Meluruskan Makna Jihad (42)
Lain Agama, Lain Pemahaman Agama
Oleh: Nasaruddin Umar
Mengamati perkembangan pasca maraknya pemberitaan ISIS di
media-media internasional, para orangtua khususnya orangtua muslim di AS kini
sedang diresahkan dengan pertanyaan dan sikap anak-anak mereka yang
"alergi" terhadap bahasa agama. Bukan hanya dalam Islam, tetapi juga
agama-agama lain. Seolah-olah bahasa agama itu berkontribusi terhadap
meningkatnya tragedi kemanusiaan dekade terakhir ini.
Anak-anak Amerika yang melewati masa kanak-kanaknya saat kejadian
10 September, suatu kejadian terburuk dan paling mengerikan di AS, ternyata
menyisakan endapan di alam bawah sadar mereka bahwa antara konsep agama yang
diperkenalkan ke dalam diri mereka berbeda dengan apa yang mereka saksikan di
dalam kenyataan. Apalagi kekejaman yang dipertontonkan secara terbuka di
media-media dalam bentuk pembakaran dan memotong kepala, betul-betul membuat
mereka takut sehingga mereka cenderung menghindar dari bahasa agama.
Saya saat ini sedang berada di AS diundang untuk memberikan materi
seminar dan course
di beberapa tempat. Komunitas orangtua muslim merasa resah. Anak-anak mereka
malas beribadah ke masjid dan tidak mau menggunakan atribut-atribut keagamaan.
Ini antara lain disebabkan karena persepsi yang melekat pada diri mereka
tentang agama, khususnya bagi mereka yang beragama Islam; bukan agama atau
Islam itu sendiri, tetapi "pemahaman" mereka tentang agama atau
Islam.
Mereka sulit membedakan antara agama atau Islam dengan pemahaman
yang dibentuk oleh opini orang tentang agama itu. Akibatnya mereka keliru di
dalam mengambil kesimpulan. Akhirnya mereka terpengaruh seperti apa yang
disampaikan oleh Gabril, seorang murtad Amerika, yang mengatakan bahwa yang
teroris itu sesungguhnya bukan orang Islam, mereka hanya korban. Ia mengatakan:
The real terrorism is Islam
it self, muslims just a victim.
Kita perlu memahamkan kepada mereka dan mungkin untuk diri kita
sendiri bahwa hakikat agama, khususnya Islam yang dengan namanya sendiri
berarti "damai, selamat, tenteram." Aksi yang merobek rasa
kemanusiaan universal dilakukan dengan menggunakan bahasa agama yang perlu
diluruskan kembali. Hal ini bukan hanya terjadi di dalam dunia Islam, tetapi
juga pada agama-agama lain. Bahkan menurut Sekjen PBB Ban Ki-Moo pada pembukaan
The White House Summit to Counter Violent Extremism, yang paling banyak korban
terhadap kekerasan yang berlatar emosi keagamaan adalah umat Islam.
Kita bisa menyaksikan bahwa Al-Qaeda, ISIS, dan termasuk
pembantaian umat Islam yang dilakukan aktivis Budha di Rohingya, Burma yang
paling banyak korban ialah umat Islam. Dengan demikian kekerasan yang terjadi
belakangan ini yang korban adalah umat Islam dan citra Islam itu sendiri.
Kini sudah saatnya umat Islam berpikir kritis dan harus hati-hati
terhadap setiap ajakan untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama agama.
Jangan sampai itu bukan murni bersumber dari agama, tetapi hanya penafsiran
dari agama yang dilakukan oleh sekelompok orang yang punya kepentingan
tertentu. Pemahaman secara kritis terhadap orisinalitas agama perlu pencerahan
baru (new purification)
untuk mengajak generasi baru Islam yang sudah terkontaminasi negatif terhadap
opini publik tentang kekerasan yang dilakukan oleh segelintir orang yang
mengatasnamakan agama, padahal sesungguhnya hanya pemahaman subjektivitasnya
terhadap agama itu sendiri. []
DETIK, 02 Maret 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar