Ketentuan Masa Iddah
Perempuan dalam Islam
Sebagaimana diketahui, wanita memiliki masa
iddah, yakni masa tunggu tertentu setelah ditinggal wafat atau diceraikan
suaminya. Pada masa ini pula, suami yang mencerainya bisa kembali atau rujuk
kepadanya, tanpa memerlukan akad baru, selama talak yang dijatuhkan berupa
talak raj‘i (bisa dirujuk).
Kaitan dengan masalah iddah ini, Syekh Abu
Bakar ibn Muhammad al-Husaini dalam kitab Kifâyatul Akhyâr (Terbitan:
Darul Khair, Damaskus, Tahun 1994, Cetakan Pertama, jilid 1, halaman 423 dst.),
telah menguraikannya kepada kita. Berikut adalah uraian ringkasannya.
الْعدة
اسْم لمُدَّة مَعْدُودَة تَتَرَبَّص فِيهَا الْمَرْأَة ليعرف بَرَاءَة رَحمهَا
وَذَلِكَ يحصل بِالْولادَةِ تَارَة وبالأشهر أَو الْأَقْرَاء
Artinya: “Iddah adalah nama masa tunggu
tertentu bagi seorang wanita guna mengetahui kekosongan rahimnya. Kekosongan
tersebut bisa diketahui dengan kelahiran, hitungan bulan, atau dengan hitungan quru’
(masa suci).”
Selanjutnya, secara global wanita yang menjalani
masa iddah terbagi menjadi dua: (1) wanita yang menjalani masa iddah karena
ditinggal wafat suami, dan (2) wanita yang menjalani masa iddah bukan karena
ditinggal wafat, seperti dicerai, baik yang sudah bergaul suami-istri ataupun
belum.
Masing-masing dari keduanya terbagi lagi
menjadi dua keadaan, pertama dalam keadaan hamil dan kedua tidak dalam keadaan
hamil. Kemudian kondisi tidak hamil terbagi lagi menjadi dua: haid dan tidak
haid.
Dengan memperhatikan sebab dan kondisinya,
maka wanita yang menjalani masa iddah secara umum terbagi menjadi enam kondisi:
(1) wanita yang ditinggal wafat suami dan dalam keadaan hamil, (2) wanita yang
ditinggal wafat suami dan tidak dalam keadaan hamil, (3) wanita yang dicerai
suami dalam keadaan hamil, (4) wanita yang dicerai suami, tidak dalam keadaan
hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan sudah/masih haid, (5) wanita yang
dicerai tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan belum
haid atau sudah berhenti haid (menopouse), (6) wanita yang dicerai namun belum
pernah bergaul suami-istri. Hanya saja oleh para ulama, bagian terakhir ini
seringkali tidak dimasukkan ke dalam pembagian utama wanita yang
beriddah.
Pertama, wanita yang ditinggal wafat suami
dan dalam keadaan hamil, maka iddahnya adalah hingga melahirkan. Tidak ada
bedanya, apakah kelahirannya kurang atau lebih dari masa iddah pada umumnya.
Misalnya, seminggu setelah ditinggal wafat suaminya, sang wanita melahirkan.
Maka habislah masa iddah wanita tersebut. Hal ini berdasarkan keumuman makna
ayat yang menyatakan:
وَأُولاتُ
الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya, (Q.S. al-Thalaq [65]:
4).
Kedua, wanita yang ditinggal wafat suaminya
dan tidak dalam keadaan hamil, atau dalam keadaan hamil namun bukan dari
suaminya yang meninggal, maka masa idahnya adalah 4 bulan 10 hari. Tidak ada
perbedaan antara wanita yang belum haid, masih mengalami haid, atau sudah
berhenti haid (menapouse). Pun tidak ada bedanya apakah sudah pernah bergaul
suami-istri atau belum. Hal ini berdasarkan ayat yang menyatakan:
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari, (Q.S. al-Baqarah [2]: 234).
Ketiga, wanita yang dicerai suami dalam keadaan
hamil, maka iddahnya hingga melahirkan, sebagaimana dalam keadaan hamil yang
ditinggal wafat suaminya.
Keempat, wanita yang dicerai suami, tidak
dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan sudah/masih haid,
maka iddahnya adalah tiga kali quru.
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, (Q.S. al-Baqarah [2]: 228).
Para ulama berbeda pendapat tentang makna quru.
Para ulama al-Syafi’i memaknai quru dengan masa suci. Dan masa iddah
dihitung dari masa suci saat diceraikan. Sedangkan jika diceraikan sedang haid,
maka masa iddah dihitung sejak masa suci setelah haid itu.
Contoh sederhana:
Tgl/bln
|
1/1
|
10/1
sd 17/1
|
17/1
sd 10/2
|
10/2
sd 17/2
|
17/2
sd 10/3
|
Keadaan
|
Suci
(jatuh talak)
|
Haid
|
Suci
|
Haid
|
Suci
|
Jika mengacu kepada quru sebagai masa
suci, maka jika seorang suami menjatuhkan talak pada tanggal 1 Muharram, maka
masa iddah istrinya berakhir pada tanggal 10 Rabi‘ul Awal atau saat dimulainya
masa haid ketiga.
Kelima, wanita yang dicerai tidak dalam
keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan belum haid atau sudah
menopouse, maka iddahnya adalah selama tiga bulan, sebagaimana dalam
Al-Qur’an:
وَاللَّائِي
يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ
ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid, (Q.S. al-Thalaq [65]: 4).
Adapun bulan yang menjadi patokan
penghitungan adalah bulan Hijriah.
Keenam, wanita yang dicerai namun belum
pernah bergaul dengan suaminya, maka tidak ada masa iddah baginya, sebagaimana
firman Allah:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ
عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut‘ah
(pemberian) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya,
(Q.S. al-Ahzab [33]: 49).
Demikian uraian singkat tentang masa iddah.
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Tatam Wijaya, Alumni Pondok
Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim
“Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar