Pendidikan
Era Baru
Oleh:
Yudi Latif
Dunia
pendidikan belakangan ini disibuk- kan dengan kelatahan diskusi tentang ancaman
era disrupsi, dengan semburan ultimatum doomsday scenarios tanpa jalan keluar
yang terang.
Padahal,
sepanjang sejarah peradaban manusia, kehidupan telah berkali-kali mengalami
disrupsi. Zaman batu berakhir bukan karena batunya habis, melainkan karena
penemuan teknologi perunggu sebagai ”pengubah permainan” (game changer). Zaman
perunggu berakhir bukan karena perunggu habis, melainkan karena penemuan
teknologi besi sebagai pengubah permainan, dan seterusnya.
Kalaupun
ada yang berbeda, hal itu terletak pada tingkat kerapatan dan skala disrupsi
yang ditimbulkan. Apabila pada zaman dulu jarak antardisrupsi itu beringsut
lambat—karena kelambanan penemuan teknologi baru—pada masa kini rentang
antardisrupsi begitu rapat, dengan implikasi yang lebih luas cakupannya dan
dalam penetrasinya. Dengan tendensi kerapatan dan intensitas disrupsi seperti
itu, apa implikasinya bagi dunia pendidikan? Apakah itu berarti akan mengubah
prinsip-prinsip pokok pendidikan atau perubahan yang diperlukan hanya terletak
pada pendekatan dan metodologinya saja?
Harus
diinsafi bahwa dengan kerapatan dan intensitas disrupsi, dunia pendidikan tak
bisa dikembangkan sebagai pabrik tenaga ”siap pakai”. Apabila pendidikan
terlalu fokus menyiapkan peserta didik untuk menguasai keterampilan tertentu,
kecepatan kedatangan teknologi baru akan segera mengedaluwarsakan keterampilan
yang diberikan. Dengan kata lain, daya sintas dunia pendidikan tak bisa
mengandalkan pendekatan berbasis tantangan dan ancaman (threat based), tetapi
harus dikembangkan berbasis penguatan kapabilitas (capability based).
Dunia
pendidikan tidak disiapkan sebagai pemasok ”batu bata” hanya karena ledakan
permintaan batu bata, melainkan pemasok ”tanah liat” yang memiliki elastisitas
untuk memenuhi ragam keperluan. Pendidikan berbasis kapabilitas menuntut
penyiapan peserta didik sebagai manusia pembelajar seumur hidup; manusia yang
selalu update dengan
perkembangan baru dengan kesediaan terus belajar memperbarui dirinya untuk bisa
menjawab segala macam tantangan. Pada titik ini, kedatangan zaman baru tidak
berarti mengubah hakikat prinsip pendidikan.
Menumbuhkan mental kreatif
Prinsip
pendidikan seumur hidup (life
long education) justru harus dibudayakan lebih sungguh. Suhu
pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara, secara visioner mendefinisikan pendidikan
sebagai ”proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari dan
mengembangkan kehidupan (mikrokosmos dan makrokosmos) sepanjang hidup.”
Manusia
pembelajar harus dibekali dengan dua macam kemampuan. Di satu sisi harus
memiliki kelenturan untuk menyesuaikan diri dengan angin perubahan. Di sisi
lain harus memiliki akar yang kuat agar tidak mudah roboh diterjang angin. Yang
pertama memerlukan daya kreatif. Yang kedua memerlukan daya karakter.
Dalam
menumbuhkan manusia pembelajar yang kreatif, tugas dunia pendidikan adalah
menumbuhkan mental kreatif (creative
mind). Mengikuti Peter H Diamandis, MD (2018), setidaknya ada lima
karakteristik mentalitas yang perlu dibudayakan peserta didik. Jiwa sungguh
mencintai (passion)
terhadap apa yang dirasa sebagai bakat, minat, pilihan, dan impian seseorang.
Kuncinya adalah mengupayakan ketersingkapan potensi diri dengan mengalami
secara langsung aktivitas pengembaraan, ragam kegiatan, dan percobaan (experiential learning).
Rasa
ingin tahu (curiosity)
dengan memfasilitasi proses eksperimentasi dan penemuan. Peserta didik perlu
diberikan keterampilan untuk belajar mengajukan pertanyaan, hipotesis,
mendesain eksperimentasi, mengumpulkan data, dan merumuskan kesimpulan.
”Keliaran” imajinasi dengan membiarkan alam terkembang menjadi guru.
Program-program pengajaran yang terstruktur dengan basis hafalan bisa
mengerdilkan imajinasi.
Perkembangan
imajinasi siswa bisa difasilitasi dengan permainan berselancar di dunia maya.
Karya-karya sastra dan film superhero serta science fiction juga bisa merangsang
penjelajahan imajinasi.
Pikiran
kritis (critical thinking)
sebagai pelita hidup. Untuk bisa mengarungi kehidupan era baru, dengan beragam
ide yang saling bertentangan, berebut klaim, misinformasi, berita negatif dan bohong,
belajar terampil berpikir kritis dapat membantu mengurangi kesesatan,
kegaduhan, dan pembodohan. Keteguhan hati (persistence)
untuk mengarungi percobaan dan tantangan. Bahwa segala percobaan dan impian itu
memerlukan keuletan perjuangan jangka panjang. Sekolah bisa memfasilitasi
pengembangan keteguhan ini lewat ajang kompetisi dalam semangat kolaborasi,
juga dengan narasi figur-figur ternama yang mampu bangkit dari kesulitan dan
keterpurukan.
Menumbuhkan karakter
Usaha
menumbuhkan kapabilitas kreatif peserta didik itu hanya bisa menghasilkan karya
dan luaran yang konstruktif serta produktif jika dibarengi kekuatan karakter
yang memberikan landasan nilai integritas dan etos kerja. Pendidikan karakter
diperlukan untuk menempa siswa menjadi pribadi baik (karakter pribadi)
sekaligus warga negara baik (karakter kolektif). Antara karakter pribadi dan
karakter kolektif bisa dibedakan, tetapi tak bisa dipisahkan.
Untuk
menjadi pribadi yang baik, Thomas Lickona (2011) menengarai ada sembilan nilai
inti karakter pribadi yang harus ditumbuhkan: keberanian (courage), keadilan (justice), kebaikan hati (benevolence), rasa terima
kasih (gratitude),
kebijaksanaan (wisdom),
mawas diri (reflection),
rasa hormat (respect),
tanggung jawab (responsibility),
dan pengendalian diri (temperance).
Tentang
bagaimana menjadi warga negara yang baik, Jonathan Haidt (2012)
menengarai ada enam nilai inti moral publik sebagai basis karakter kolektif
kewargaan: peduli terhadap bahaya yang mengancam keselamatan bersama (care); rasa keadilan dan
kepantasan (fairness);
kebebasan dengan menjunjung tinggi hak-hak dasar manusia (liberty); kesetiaan pada
institusi, tradisi, dan konsensus bersama (loyalty);
respek terhadap otoritas yang disepakati bersama (authority); serta menghormati nilai-nilai
yang dipandang paling ”mulia” (sanctity).
Dalam konteks Indonesia, keenam nilai inti moral publik itu terkandung dalam
Pancasila.
Pergeseran pendekatan
Semuanya
itu memerlukan pergeseran atau penyesuaian pada pendekatan dan metodologi
pendidikan. Menurut Christiaan Henny (2016), ada beberapa hal yang patut
diperhatikan sebagai karakteristik pendekatan dan metodologi pendidikan masa
depan. Aktivitas belajar di ruang kelas mengalami pembalikan (flipped classroom). Dengan
fasilitas e-learning, pelajar
bisa memiliki lebih banyak kesempatan belajar pada aneka tempat dan waktu, juga
bisa belajar jarak jauh dan belajar sendiri. Dengan demikian, aktivitas di
ruang kelas bisa kebalikan dari pendekatan pembelajaran konvensional.
Aspek-aspek teoretis yang biasanya disampaikan di ruang kelas bisa dipelajari
di luar kelas; sebaliknya aspek praktis yang biasanya jadi pekerjaan rumah
justru dikerjakan di ruang kelas secara interaktif. Ruang kelas menjadi wahana
mendiskusikan hal-hal yang belum jelas, juga menjadi ajang kerja kelompok
untuk mengaitkan hal-hal yang teoretis ke dalam praktik.
Pembelajaran
mengalami personalisasi (personalizing
learning). Para pelajar akan belajar dengan alat-alat pembelajaran
sesuai kapabilitas dirinya. Pelajar yang memiliki kecakapan di atas rata-rata
pada subyek-subyek tertentu akan ditantang dengan tugas dan pertanyaan yang
lebih berat. Adapun pelajar yang mengalami kesulitan akan mendapatkan
kesempatan lebih banyak hingga bisa mencapai level yang dikehendaki. Pelajar
akan mendapatkan peneguhan secara positif, yang bisa mengatasi kehilangan
kepercayaan diri. Guru-guru akan dapat mengenali secara lebih jelas, pelajar
mana yang memerlukan bantuan dalam bidang apa.
Keterbukaan
pilihan bebas (free choice).
Meski setiap subyek yang diajarkan mengarah ke tujuan yang sama, jalan yang
ditempuh pelajar untuk mencapai tujuan tersebut bisa berbeda. Pelajar akan bisa
memodifikasi proses belajar dengan alat-alat pembelajaran yang dirasa cocok
dengannya. Para pelajar akan belajar dengan beragam peralatan, program, dan
teknik sesuai dengan preferensinya. Untuk itu, pelajar harus disertakan dalam
penyusunan kurikulum. Guru lebih berperan sebagai mentor pendamping, pengarah,
pendorong, dan penghubung siswa dengan dunia luar.
Pembelajaran
berbasis proyek (project-based
learning). Mengikuti kecenderungan pilihan karier pekerjaan di era
baru, yang tak terlalu terikat (freelance),
para pelajar hari ini harus diadaptasikan pada praktik pembelajaran dan
pekerjaan berbasis proyek. Mereka harus belajar menerapkan keterampilannya
dalam jangka pendek pada ragam situasi. Hal ini harus mulai diperkenalkan pada
sekolah menengah. Pada jenjang ini, keterampilan berorganisasi, kolaborasi, dan
pengaturan waktu juga dapat diajarkan sebagai modal dasar untuk dikembangkan
pada karier akademik selanjutnya.
Perluasan
pengalaman lapangan (field
experience). Karena teknologi dapat memfasilitasi secara
lebih efisien pembelajaran aspek teoretis pada domain tertentu, kurikulum akan
memberikan ruang bagi pengembangan keterampilan dalam pengalaman langsung.
Sekolah/ universitas akan menyediakan kesempatan lebih luas untuk meraih
keterampilan dalam dunia nyata sesuai dengan preferensinya. Kurikulum akan
menciptakan lebih banyak ruang bagi pelajar untuk menjalani pemagangan, proyek
kolaborasi, dan mentoring. Ujian akan berubah secara mendasar. Karena platform
pembelajaran akan menilai kapabilitas pelajar pada setiap langkah, mengukur kompetensi
mereka atas dasar pertanyaan dan jawaban boleh jadi tak lagi relevan.
Kompetensi pelajar akan diukur dengan memperhatikan perkembangan selama proses
belajar dan aplikasi pengetahuan mereka dalam praktik di lapangan.
Sebagai
tambahan, kemampuan belajar sendiri itu perlu prasyarat literasi yang kuat:
kecakapan menghitung, membaca, menulis, dan menutur. Dengan kehadiran komputer
penghitung dan software analisis
statistik yang canggih, kecerdasan yang harus lebih diasah adalah kemampuan
interpretasi data. Media komunikasi boleh berubah, tetapi kapasitas baca-tulis
harus tetap diperkuat. Kemunculan era disrupsi jangan jadi pembenar untuk
menelantarkan kapasitas literasi. Pendidikan sekolah dasar jadi tumpuan untuk
membudayakan minat baca, tradisi menulis, dan menutur. Tanpa daya interpretasi,
daya baca, daya tulis, dan daya menutur, perkembangan kreativitas manusia tak
memiliki landasan kuat.
Semua
pergeseran dalam pendekatan dan metodologi pendidikan itu harus seiring dengan
transformasi pendidikan karakter. Pengembangan karakter merupakan pendekatan
holistik yang menghubungkan dimensi moral pendidikan dengan ranah sosial dan
sipil kehidupan siswa. Dalam pendidikan karakter, moral itu ditangkap (caught) dengan
keteladanan, bukan diajarkan (taught)
dengan hafalan. Cara mengajarkannya tak terisolasi dalam mata pelajaran
tersendiri, tetapi melekat dengan seluruh rangkaian kurikulum dan melibatkan
peran komunitas. Sifat-sifat karakter yang dikehendaki harus merembesi
lingkungan belajar siswa, baik dalam kelas, jalan masuk, gimnasium, kafetaria,
lapangan olahraga, maupun tempat-tempat lain yang kemudian terhubung dengan
praktis moral dalam realitas masyarakat.
Secara
singkat dapat disimpulkan bahwa pendidikan itu benih harapan. Apabila
masyarakat dilanda kekisruhan, kemandekan, dan keterpurukan, serta tak tahu
kunci emansipasinya, jurus pamungkasnya adalah pendidikan. Pendidikan benih
harapan harus memprioritaskan pengembangan manusia pembelajar yang kreatif dan
berkarakter. Proses pendidikan harus mampu mengembangkan kreativitas berbasis
keragaman kecerdasan insani dengan panduan kompas nilai yang dapat menjaga
keselarasannya dengan tertib kosmos dan harmoni dunia. Dengan cara itu, menurut
Ki Hadjar Dewantara, manusia pembelajar bisa mangaju-aju salira, mengaju-aju bangsa, mangaju-aju
manungsa (membahagiakan diri, membahagiakan bangsa,
membahagiakan kemanusiaan). []
KOMPAS, 2
Mei 2019
Yudi Latif | Dosen Universitas Negeri Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar