Telat Mengqadha Puasa
Ramadhan karena Faktor Menyusui
Pertanyaan:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Istri saya pada Januari lalu alhamdulillah
melahirkan putra pertama kami. Nah, sekarang istri masih harus menyusui sampai
6 bulan, dan terkadang dia shalat kadang juga tidak karena masih ada darah yang
keluar. Sekarang dia masih punya utang puasa tahun lalu, sedangkan sebentar
lagi mau masuk bulan Ramadhan. Pertanyaan saya, bagaimana cara bayar puasa
tahun lalu? Apakah bisa diqadha lagi tahun depan lantaran keadaan yang saya
jelaskan tadi; atau membayar fidyah? Mohon jawabannya. Terima kasih.
Fathur
Jawaban:
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,
Penanya yang budiman, semoga Anda senantiasa
dirahmati oleh Allah subhanahu wata’ala. Kewajiban untuk mengqadha puasa
Ramadhan secara tegas disampaikan dalam Al-Qur’an:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيَّاماً مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Wahai orang-orang yang beriman. Diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa. (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit
atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa) maka (wajib mengganti) sebanyak
hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah,
Ayat: 183-184)
Hukum tidak berpuasa Ramadhan atau tidak
berpuasa untuk mengqadha puasa-wajib secara umum diperinci sesuai dengan motif
yang melatarbelakanginya. Beberapa uzur yang menyebabkan seseorang tidak
berpuasa secara umum terbagi dalam tiga kondisi. Tiga keadaan ini secara umum
terangkum dalam penjelasan Syekh Muhammad Nawawri al-Jawi:
فللمريض
ثلاثة أحوال إن توهم ضررا يبيح التيمم كره له الصوم وجاز له الفطر وإن تحقق الضرر
المذكور أو غلب على ظنه أو انتهى به العذر إلى الهلاك أو ذهاب منفعة عضو حرم الصوم
ووجب الفطر وإن كان المرض خفيفا بحيث لا يتوهم فيه ضررا يبيح التيمم حرم الفطر
ووجب الصوم ما لم يخف الزيادة وكالمريض الحصادون والملاحون والفعلة ونحوهم ومثله
الحامل والمرضع
“Bagi orang yang sakit terdapat tiga keadaan.
Pertama, jika ia menduga akan terjadi bahaya (pada dirinya) yang sampai
memperbolehkan tayammum, maka makruh baginya untuk berpuasa dan boleh baginya
untuk membatalkan puasanya. Kedua, jika bahaya itu benar-benar akan terjadi
atau ia menduga kuat (terjadinya bahaya itu) atau uzur yang dia miliki akan
menyebabkan kematian atau hilangnya fungsi tubuh maka haram baginya untuk
berpuasa. Ketiga, jika sakitnya hanya ringan sekiranya ia tidak menduga
terjadinya bahaya yang sampai memperbolehkan tayammum maka haram baginya untuk
membatalkan puasa dan wajib berpuasa selama ia tidak takut bertambah sakit.
Seperti halnya orang yang sakit (dalam klasifikasi hukum di atas), hukum ini
berlaku untuk orang yang memanen, pelaut, pekerja dan profesi sejenis. Begitu
juga (hal di atas) berlaku bagi orang yang hamil dan orang yang menyusui.”
(Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi, Nihayah az-Zein, hal. 189)
Dalam kalimat terakhir dalam referensi
tersebut dijelaskan bahwa ketiga keadaan di atas juga berlaku bagi orang yang
menyusui, persis seperti yang ditanyakan oleh penanya di atas. Sehingga dapat
dipahami, hukum mengakhirkan qadha pada bulan setelah Ramadhan selanjutnya
tergantung istri penanya termasuk dalam keadaan yang pertama, kedua atau
ketiga.
Jika ternyata istri penanya sebenarnya masih
kuat untuk berpuasa sebab tidak terjadi hal-hal yang mengkhawatirkan pada
dirinya atau sang bayi karena sudah ada susu bayi yang menggantikannya,
misalnya; atau istri hanya khawatir terjadinya suatu hal yang hanya bersifat
ringan maka tetap wajib baginya untuk mengqadha puasa sebelum datangnya
Ramadhan di tahun berikutnya. Jika mengqadha puasanya tetap saja diakhirkan setelah
datangnya bulan Ramadhan, padahal tidak ada bahaya yang mengancam dirinya dan
bayinya maka hal tersebut jelas tidak diperbolehkan. Konsekuensinya, selain
berkewajiban mengqadha, sang istri juga wajib membayar kafarat, yakni satu mud makanan pokok yang diberikan pada fakir miskin pada setiap
satu hari qadha puasa yang diakhirkan. Satu mud ini setara dengan 0,6 Kg beras
atau ¾ liter beras.
Namun jika ternyata sang istri ketika mengqadha
puasa khawatir terjadinya bahaya yang sampai memperbolehkan tayammum—misalnya
memparah keadaan atau membuat sembuh semakin lama dan kekhawatiran ini
terus-menerus sampai masuknya bulan Ramadhan—maka dalam keadaan demikian boleh
baginya untuk mengakhirkan puasanya setelah masuknya Ramadhan selanjutnya
sampai kekhawatiran tersebut tidak lagi ada.
Terkait wajibnya membayar fidyah dalam
keadaan ini, masih dilihat terlebih dahulu; jika dahulu sebelum bayi lahir
pernah ada waktu yang memungkinkan untuk mengqadha puasanya maka selain
berkewajiban mengqadha, ia juga berkewajiban membayar kafarat. Kafarat
dibebankan karena ia dianggap teledor atas kesempatan yang ada. Namun, jika
dalam masa satu tahun benar-benar tidak ada waktu baginya untuk mengqadha puasanya
karena sakit yang dialami secara terus-menerus misalnya (dan hal ini jarang
sekali terjadi), maka ia hanya berkewajiban mengqadha puasanya saja tanpa perlu
membayar kafarat. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab al-Hawi al-Kabir:
إذا
أفطر أياما من شهر رمضان لعذر أو غيره ، فالأولى به أن يبادر بالقضاء وذلك موسع له
ما لم يدخل رمضان ثان ، فإن دخل عليه شهر رمضان ثان صامه عن الفرض ، لا عن القضاء
فإذا أكمل صومه قضى ما عليه ثم ينظر في حاله ، فإن كان أخر القضاء لعذر دام به من
مرض أو سفر ، فلا كفارة عليه ، وإن أخره غير معذور فعليه مع القضاء الكفارة عن كل
يوم بمد من طعام ، وهو إجماع الصحابة
“Ketika seseorang membatalkan puasa bulan
Ramadhan beberapa hari karena faktor uzur atau hal yang lain, maka hal yang
utama baginya adalah segera mengqadha puasanya. Mengqadha ini bersifat muwassa’
(luas/panjang) selama tidak sampai masuk Ramadhan selanjutnya. Jika sampai
masuk waktu Ramadhan selanjutnya maka ia berpuasa fardhu, bukan puasa qadha.
Ketika puasa Ramadhan pada tahun tersebut telah sempurna, baru ia mengqadha
puasanya yang lalu dan dilihat keadaannya: jika ia mengakhirkan qadha karena
ada uzur yang terus-menerus berupa sakit atau perjalanan maka tidak wajib
kafarat baginya. Jika ia mengakhirkan qadha tanpa adanya uzur maka wajib
baginya untuk mengqadha puasa sekaligus membayar kafarat pada setiap hari (yang
belum diqadha) senilai satu mud makanan, hal ini telah menjadi konsensus para
sahabat.” (Abu Hasan al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz 10, hal. 42)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
mengqadha puasa harus dilaksanakan sesegera mungkin, terlebih ketika istri
mengetahui nantinya akan mengalami keadaan yang tidak mungkin untuk
mengqadha puasanya karena faktor menyusui atau uzur lainnya. Jika puasa tidak
segera diqadha sampai masuknya bulan Ramadhan di tahun selanjutnya maka selain
berkewajiban mengqadha, istri juga wajib untuk membayar kafarat satu mud
makanan pokok untuk setiap satu hari puasa yang qadhanya diakhirkan. Wallahu
a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di
Pondok Pesantren Annuriyah Kaliwining Rambipuji Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar