Dalil dan Keutamaan Shalat
Tarawih
Selain ibadah puasa, salah satu yang spesial
di bulan Ramadhan adalah shalat tarawih. Ritual yang dilakukan setelah shalat
Isya ini memiliki keutamaan dan pahala yang besar. Syekh Taqiyuddin al-Hishni
dalam karyanya Kifayatul Akhyar menegaskan bahwa kesunnahan shalat
tarawih merupakan kesepakatan seluruh ulama dari berbagai mazhab, tidak
dianggap pendapat-pendapat yang menyelisihi konsensus tersebut.
Al-Hishni mengatakan:
وَأما
صَلَاة التَّرَاوِيح فَلَا شكّ فِي سنيتها وانعقد الْإِجْمَاع على ذَلِك قَالَه غير
وَاحِد وَلَا عِبْرَة بشواذ الْأَقْوَال
“Adapun shalat tarawih, tidak diragukan lagi
di dalam kesunnahannya. Kesepakatan ulama telah menjadi kukuh di dalam
kesunnahannya, yang demikian dikatakan tidak hanya satu orang. Tidak dianggap
pendapat-pendapat yang menyimpang” (Syekh Taqiyuddin al-Hishni, Kifayah
al-Akhyar, hal. 89).
Terdapat beberapa hadits yang menjelaskan
tentang keutamaan tarawih. Di antaranya hadits Nabi riwayat Imam al-Bukhari,
Muslim dan lainnya:
مَنْ
قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan
Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah
lampau” (HR al-Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Ulama sepakat bahwa redaksi “qâma ramadlâna”
di dalam hadits tersebut diarahkan pada shalat tarawih. Syekh Khatib
al-Syarbini menegaskan:
وَقَدْ
اتَّفَقُوا عَلَى سُنِّيَّتِهَا وَعَلَى أَنَّهَا الْمُرَادُ مِنْ قَوْلِهِ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا
وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ» رَوَاهُ
الْبُخَارِيُّ وَقَوْلُهُ: إيمَانًا: أَيْ تَصْدِيقًا بِأَنَّهُ حَقٌّ مُعْتَقِدًا
فَضِيلَتَهُ، وَاحْتِسَابًا: أَيْ إخْلَاصًا،
“Ulama sepakat atas kesunnahan tarawih dan
sesungguhnya tarawih adalah shalat yang dikehendaki dalam hadits Nabi, Barang
siapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka
diampuni baginya dosa yang telah lampau. Hadits diriwayatkan al-Bukhari. Adapun
sabda Nabi “imanan”, maksudnya adalah membenarkan bahwa yang demikian itu haq
seraya meyakini keutamaannya. Sabda Nabi “wahtisaban”, maksudnya ikhlas” (Syekh
Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 1, hal. 459).
Ulama berbeda pendapat mengenai dosa yang
diampuni dalam hadits tersebut, sebagaimana mereka juga ikhtilaf di
dalam hadits-hadits sejenis. Menurut al-Imam al-Haramain, yang dihapus hanya
dosa-dosa kecil, sedangkan dosa besar hanya bisa diampuni dengan cara
bertaubat. Sementara menurut Imam Ibnu al-Mundzir, redaksi “mâ” (dosa) dalam
hadits tersebut termasuk kategori lafadh ‘âm (kata umum) yang berarti
mencakup segala dosa, baik kecil atau besar.
Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli mengatakan:
قَالَ
الْإِمَامُ: )وَالْمُكَفَّرُ الصَّغَائِرُ دُونَ الْكَبَائِرِ( . قَالَ صَاحِبُ
الذَّخَائِرِ: وَهَذَا مِنْهُ تَحَكُّمٌ يَحْتَاجُ إلَى دَلِيلٍ وَالْحَدِيثُ
عَامٌّ وَفَضْلُ اللَّهِ وَاسِعٌ لَا يُحْجَرُ. قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ فِي
قَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا
وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ» : هَذَا قَوْلٌ عَامٌّ
يُرْجَى أَنَّهُ يُغْفَرُ لَهُ جَمِيعُ ذُنُوبِهِ صَغِيرُهَا وَكَبِيرُهَا
“Al-Imam al-Haramain berkata, yang dilebur
adalah dosa-dosa kecil, bukan dosa-dosa besar. Berkata pengarang kitab
al-Dzakhair, ini adalah vonis sepihak dari al-Imam al-Haramain yang butuh
dalil, padahal haditsnya umum dan anugerah Allah luas tak terbendung. Ibnu
al-Mundzir berkata di dalam sabda Nabi, Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan
Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau,
ini adalah perkataan yang umum, diharapkan terampuninya seluruh dosa-dosa bagi
pengamalnya, dosa kecil dan besar” (Syekh Muhammad bin Ahmad
al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 3, hal. 206).
Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari
Sayyidah Aisyah bahwa Nabi pada suatu malam berada di dalam masjid, beliau
shalat dan diikuti oleh para sahabat. Di hari berikutnya Nabi shalat seperti di
hari pertama dan jamaah yang mengikutinya bertambah banyak. Kemudian di hari ke
tiga atau keempat sahabat berkumpul di masjid untuk menanti kedatangan Nabi
untuk shalat jamaah tarawih bersama-sama, namun Nabi tidak kunjung hadir hingga
subuh. Beliau menjelaskan perihal ketidakhadirannya di masjid semalam, beliau
bersabda “Aku telah melihat apa yang kalian lakukan, tidaklah mencegahku untuk
keluar shalat bersama kalian kecuali aku khawatir shalat ini difardlukan atas
kalian. Perawi hadits menjelaskan bahwa yang demikian itu terjadi di bulan
Ramadhan” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Nabi sengaja tidak melanjutkan jamaah tarawih
di masjid di hari-hari berikutnya karena khawatir ada anggapan bahwa shalat
tarawih hukumnya wajib. Sunnah ini kemudian berlanjut sampai masanya khalifah
Abu Bakr al-Shidiq. Hingga pada masa khalifah Umar bin al-Khatab, atas ide
khalifah Umar dan disepakati seluruh sahabat, dilakukan jamaah tarawih secara
rutin di masjid hingga akhir Ramadhan. Ulama menjelaskan bahwa telah terjadi
perbedaan konteks di zaman Nabi & Abu Bakr dengan masanya Umar sehingga
terjadi praktik yang berbeda dalam pelaksanaan tarawih. Bila di masa Nabi masih
sangat rentan diyakini wajib, maka alasan tersebut hilang saat masa
kepemimpinan Sayyidina Umar, sehingga dilakukan jamaah tarawih secara rutin di
masjid.
Syekh Taqiyuddin al-Hishni menegaskan:
وَفعل
عمر ذَلِك لأمنه الافتراض
“Dan Sayyidina Umar melakukan hal demikian
(mengumpulkan manusia untuk shalat jamaah tarawih) karena terjamin dari
anggapan kewajiban tarawih” (Syekh Taqiyuddin al-Hishni, Kifayah
al-Akhyar, hal. 89).
Imam al-Baihaqi dan lainnya meriwayatkan
dengan sanad yang shahih bahwa umat Islam shalat tarawih di bulan Ramadhan pada
masa pemerintahan Sayyidina Umar bin al-Khattab sebanyak 20 rakaat. Di dalam
riwayat lain dari Imam Malik di kitab al-Mawattha’, jumlah rakaat shalat
yang dilakukan di masa Umar adalah 23 rakaat. Al-Imam al-Baihaqi kemudian
mengompromikan dua dalil tersebut bahwa riwayat yang menyatakan 20 rakaat
konteksnya adalah tanpa menghitung 3 rakaat sahalat witir, sedangakan riwayat
yang menyebut 23 rakaat setelah menghitung 3 rakaat witir.
Demikian penjelasan mengenai keutamaan shalat
tarawih. Semoga kita diberi kekuatan untuk istiqamah menjalankannya dengan
ikhlas. Wallahu a'lam. []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina
Pesantren Raudlatul Qur’an, Geyongan Arjawinangun Cirebon Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar