Memulihkan Harmoni Berbangsa Pasca Tahun Politik
Oleh: Bambang Soesatyo
AKAR masalah yang melahirkan ragam ekses akibat beda rumusan politik sudah sangat jelas. Butuh niat baik dan tulus dari semua elemen masyarakat untuk mengakhiri semua ekses itu. Demi generasi anak-cucu, harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara harus segera dipulihkan.
Ekses yang mengemuka sejak sebelum dan sepanjang periode tahun politik 2019 adalah polarisasi masyarakat. Dari “kampret” versus “cebong” menjadi 01 versus 02. Rivalitas itu nyata-nyata tidak sehat dan juga tidak produktif, karena semata-mata bermuara pada beda rumusan sikap politik untuk memilih pemimpin, juga memilih figur-figur legislator. Sejatinya, beda rumusan sikap politik tidak haram, bahkan sangat biasa. Beda politik dalam arti luas adalah keniscayaan untuk memenuhi kebutuhan akan sistem pengawasan dan keseimbangan (checks and balances system).
Sayang, dalam tahun-tahun belakangan ini, beda rumusan sikap politik oleh sejumlah komunitas lebih mempertimbangkan faktor SARA (suku, agama, ras atau antargolongan), bukan program, kinerja atau visi-misi mewujudkan kesejahteraan, keadilan, kesetaraan serta penghormatan terhadap HAM (hak asasi manusia). Pengutamaan faktor SARA dalam rumusan sikap politik itu mendorong sejumlah komunitas mengubah perbedaan menjadi masalah salah dan benar.
“Kalau kamu tidak sama dengan kami, kamu salah karena hanya kami yang memiliki kebenaran itu”. Karena komunitas lain menolak rumusan sikap politik yang demikian, polarisasi pun tak terhindarkan. Memprihatinkan karena perbedaan itu menjadi alasan untuk membangun sikap saling bermusuhan dan amarah, serta nafsu menghina maupun menista komunitas lain.
Fakta tentang polarisasi masyarakat ini harus disikapi dengan sangat serius dan bersungguh-sungguh. Sebagai sebuah kecenderungan yang tidak sehat dan tidak produktif, dia tidak boleh berlarut-larut. Pada gilirannya, dia akan berdampak pada persatuan dan kesatuan bangsa, pun terhadap ketahanan nasional.
Pemerintah, DPR, dan semua institusi negara bersama organisasi besar di bidang keagamaan telah menunjukkan keprihatinan sekaligus kepedulian terhadap masalah polarisasi ini. Berbagai pendekatan terus diupayakan untuk mengakhir polarisasi. Namun, tanpa kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat, semua upaya pendekatan itu akan sia-sia. Sebab, pada akhirnya, faktor penentu ada pada kemauan serta niat baik dan tulus semua komunitas di negara ini.
Semua komunitas harus berkemauan dan berkehendak untuk memulihkan lagi harmoni kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Memulihkan persatuan dan kesatuan akan menjadikan Indonesia negara yang kuat dan kompetitif. Kekuatan itu dibutuhkan agar semua komunitas masyarakat Indonesia mampu menanggapi tantangan global yang terus mengalami pembaruan dan juga berubah-ubah.
Karakter perubahan yang demikian mengharuskan semua komunitas untuk mampu beradaptasi dengan setiap perubahan dan pembaruan. Jangan lupa bahwa perubahan dan pembaruan itu akan selalu terjadi tanpa pernah mau mempertimbangkan kehendak atau penolakan komunitas tertentu. Maka, polarisasi masyarakat yang terjadi sekarang ini jangan sampai diwariskan ke anak-cucu.
Polarisasi masyarakat akhir-akhir ini terjadi karena penyimpangan etika berpolitik. Sejatinya, perilaku dan narasi politik harus semakin mendewasakan dan mencerdaskan semua komunitas karena politik adalah alat sekaligus pilihan sikap untuk mewujudkan tujuan besar bersama. Tujuan besar bersama itu tak lain adalah kehendak mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan serta penghormatan terhadap HAM. Maka dalam memilih pemimpin politik dan legislator, semua komunitas idealnya fokus mencermati visi-misi calon pemimpin terhadap tujuan besar bersama itu.
Warisan Leluhur
Kini, idealnya, tidak ada lagi rivalitas politik antarkomunitas, karena tahun politik 2019 yang memuncak pada pilpres-pileg telah berakhir, dan telah difinalisasi oleh keputusan Mahkamah Konstitusi pada 27 Juni 2019. Sekali lagi, mengakhiri rivalitas itu harus menjadi kehendak dan semangat bersama semua elemen bangsa. Biarlah panggung rivalitas politik itu diisi dan dilakoni oleh para politisi sebagai sarana untuk memperjuangkan aspirasi konstituennya masing-masing.
Patut untuk diingat dan digarisbawahi oleh semua komunitas bahwa bagi para politisi, tidak ada rivalitas abadi, tidak ada pula musuh abadi dan tidak ada teman atau anggota koalisi yang abadi. Satu-satunya yang abadi dalam politik adalah kepentingan. Kalau sudah bicara tentang kepentingan, selalu muncul pertanyaan siapa mendapat apa dan siapa yang harus lebih didahulukan.
Kalau sudah begitu, jelas bahwa tidak ada alasan sedikit pun bagi semua elemen akar rumput masyarakat Indonesia untuk mempertahankan atau merawat polarisasi sekarang ini. Camkan bahwa ketika elite politik bicara kepentingan dan pembagian, masyarakat akar rumput bahkan tidak punya akses untuk tahu.
Belajar dari akar permasalahan yang melahirkan sejumlah ekses
sepanjang periode tahun politik 2019, semua komunitas telah diingatkan tentang
urgensi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Rivalitas politik lima tahunan
memang tak terhindarkan. Tetapi rivalitas itu sekali-kali tak boleh merusak
atau menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Sejatinya, rivalitas politik selalu dibutuhkan. Namun, rivalitas itu haruslah sehat, dalam arti dilakoni dengan etika yang benar plus narasi yang mendewasakan dan mencerdaskan. Haram jadinya jika rivalitas politik mendorong polarisasi masyarakat, dan haram pula jika perilaku dan narasi politik tidak mencerdaskan masyarakat.
Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia adalah warisan leluhur. Warisan ini pula yang menjadi fondasi kukuh persatuan dan kesatuan bangsa, karena sarat toleransi dan kesediaan untuk menerima, mengakui dan menghormati perbedaan. Warisan ini, bersama dengan falsafah dan dasar negara Pancasila serta Undang-undang Dasar 1945, telah mengalami beberapa kali ujian yang tidak ringan.
Memang, sejarah mencatat bahwa selalu saja ada komunitas yang ingin mengingkari, bahkan juga mencobai warisan itu. Namun, dengan segala risiko yang harus diterima, semua ujian itu selalu berhasil dimenangkan berkat persatuan dan kesatuan bangsa. Sejatinya, setiap generasi hanya diminta merawat warisan leluhur itu, dan jangan sekali-kali mencobai atau merongrongnya. Belajarlah dari sejarah yang bertutur tentang semangat dan keberanian menjaga tegaknya eksistensi NKRI.
Maka demi persatuan dan kesatuan bangsa, polarisasi masyarakat sekarang ini tidak boleh berlarut-larut. Harmonisasi hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat harus segera dipulihkan, at all cost. Rivalitas antarkomunitas yang disuluti oleh sentimen SARA atau ideologi sesat lainnya tidak boleh lagi diberi ruang. Demi tegaknya NKRI, persatuan dan kesatuan bangsa pun menjadi harga mati. Pada saatnya nanti, risiko sekecil apa pun tak bisa lagi ditoleransi jika toleransi dimaksud berpotensi merusak persatuan dan kesatuan bangsa. []
KORAN SINDO, 3 Juli 2019
Bambang Soesatyo | Ketua DPR RI, Kepala Badan Bela Negara FKPPI,
Waketum Pemuda Pancasila, Waketum Kadin Indonesia, Dewan Pakar Presidium
Nasional KAHMI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar