Jumat, 17 Mei 2019

Zuhairi: Rekonsiliasi Iran-Arab Saudi, Mungkinkah?


Rekonsiliasi Iran-Arab Saudi, Mungkinkah?
Oleh: Zuhairi Misrawi

Bulan Ramadhan yang semestinya menjadi ajang rekonsiliasi, atau setidak-tidaknya untuk menahan diri agar tidak saling serang dalam konflik politik, rupanya itu tidak berlaku di kawasan Timur-Tengah. Perang proksi antara Iran dan Arab Saudi tidak menunjukkan tanda-tanda surut.

Kalau mau jujur, konflik yang membara di kawasan tersebut pada hakikatnya terjadi sebagian besarnya karena Iran dan Arab Saudi terlibat dalam konflik yang berlatar sektarian. Narasi konflik Sunni-Syiah telah menjadikan dunia Arab, bahkan dunia Islam menanggung beban yang sangat berat.

Karenanya, muncul usulan agar kedua negara yang berkonflik itu untuk melakukan pembicaraan dan dialog di antara para pemimpinnya. Hossein Mousavian dan Abdul Aziz Sager menulis di Harian New York Times perihal pentingnya kedua negara duduk bersama untuk mencari solusi dalam rekonsiliasi yang bersifat komprehensif. Mousavian adalah warga Iran yang pernah menjadi juru bicara perundingan negosiasi nuklir pada 2003, sedangkan Sager merupakan nahkoda Pusat Riset Teluk yang bermarkas di Arab Saudi.

Pada tingkat masyarakat sebenarnya muncul kesadaran baru perlunya rekonsiliasi di antara kedua negara karena beban yang ditanggung dari perang proksi sangatlah berat. Bahkan, jika kedua negara mau duduk ke meja perundingan, banyak konflik yang berkecamuk di Timur-Tengah akan bisa diselesaikan.

Konflik Yaman merupakan tragedi kemanusiaan yang sekarang tidak akan bisa diselesaikan kecuali Arab Saudi dan Iran mau mengambil langkah besar mengakhiri dan melakukan rekonsiliasi. Intervensi Arab Saudi dan Iran dalam konflik Yaman terlalu dalam, sehingga penyelesaiannya pun tidak bisa hanya melibatkan pihak-pihak yang terlibat konflik, khususnya Yaman Utara dan Yaman Selatan.

Komitmen Arab Saudi dan Iran untuk menjadikan Yaman sebagai negara yang bersatu dan berdaulat agar mempercepat proses normalisasi politik, sosial, dan kultural. Perbedaan politik yang selama ini terbangun dapat diselesaikan dengan cara membangun kesepakatan dan kesepahaman politik di antara pihak-pihak konflik dengan dukungan penuh, baik dari Iran maupun Arab Saudi.

Begitu halnya, konflik yang terjadi di Libanon dan Bahrain dapat diakhiri dengan membangun rekonsiliasi secara komprehensif untuk mewujudkan babak baru persaudaraan antara Sunni-Syiah yang akan menjadi mercusuar bagi persaudaraan yang besar di Timur-Tengah dan dunia Islam. Namun, semua itu masih jauh api dari panggang. Mewujudkan rekonsiliasi begitu mudah diucapkan, tetapi dalam praktiknya akan terasa berat.

Konflik antara Iran dan Arab Saudi bukan hanya sekadar konflik biasa, melainkan melibatkan pihak-pihak yang lebih besar lagi dalam peta geopolitik global. Saya pribadi memandang Iran akan sangat siap untuk melakukan perundingan dengan Arab Saudi, dan hal tersebut sudah dilakukan oleh Ahmadinejad dengan melakukan dialog dan diplomasi dengan pihak Arab Saudi di masa lalu.

Namun setelah itu, hubungan antara Iran dan Arab Saudi semakin renggang. Apalagi saat Donald Trump menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat. Situasinya semakin rentan, karena Trump menjadi pihak yang tidak ingin stabilitas politik di Timur-Tengah kian membaik.

Langkah Trump membatalkan kesepakatan nuklir dengan Iran diduga kuat karena ada pihak-pihak yang memang tidak ingin stabilitas politik terjadi di kawasan Timur-Tengah. Arab Saudi dan Israel ditengarai menjadi pihak yang ingin agar Iran menjadi common enemy.

Apa yang terjadi saat ini menjadi semacam kotak pandora yang memperjelas posisi hubungan Iran-Saudi yang semakin kusut. Jalan menuju rekonsiliasi tidak mudah, karena Amerika Serikat akan mengambil langkah abnormal terhadap Iran.

Setelah Amerika Serikat membatalkan kesepakatan nuklir, Trump akan berencana melancarkan perang terhadap Iran dengan dalih pengayaan nuklir untuk kebutuhan persenjataan. Hal tersebut disusul dengan embargo minyak terhadap Iran.

Namun sialnya, kebijakan Trump tidak diikuti oleh negara-negara Eropa, termasuk Jerman, Prancis, dan Inggris, sehingga langkah Trump tidak mempunyai dukungan penuh dari negara-negara Eropa.

Meskipun demikian, hubungan antara Iran-Arab Saudi makin memanas, karena ada Israel yang sengaja mengambil kesempatan dalam kesempitan. Israel merupakan satu-satunya negara yang selama ini tidak menghendaki rekonsiliasi Iran-Arab Saudi.

Bahkan banyak pihak yang menyatakan, Israel sengaja memainkan kartu narasi Sunni-Syiah untuk memanas-manasi hubungan Iran-Arab Saudi dengan tujuan melanggengkan dominasi kekuasaannya di Palestina. Israel sangat khawatir dengan persatuan Iran-Arab Saudi karena akan menjadi ancaman serius terhadap Israel.

Maka dari itu, rekonsiliasi Iran-Arab Saudi sepenuhnya akan terwujud sejauh mana Arab Saudi dapat memahami peta geopolitik di Timur-Tengah. Rekonsiliasi Iran-Arab Saudi sebenarnya akan menjadi kekuatan besar dan modal yang tidak terhingga untuk mewujudkan stabilitas politik di Timur-Tengah. Di sisi lain, Israel akan menjadi pihak yang mudah untuk diajak ke meja perundingan karena tidak ada lagi pihak yang menyokong segala kebijakan apartheid-nya.

Di sini, rekonsiliasi Iran-Arab Saudi mempunyai manfaat yang sangat besar bagi persaudaraan dunia Islam, stabilitas politik, dan terwujudnya perdamaian di Timur-Tengah. Meskipun harus diakui untuk mewujudkan rekonsiliasi tersebut bukan hal yang mudah, bahkan mungkin saja mustahil diwujudkan, karena Arab Saudi sementara ini memilih untuk mengikuti narasi Israel dan Amerika Serikat. []

DETIK, 16 Mei 2019
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar