Selasa, 21 Mei 2019

(Ngaji of the Day) Uang Simpanan, Apakah Kena Kewajiban Zakat?


Uang Simpanan, Apakah Kena Kewajiban Zakat?

Banyak masuk atensi kepada penulis beberapa hari terakhir yang menanyakan seputar zakat uang. Beberapa dari penanya ingin diberitahu tentang apakah uang simpanan mereka termasuk yang wajib dikenai zakat apa tidak. Kali ini pengkaji akan mencoba mengupas masalah ini dengan menimbang segi teori uang yang pernah kita kupas sebelumnya dalam forum ini. 

Pertama yang harus kita perhatikan adalah bahwa kewajiban zakāt māl adalah berlaku pada harta yang tersimpan (kanzun) yang terdiri atas emas dan perak. Ayat yang menjelaskan hal ini adalah QS at-Taubah ayat 34: “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak kemudian ia tidak menafkahkannya di jalan Allah (mengeluarkan zakatnya), maka berilah kabar gembira terhadap mereka akan azab yang teramat pedih.” 

Kita bicara tentang emas dan perak. Ada dua jenis emas dan perak yang saat ini beredar di masyarakat, yaitu pertama berupa emas murni yang biasanya berwujud emas batangan, dan kedua berupa emas yang dicetak. Untuk emas yang dicetak umumnya disebut sebagai huliyyin mubāh, yaitu perhiasan mubah. Ada kalanya emas yang ada dalam bentuk cetak ini berupa kalung, cincin, atau berupa mata uang seperti dinar dan dirham.

Nishab dari huliyyin mubah ini adalah 20 mitsqāl, setara dengan 20 dinar, atau kurang lebih 425 gram. Sementara nishab emas murni adalah setara 85 gram. Masing-masing dari emas murni dan emas yang dicetak ini wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% (rub’u al-‘ushr). Untuk nishab perak dalam bentuk huliyyin mubah, adalah sama dengan 200 dirham atau setara dengan kadar 2.975 gram. Adapun bila dalam bentuk perak murni (batangan), maka nishabnya setara dengan ukuran timbangan 595 gram. Zakat yang wajib dikeluarkan dari perak ini juga sama yaitu 2,5%-nya. Catatan yang perlu diperhatikan dari keberadaan zakat emas dan perak tadi adalah bahwa keduanya telah disimpan (kanzun) selama kurang lebih 1 tahun, baik dalam bentuk batangan murni atau dalam bentuk cetak (Lihat KH. Afifuddin Muhadjir, Fathu al-Mudjīb al-Qarīb fi hilli Alfādhi al-Taqrīb, Situbondo: Ibrahimy Press, 2014, hal. 48). 

Lantas apa hubungannya keberadaan emas dan perak ini dengan uang? Jawabnya adalah hubungannya sangat erat. Mengapa? Karena sejarah mata uang di dunia ini erat hubungannya dengan emas dan perak. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih klasik pun juga disebutkan adanya relasi antara mata uang dengan emas dan perak. Bahkan dalam Keputusan Muktamar ke-8 Nahdlatul Ulama di Jakarta, tanggal 12 Muharram 1352 H./ 7 Mei 1933 M juga menyamakan kedudukan uang ini sama dengan emas dan perak. Namun menilik dari tahun dihasilkannya keputusan, keputusan ini tidak bisa disalahkan karena memang pada tahun itu kedudukan uang masih memiliki simpanan berupa cadangan emas yang terletak di Bank Indonesia.

Pasca dihasilkannya keputusan Muktamar NU yang ke-8 ini berlaku hukum bahwa setiap uang yang disimpan oleh masyarakat, adalah bernilai cadangan emas dan perak. Karena ia bernilai cadangan emas, maka bila uang tersebut disimpan selama satu tahun, baik disimpan sendiri atau disimpan di bank, dengan catatan yaitu asal tidak dipergunakan sama sekali, maka dari uang ini berlaku nishab zakat.

Nishab ini ditentukan kadarnya berdasar nishab emas dan perak murni. Bila dalam 1 gram emas murni bernilai 500 ribu (misalnya), maka harga 85 gram emas adalah setara dengan Rp42.500.000. Dengan demikian, zakat yang wajib dikeluarkan adalah menjadi sebesar 2,5%-nya sehingga bernilai Rp1.062.000. Arti lain dari hal ini adalah, setiap masyarakat yang memiliki uang simpanan sebesar Rp. 42.500.000 adalah sudah setara dengan memiliki 85 gram emas sehingga wajib dikeluarkan zakatnya.

Keberadaan uang ini adalah baik yang disimpan sendiri maupun yang disimpan dalam unit niaga seperti perbankan dan lembaga/tempat penyimpanan lainnya. Akan tetapi, keputusan ini adalah berlaku ketika mata uang masih memiliki simpanan cadangan emas di bank, yaitu tepatnya era sebelum tahun 1970-an. Lantas bagaimana dengan uang dewasa ini?

Seiring dengan perkembangan zaman, kedudukan mata uang telah berubah. Negara sekarang memakai jenis mata uang fiat yang mana nilainya tidak ditentukan berdasarkan cadangan emas yang tersimpan, melainkan ia ditentukan berdasarkan hasil neraca perdagangan. Makna uang sudah bergeser menjadi makna niaga karena setiap satuan mata uang ditentukan nilainya dari hasil perniagaan. Syarat dari niaga (tijarah) adalah perputaran mata uang di unit niaga dan adanya ‘urudlu al-tijarah (modal niaga). Oleh karena itu, untuk mata uang yang tidak berada dalam satuan unit niaga ini, maka uang tersebut tidak bisa disebut mengalami perputaran. Lantas, dimanakah letak unit niaganya?

Suatu misal, ada orang yang menyimpan uang secara konvensional yaitu menyimpan uang secara klasik di rumah. Selama satu tahun uang tersebut tidak dipakai untuk suatu jenis usaha tertentu, maka secara tidak langsung uang masyarakat seperti ini disebut tidak mengalami perputaran. Karena tidak mengalami perputaran, maka tidak ada yang disebut 'urudlu al-tijarah (modal niaga). Padahal, keberadaan 'urudlu al-tijarah inilah yang menjadi dasar utama ditetapkannya zakat, yakni zakat tijarah (zakat niaga).

Berbeda halnya bila uang masyarakat disimpan di bank. Sebagaimana yang dahulu juga kita bahas bahwa pada dasarnya uang yang disimpan di bank dalam bentuk deposito dan reksadana adalah diawali dengan akad serah terima modal antara nasabah dengan perbankan sebagai wakil nasabah untuk menyalurkan ke unit niaga yang aman bagi dana nasabah. Oleh karena itu, uang yang dititipkan ke bank oleh nasabah bisa disebut sebagai urudlu al-tijarah, karena ada unsur serah terima modal tersebut. Karena adanya unsur serah terima modal, maka berlaku pula hukum zakat niaga sebesar 2,5% bilamana uang tersebut telah mencapai haul (satu tahun). 

Sebagai ilustrasi misalnya Pak Ahmad mendepositokan uangnya sebesar 10 juta rupiah pada 5 Syawal 1438 H. Pada saat kalender sudah menunjuk 5 Syawal 1439 H, ternyata uang Pak Ahmad telah mencapai 12 juta rupiah. Berapakah zakat yang harus dikeluarkan oleh Pak Ahmad? Jawabnya adalah dengan mendasarkan pada hitungan urudlu al-tijarah sebesar 10 juta maka dihitung bahwa besarnya zakat Pak Ahmad adalah sebesar 250 ribu rupiah. Hal ini tentu tidak berlaku bilamana Pak Ahmad menyimpan uang tersebut di rumah sendiri, karena uang sebesar 10 juta tidak mengalami perputaran dalam unit niaga.

Semoga uraian singkat ini bisa menghapus silang sengkarut soal apakah uang simpanan dan tabungan wajib dikeluarkan zakatnya apa tidak. Sebagai garis besar jawabnya adalah apakah uang tersebut dipergunakan dalam unit niaga atau tidak. Bila dipergunakan, maka wajib dikeluarkan zakatnya, dan bila tidak digunakan dan hanya disimpan sendiri, maka tidak wajib dikeluarkan. Wallahu a’lam bi al-shawab. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean

Tidak ada komentar:

Posting Komentar