Uang
Simpanan, Apakah Kena Kewajiban Zakat?
Banyak masuk atensi
kepada penulis beberapa hari terakhir yang menanyakan seputar zakat uang.
Beberapa dari penanya ingin diberitahu tentang apakah uang simpanan mereka
termasuk yang wajib dikenai zakat apa tidak. Kali ini pengkaji akan mencoba
mengupas masalah ini dengan menimbang segi teori uang yang pernah kita kupas
sebelumnya dalam forum ini.
Pertama yang harus
kita perhatikan adalah bahwa kewajiban zakāt māl adalah berlaku pada harta yang
tersimpan (kanzun) yang terdiri atas emas dan perak. Ayat yang menjelaskan hal
ini adalah QS at-Taubah ayat 34: “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak
kemudian ia tidak menafkahkannya di jalan Allah (mengeluarkan zakatnya), maka
berilah kabar gembira terhadap mereka akan azab yang teramat pedih.”
Kita bicara tentang
emas dan perak. Ada dua jenis emas dan perak yang saat ini beredar di
masyarakat, yaitu pertama berupa emas murni yang biasanya berwujud emas
batangan, dan kedua berupa emas yang dicetak. Untuk emas yang dicetak umumnya
disebut sebagai huliyyin mubāh, yaitu perhiasan mubah. Ada kalanya emas yang
ada dalam bentuk cetak ini berupa kalung, cincin, atau berupa mata uang seperti
dinar dan dirham.
Nishab dari huliyyin
mubah ini adalah 20 mitsqāl, setara dengan 20 dinar, atau kurang lebih 425
gram. Sementara nishab emas murni adalah setara 85 gram. Masing-masing dari
emas murni dan emas yang dicetak ini wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5%
(rub’u al-‘ushr). Untuk nishab perak dalam bentuk huliyyin mubah, adalah sama
dengan 200 dirham atau setara dengan kadar 2.975 gram. Adapun bila dalam bentuk
perak murni (batangan), maka nishabnya setara dengan ukuran timbangan 595 gram.
Zakat yang wajib dikeluarkan dari perak ini juga sama yaitu 2,5%-nya. Catatan
yang perlu diperhatikan dari keberadaan zakat emas dan perak tadi adalah bahwa
keduanya telah disimpan (kanzun) selama kurang lebih 1 tahun, baik dalam bentuk
batangan murni atau dalam bentuk cetak (Lihat KH. Afifuddin Muhadjir, Fathu
al-Mudjīb al-Qarīb fi hilli Alfādhi al-Taqrīb, Situbondo: Ibrahimy Press, 2014,
hal. 48).
Lantas apa
hubungannya keberadaan emas dan perak ini dengan uang? Jawabnya adalah
hubungannya sangat erat. Mengapa? Karena sejarah mata uang di dunia ini erat
hubungannya dengan emas dan perak. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih klasik pun
juga disebutkan adanya relasi antara mata uang dengan emas dan perak. Bahkan
dalam Keputusan Muktamar ke-8 Nahdlatul Ulama di Jakarta, tanggal 12 Muharram
1352 H./ 7 Mei 1933 M juga menyamakan kedudukan uang ini sama dengan emas dan
perak. Namun menilik dari tahun dihasilkannya keputusan, keputusan ini tidak
bisa disalahkan karena memang pada tahun itu kedudukan uang masih memiliki
simpanan berupa cadangan emas yang terletak di Bank Indonesia.
Pasca dihasilkannya
keputusan Muktamar NU yang ke-8 ini berlaku hukum bahwa setiap uang yang
disimpan oleh masyarakat, adalah bernilai cadangan emas dan perak. Karena ia
bernilai cadangan emas, maka bila uang tersebut disimpan selama satu tahun,
baik disimpan sendiri atau disimpan di bank, dengan catatan yaitu asal tidak
dipergunakan sama sekali, maka dari uang ini berlaku nishab zakat.
Nishab ini ditentukan
kadarnya berdasar nishab emas dan perak murni. Bila dalam 1 gram emas murni
bernilai 500 ribu (misalnya), maka harga 85 gram emas adalah setara dengan
Rp42.500.000. Dengan demikian, zakat yang wajib dikeluarkan adalah menjadi
sebesar 2,5%-nya sehingga bernilai Rp1.062.000. Arti lain dari hal ini adalah,
setiap masyarakat yang memiliki uang simpanan sebesar Rp. 42.500.000 adalah
sudah setara dengan memiliki 85 gram emas sehingga wajib dikeluarkan zakatnya.
Keberadaan uang ini
adalah baik yang disimpan sendiri maupun yang disimpan dalam unit niaga seperti
perbankan dan lembaga/tempat penyimpanan lainnya. Akan tetapi, keputusan ini
adalah berlaku ketika mata uang masih memiliki simpanan cadangan emas di bank,
yaitu tepatnya era sebelum tahun 1970-an. Lantas bagaimana dengan uang dewasa
ini?
Seiring dengan
perkembangan zaman, kedudukan mata uang telah berubah. Negara sekarang memakai
jenis mata uang fiat yang mana nilainya tidak ditentukan berdasarkan cadangan
emas yang tersimpan, melainkan ia ditentukan berdasarkan hasil neraca
perdagangan. Makna uang sudah bergeser menjadi makna niaga karena setiap satuan
mata uang ditentukan nilainya dari hasil perniagaan. Syarat dari niaga
(tijarah) adalah perputaran mata uang di unit niaga dan adanya ‘urudlu
al-tijarah (modal niaga). Oleh karena itu, untuk mata uang yang tidak berada
dalam satuan unit niaga ini, maka uang tersebut tidak bisa disebut mengalami
perputaran. Lantas, dimanakah letak unit niaganya?
Suatu misal, ada
orang yang menyimpan uang secara konvensional yaitu menyimpan uang secara
klasik di rumah. Selama satu tahun uang tersebut tidak dipakai untuk suatu
jenis usaha tertentu, maka secara tidak langsung uang masyarakat seperti ini
disebut tidak mengalami perputaran. Karena tidak mengalami perputaran, maka
tidak ada yang disebut 'urudlu al-tijarah (modal niaga). Padahal, keberadaan
'urudlu al-tijarah inilah yang menjadi dasar utama ditetapkannya zakat, yakni
zakat tijarah (zakat niaga).
Berbeda halnya bila
uang masyarakat disimpan di bank. Sebagaimana yang dahulu juga kita bahas bahwa
pada dasarnya uang yang disimpan di bank dalam bentuk deposito dan reksadana
adalah diawali dengan akad serah terima modal antara nasabah dengan perbankan sebagai
wakil nasabah untuk menyalurkan ke unit niaga yang aman bagi dana nasabah. Oleh
karena itu, uang yang dititipkan ke bank oleh nasabah bisa disebut sebagai
urudlu al-tijarah, karena ada unsur serah terima modal tersebut. Karena adanya
unsur serah terima modal, maka berlaku pula hukum zakat niaga sebesar 2,5%
bilamana uang tersebut telah mencapai haul (satu tahun).
Sebagai ilustrasi
misalnya Pak Ahmad mendepositokan uangnya sebesar 10 juta rupiah pada 5 Syawal
1438 H. Pada saat kalender sudah menunjuk 5 Syawal 1439 H, ternyata uang Pak
Ahmad telah mencapai 12 juta rupiah. Berapakah zakat yang harus dikeluarkan
oleh Pak Ahmad? Jawabnya adalah dengan mendasarkan pada hitungan urudlu
al-tijarah sebesar 10 juta maka dihitung bahwa besarnya zakat Pak Ahmad adalah
sebesar 250 ribu rupiah. Hal ini tentu tidak berlaku bilamana Pak Ahmad
menyimpan uang tersebut di rumah sendiri, karena uang sebesar 10 juta tidak
mengalami perputaran dalam unit niaga.
Semoga uraian singkat
ini bisa menghapus silang sengkarut soal apakah uang simpanan dan tabungan
wajib dikeluarkan zakatnya apa tidak. Sebagai garis besar jawabnya adalah
apakah uang tersebut dipergunakan dalam unit niaga atau tidak. Bila
dipergunakan, maka wajib dikeluarkan zakatnya, dan bila tidak digunakan dan hanya
disimpan sendiri, maka tidak wajib dikeluarkan. Wallahu a’lam bi
al-shawab. []
Muhammad Syamsudin,
Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean
Tidak ada komentar:
Posting Komentar