Fobia-Islam
Akar dan Dampak (1)
Oleh:
Azyumardi Azra
Fobia-Islam atau mungkin lebih populer ditulis sebagai 'Islamo-Phobia' sampai kini masih terus bertahan; bahkan dalam segi tertentu meningkat secara global. Belum terlihat tanda-tanda meyakinkan bakal menyurutnya atau menghilangnya fobia-Islam itu dalam waktu dekat.
Kebertahanan atau peningkatan fobia-Islam itu terjadi tidak hanya di dunia Barat (khususnya Eropa dan Amerika Utara), tetapi juga menemukan momentum baru di India. Gejala-gejala ini sangat mencemaskan di tengah terjadinya kemerosotan kelompok garis keras dan teroristik di berbagai penjuru dunia semacam ISIS, Alqaidah, dan kelompok lain semacamnya.
Di Amerika Serikat, gejala peningkatan fobia- Islam ini terlihat dengan keputusan Presiden Trump (31012/2019) yang menambah daftar enam negara—umumnya berpenduduk mayoritas Muslim—memasuki bumi AS. Negara-negara itu adalah Nigeria, Myanmar, Eritrea, Kyrgyztan, Sudan, dan Tanzania. Sebelumnya pada 2017, Trump melarang warga tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim memasuki AS. Negara-negara itu adalah Iran, Iraq, Libya, Syria, Yaman, Somalia, dan Chad.
Dalam 'Executive Order' Trump 2017 itu juga ada negara yang tidak berpenduduk Muslim, seperti Korea Utara dan Venezuela yang warganya dilarang masuk AS. Dalam pelarangan terakhir, termasuk Eretria dan Myanmar. Tercakupnya negara-negara ini menjadi alasan Mahkamah Agung AS dan Presiden Trump bahwa pelarangan itu bukan atas dasar agama atau tegasnya karena fobia-Islam.
Pada spektrum lain, fobia-Islam meningkat di India dengan adopsi Undang-Undang Kewarganegaraan yang telah diamendemen pada 11 Desember 2019. Dalam UU ini migran (beragama Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsi, dan Kristen) yang masuk India menjelang 31 Desember 2014 karena persekusi agama di negara asalnya dapat memperoleh kewarganegaraan India. UU ini dengan jelas mengandung fobia-Islam karena Muslim (Rohingya, Ahmadiyah, misalnya) dikecualikan untuk bisa mendapat kewarganegaraan.
Adopsi UU Kewarganegaraan India itu mendapat protes besar-besaran dari kaum Muslim India yang unjuk rasa di berbagai kota negara ini. Tetapi, pemerintahan partai fundamentalis Hindu, BJP (Bharatiya Janata Party) di bawah pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi bergeming. Tidak ada tanda-tanda pemerintahan Modi bakal mengubah kembali UU Kewarganegaraan tersebut.
Fenomena di AS dan India memperlihatkan fobia-Islam masih merajalela secara global atau dalam hal tertentu dan di negara-negara tertentu terlihat mengalami peningkatan. Oleh karena itu, kaum Muslim sendiri dan warga dunia lain yang peduli pada HAM, keadilan, dan kesetaraan umat manusia terlepas dari perbedaannya perlu terus meningkatkan perjuangan melawan fobia-Islam dan berbagai bentuk fobia lain di berbagai penjuru dunia.
Dalam kaitan itulah terlihat signifikansi ceramah umum dan diskusi publik bertajuk "Global Islamophobia: Understanding Its Roots, Challenging Its Impact" (2/2/2020). Acara yang diselenggarakan College of Islamic Studies (CIS), Hamad bin Khalifa University (HBKU), Qatar.
Ceramah umum menampilkan para pembicara: Profesor John Esposito (director and founder, Center for Muslim and Christian Understanding; and The Bridge Initiative Protecting Pluralism—Ending Islamophobia, Georgetown University, Washington DC); Karen Armstrong (penulis sejumlah buku tentang agama, termasuk Islam, warga London); Profesor Asifa Qureishi-Landes (ahli perbandingan hukum konsitusi Islam dan AS); dan penulis Resonansi ini. Bertindak sebagai moderator Profesor Nader Hashemi (director, Center for Middle East Studies, University of Denver).
Memberikan pengantar tentang fobia-Islam secara global, Nader Hashemi pertama-tama menyoroti terus bertahannya fobia Islam di AS; bahkan gejalanya di negara ini terus meningkat menjelang Pemilu (Presiden) AS pada 3 November 2020. Presiden Donald Trump yang maju untuk periode kedua pemerintahannya kembali menggunakan berbagai isu agama dan komunalisme, termasuk perluasan larangan masuk AS gelombang kedua bagi warga negara enam negara pada akhir 2019.
Meski banyak kalangan warga AS sendiri menentangnya, khususnya mereka yang berasal dari Partai Demokrat dan komunitas Muslim, Profesor Nader Hashemi melihat peluang Trump terpilih kembali cukup besar. Trump dan pendukungnya 'menjual' perkembangan ekonomi AS yang membaik atau penciptaan lapangan kerja yang meningkat. Mereka melupakan, di sisi lain juga semakin banyak warga AS yang mengalami kesulitan hidup.
Nader juga secara singkat memberi pengantar tentang gejala peningkatan fobia-Islam di berbagai penjuru dunia; di Eropa dan Asia, termasuk di Indonesia, khususnya menyangkut respons ormas Islam dan pemerintah dalam kasus Muslim Uighur, Xinjiang. []
REPUBLIKA,
20 Februari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar