Meluruskan
Makna Jihad (37)
Lain
Radikal, Lain Fanatik
Oleh:
Nasaruddin Umar
Kerancuan
bahasa atau istilah sering mengorbankan orang atau ajaran agama. Terkadang
orang dicap dengan sesuatu yang negatif dengan segala akibatnya hanya karena
istilah yang digunakannya rancu. Misalnya si A adalah fanatik. Akhirnya si A
harus menanggung akibatnya sebagai orang yang dijauhi sebagian masyarakat
karena banyak orang mengindikasikan atau menyamakan antara fanatik dengan
radikal, apalagi teroris. Padahal, antara pengertian fanatik dan radikal sangat
berbeda.
Radikal
selalu menjadi konotasi negatif, setingkat di bawah teroris. Sedangkan fanatik
belum tentu radikal. Bahkan mungkin ada orang yang fanatik tetapi sikap dan
pikirannya moderat atau mungkin agal liberal. Radikal tidak pernah mau
mengakomodasi garis moderat apalagi liberal.
Agama juga
bisa menjadi korban karena istilah yang dilekatkan kepadanya. Contohnya,
kebetulan saya saat ini sedang berada di Amerika Serikat, masyarakat di sini
baik melalui percakapan langsung maupun melalui media sering menyebut Islam
sebagai agama jihad. Konotasi jihad dalam
vocabulary bahasa Inggris populer sering diidentikkan dengan
radikal dan teroris. Akibatnya, Islam yang begitu luhur nilai-nilainya
direduksi menjadi agama teroris, agama kekerasan, agama radikal, dan istilah
negatif lainnya.
Contoh
lain, kata madrasah selalu dikonotasikan dengan sekolah kelompok radikal yang
akan memproduk orang-orang jihadis dalam arti kelompok radikal. Pekerjaan saya
paling berat di sini (AS) ialah meluruskan makna jihad dan madrasah. Baik
melalui ceramah dan diskusi maupun melalui media cetak dan elektronik.
Untungnya saya orang Indonesia; berbagai pihak menganggapnya paling netral
berbicara tentang Islam.
Fanatik
sesungguhnya berarti orang-orang yang menjalankan ajaran agamanya, khususnya
dalam bidang ubudiyah,
secara konsisten. Mereka istikamah menutup aurat, menjalankan seluruh perintah
dan menjauhi seluruh larangan-Nya, dan tetap memberikan ruang bagi orang lain
menganut dan mengamalkan ajaran agama mereka masing-masing.
Karena
itu, tidak semua perempuan berhijab, laki-laki berjenggot-berkumis, beratribut
Timur Tengah, dan bercelana cingkrang itu beraliran keras (hard liner) atau kelompok
radikal. Sepanjang mereka tidak memaksakan kehendaknya atau secara frontal
menyalahkan orang lain yang berbeda dengannya, bahkan toleransi tetap
dipertahankan, maka tidak ada alasan mengatakan mereka itu kelompok radikal.
Populasi komunitas seperti ini cenderung makin berkembang di dalam masyarakat.
Mereka
tidak boleh digeneralisasi sebagai kelompok radikal hanya karena identitas
fisik. Banyak kelompok radikal bahkan sudah dan sedang menjalani hukuman di
penjara dengan tuduhan teroris, tetapi rambutnya gondrong, celana jeans kumal, tidak
berjenggot, dan tidak berkumis, tetapi isi kepala dan jiwanya betul-betul
radikal bahkan sudah terbukti teroris.
Radikalisme
sesungguhnya adalah suatu faham yang mempunyai keyakinan ideologi tinggi dan
fanatik serta selalu berjuang untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang
sedang berlangsung. Mereka berusaha untuk mengganti dengan tatanan nilai
tersebut dengan tatanan nilai baru sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai
tatanan nilai benar. Sedangkan fanatik tidak ada urusan dengan ideologi,
pandangannya lurus ke depan menuju Tuhan. []
DETIK, 24 Februari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar