Menelan Ingus saat Puasa,
Batalkah?
Puasa di bulan Ramadhan diwajibkan oleh
syariat bagi seluruh umat Islam. Kewajiban ini secara tegas disampaikan dalam
firman Allah subhanahu wata’ala:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيَّاماً مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman.
Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu
agar kamu bertakwa. (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa diantara
kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa) maka (wajib mengganti)
sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain” (QS
Al-Baqarah: 183-184).
Banyak hal yang terjadi pada saat seseorang
menjalankan puasa, salah satunya adalah keluarnya ingus pada saat puasa.
Sebenarnya bagaimana hukum menelan ingus pada saat puasa?
Dalam menjawab permasalahan tersebut, dalam
mazhab Syafi’i dijelaskan bahwa tertelannya ingus ke bagian dalam (jauf) ketika
ingus sudah sampai di bagian luar hukumnya tergantung kondisi yang
mengiringinya. Jika saat ingus berada di bagian luar (di atas tenggorokan) dan
mampu untuk dikeluarkan (Jawa: dilepeh), tapi tidak ia keluarkan hingga
akhirnya tertelan kembali maka puasanya dihukumi batal, sebab dalam hal ini ia
dianggap ceroboh karena tidak mengeluarkan ingusnya. Namun, jika saat ingus
berada di bagian luar tidak mampu ia keluarkan, misalnya karena terlalu cepat
turun kembali ke bagian dalam (jauf) atau tertelan tanpa disengaja maka
puasanya tetap dihukumi sah dan hal tersebut tidak membatalkan.
Perincian di atas sesuai dengan penjelasan
dalam kitab Kifayah al-Akhyar:
ولو
نزلت نخامة من رأسه وصارت فوق الحلقوم نظر إن لم يقدر على إخراجها ثم نزلت إلى
الجوف لم يفطر وإن قدر على إخراجها وتركها حتى نزلت بنفسها أفطر أيضا لتقصيره
“Ketika ingus turun dari kepala dan berada di
bagian atas tenggorokan maka hukumnya diperinci, jika seseorang yang puasa
tidak mampu mengeluarkannya (Jawa: melepeh) lalu ingus itu turun kembali menuju
bagian dalam (jauf) maka puasanya tidak batal, namun jika mampu untuk
mengeluarkannya dan ia meninggalkan hal tersebut sampai ingus itu dengan
sendirinya turun (Menuju bagian dalam) maka puasanya dihukumi batal, karena ia
dianggap ceroboh (karena tidak mengeluarkan ingus)” (Syekh Taqiyuddin Abu Bakar
bin Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, juz 1, hal. 205).
Sedangkan hukum mengeluarkan ingus dari
bagian dalam (di bawah tenggorokan) menuju bagian luar (di atas tenggorokan)
dengan sengaja, lalu segera ia buang keluar, maka dalam hal ini terjadi
perbedaan pendapat di antara para ulama. Menurut pendapat yang kuat, hal
tersebut dianggap tidak membatalkan puasa sebab kejadian demikian sering sekali
dialami oleh orang yang puasa. Namun menurut pendapat yang lain, hal tersebut
dianggap membatalkan puasa, karena sama persis dengan mengeluarkan muntahan
dengan sengaja yang sangat jelas dapat membatalkan puasanya.
Berbeda halnya ketika ingus tersebut tidak
dikeluarkan, tapi justru ditelan dengan sengaja padahal mampu untuk
dikeluarkan, maka hal ini secara jelas dapat membatalkan puasa. Penjelasan di
atas seperti yang dijelaskan dalam kitab al-Mausuah al-Fiqhiyyah
al-Kuwaitiyyah:
وعند
الشافعية هذا التفصيل :
-
إن
اقتلع النخامة من الباطن، ولفظها فلا بأس بذلك في الأصح ؛ لأن الحاجة إليه مما
يتكرر، وفي قول : يفطر بها كالاستقاءة
-
ولو
صعدت بنفسها، أو بسعاله، ولفظها لم يفطر جزما .
ولو
ابتلعها بعد وصولها إلى ظاهر الفم، أفطر جزما
وإذا
حصلت في ظاهر الفم، يجب قطع مجراها إلى الحلق، ومجها، فإن تركها مع القدرة على
ذلك، فوصلت إلى الجوف، أفطر في الأصح، لتقصيره، وفي قول : لا يفطر، لأنه لم يفعل
شيئا، وإنما أمسك عن الفعل
“Menurut mazhab Syafi’i dalam hal ini
(menelan ingus) hukumnya diperinci. Jika ingus dikeluarkan (oleh dirinya)
dari bagian dalam dan ia membuangnya maka hal ini tidak masalah (tidak
membatalkan puasa) menurut qaul ashah (pendapat terkuat). Sebab hal ini terjadi
berulang-ulang. Menurut sebagian pendapat, hal tersebut dapat membatalkan
seperti halnya hukum memuntahkan (makanan).
Jika ingus itu keluar dengan sendirinya, atau
terbawa saat batuk, lalu ia mengeluarkannya maka tidak batal puasanya. Jika ia
menelan ingusnya setelah sampainya ingus pada bagian luar mulut maka puasanya
batal.
Ketika ingus berada di bagian luar mulut maka
wajib untuk memutus aliran ingus menuju tenggorokan dan mengeluarkan ingusnya,
jika ia meninggalkan hal ini padahal ia mampu, lalu ingus itu sampai pada
bagian dalam (jauf) maka puasanya dihukumi batalmenurut qaul ashah. Menurut
sebagian pendapat , puasanya tidak batal, sebab ia tidak melakukan apa pun, ia
hanya membiarkan tidak melakukan apa pun” (Kementrian wakaf dan urusan
keagamaan kuwait, al-Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 28, hal. 65).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
menelan ingus pada saat puasa dengan sengaja, ketika ingus sudah berada di
bagian luar (bagian atas tenggorokan) maka dapat membatalkan puasa. Berbeda
halnya ketika ingus tersebut keluar lalu tertelan kembali dan tidak mungkin
untuk dikeluarkan, maka puasanya tetap dihukumi sah. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di
Pondok Pesantren Annuriyah Kaliwining Rambipuji Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar