Rekonsiliasi
Oleh: Azyumardi Azra
Secara retrospektif, pemilu 17 April 2019 menampilkan fenomena
yang tampak bertolak belakang. Ada sisi yang memberikan harapan bagi penguatan
dan konsolidasi demokrasi. Namun, pada saat yang sama juga ada gejala yang
menimbulkan kekhawatiran, yang perlu dicermati pemimpin bangsa dan para pejuang
demokrasi dalam menapak hari-hari berikutnya negara-bangsa Indonesia.
Sisi-sisi kontradiktif itu dapat dimulai dengan kenyataan, pemilu
anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) yang digelar
serentak pada Pemilu 2019 umumnya berlangsung aman dan damai. Hasil jajak
pendapat Litbang Kompas, 84 persen responden menyatakan tidak mengalami
hambatan apa pun dalam menggunakan hak pilih mereka (Kompas, 29/4/2019).
Tingkat partisipasi pemilih juga tinggi. Litbang Kompas menemukan,
tingkat partisipasi Pemilu 2019 mencapai 81,78 persen. Ini cukup fenomenal
karena tingkat partisipasi di Pilpres 2009 hanya 71,7 persen dan Pilpres 2014
lebih rendah lagi, yaitu 69,8 persen.
Namun, kenaikan partisipasi pemilih ini secara tersirat juga
mengandung gejala mengkhawatirkan. Tingkat partisipasi yang tinggi pada Pemilu
2019 tampaknya banyak terkait dengan kontestasi politik yang sangat sengit,
bahkan berbau zero-sum-game di antara kedua kubu pasangan calon (paslon)
presiden-wakil presiden, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga
Uno.
Seiring dengan kontestasi itu, polarisasi juga tampak makin
mengeras di masyarakat. Polarisasi yang semula lebih bersifat politik, pada
Pilpres 2019 kian sarat dengan nuansa agama, bahkan etnis. Gejala ini masih
terbawa seusai pencoblosan; ada kalangan elite politik, sosial, dan agama yang
mengeluarkan pernyataan tentang perilaku politik pemilih di provinsi ”garis
keras” terkait lingkungan agama dan etnis. Pernyataan seperti ini tak membantu
terciptanya situasi yang kondusif dan rekonsiliatif.
Dengan demikian, pertarungan sengit dan pahit itu kini tak hanya
berlanjut. Dalam segi tertentu, bahkan cenderung meningkat. Ketegangan baru
muncul, memperluas polarisasi ke ranah etnis dan sosial-budaya yang di masa
sebelumnya tak pernah terganggu dinamika politik seperti pemilu.
Ketegangan juga masih bertahan di tengah penghitungan suara aktual
dan rekapitulasi bertingkat oleh KPU; masih gencar suara yang menuduh adanya
”kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif—bahkan menambah dengan ”brutal”.
KPU berulang kali membantah tuduhan tersebut.
Penghitungan suara sejauh ini memberikan gejala indikatif paslon
yang bakal mendapat suara lebih banyak; dan dengan demikian memenangi pilpres.
Namun, tak ada yang bisa memastikan apakah hasil pemilu yang ditetapkan KPU
pada 22 Mei nanti dapat diterima pihak yang kalah hingga mengakhiri
pertarungan.
Lagi-lagi, di sini dapat dilihat gejala kontradiktif. Di satu
sisi, di masyarakat terlihat aman dan rukun, tidak tampak gejala gerakan yang
dapat memicu kegaduhan politik dan mengganggu keamanan. Namun, pada saat yang
sama, juga dirasakan kontestasi dan ketegangan terus berlanjut di masyarakat.
Guna menjaga situasi tetap kondusif, semua elite politik di
tingkat nasional dan daerah perlu segera melakukan berbagai langkah untuk mencairkan
ketegangan serta polarisasi di masyarakat.
Dalam kaitan itulah perlu akselerasi upaya rekonsiliasi politik
dan sosial di antara elite politik pendukung kedua paslon. Selanjutnya, upaya
rekonsiliasi juga perlu dipercepat di lingkungan masyarakat luas.
Sejak hari pertama pasca- pencoblosan, sebenarnya telah ada upaya
rekonsiliasi. Pertama kali PP Muhammadiyah menawarkan diri jadi mediator guna
menciptakan islah di antara kedua pihak yang berkontestasi di pilpres (18/4).
Setelah itu, PBNU beserta 14 ormas Islam lain juga menyatakan siap menciptakan
rekonsiliasi di tingkat elite dan masyarakat (20/4).
Ada pula koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari para pemimpin
dan aktivis prodemokrasi (21/4). Mereka mengimbau pihak-pihak yang terlibat
kontestasi agar menghargai demokrasi yang sangat mahal, apalagi dengan
banyaknya petugas KPPS, anggota staf Bawaslu, dan aparat pengamanan yang
meninggal.
Inisiatif menggalang rekonsiliasi juga diprakarsai Wapres Jusuf
Kalla dengan mengundang pimpinan ormas Islam (22/4). Wapres bersama sejumlah
pemimpin ormas Islam berharap segera ada pertemuan antara Jokowi dan Prabowo
untuk mendorong rekonsiliasi.
Jika upaya rekonsiliasi telah intensif dilakukan, mengapa belum
terlihat tanda meyakinkan bahwa islah di antara kedua paslon dengan elite
politiknya dapat segera terwujud?
Harus diakui, rekonsiliasi tak bisa terwujud hanya dengan imbauan.
Dibutuhkan sejumlah prasyarat yang memungkinkan kedua belah pihak bisa
melakukan islah. Rekonsiliasi dapat tercipta jika kedua belah pihak bisa
menahan diri untuk tidak membuat berbagai klaim sepihak.
Rekonsiliasi juga hanya mungkin terjadi jika semua pihak berpegang
pada proses politik berdasarkan kebenaran dan ketentuan undang-undang serta
hukum yang berlaku.
Tak kurang pentingnya, rekonsiliasi hanya bisa terwujud jika kedua
pihak berlapang dada menerima berbagai kekurangan yang terjadi selama
berlangsungnya kontestasi. Dengan kelapangan dada, setiap pihak juga siap
memberikan maaf untuk kemudian secara bersama bertekad memperbaikinya pada masa
datang. []
KOMPAS, 2 Mei 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar