamidi menjawab, ”Kan nuju (menuju) bulan!”
Kritiknya juga
dilakukan terhadap tradisi masyarakat Betawi membaca surat Yasin. KH Muhammad
Ali Alhamidi berkomentar dengan guyonan khas orang Betawi,” Kenapa cuma si
Yasin. Kasihan Yusuf, Yunus kagak diajak!”
KH Muhammad Ali
Alhamidi juga tidak menganjurkan ziarah kubur. Bahkan kepada anak, keturunannya
dan kerabat dekatnya, dia berpesan agar ketika dia wafat, makamnya tidak usah
diziarahi. Kalau mau berdoa untuknya, dari rumah saja. Maka sampai saat ini,
anak, keturunannya dan kerabat dekatnya tidak menziarahi makamnya untuk
mendoakannya di Pemakaman Umum Menteng Pulo I, Jakarta Pusat.
Anak, keturunan dan
kerabat dekatnya, seperti mantu-mantunya, juga tidak menjalankan tradisi
masyrakat Betawi seperti pemahaman KH Muhammad Ali Alhamidi, yaitu nuju bulan,
ritual baca surat Yasin, tahlilan, dan maulid Nabi SAW. (bersambung...)
Penulis Rakhmad
Zailani Kiki, Peneliti dan Penulis Genealogi Intelektual Ulama Betawi,
Sekretaris RMI-NU DKI Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar