Rabu, 22 Mei 2019

Kang Said: Kembali ke Literasi


Kembali ke Literasi
Oleh: Said Aqil Siroj

Kembali ke literasi, rasanya kata-kata yang  perlu digaungkan seusai gempita pesta demokrasi yang barusan dihelat negeri kita.

Begitu banyak pikiran, tenaga, air mata, bahkan ada darah tercecer. Luapan sukacita para pendukung atau kandidat yang lolos berimpitan dengan tragedi caleg gagal yang berakhir bunuh diri dan sejumlah petugas KPPS yang meninggal saat bekerja. Potret luapan euforia bersahutan dengan munculnya kegetiran dan fobia, buah dari masih ingarnya kegundahan, kekalutan, dan ketidakpercayaan.

Hari-hari ini selayak ”hari cinta kasih” (yaumul marhamah) setelah sekian waktu berpeluh- peluh dalam perjuangan (yaumul malhamah). Gerbang memasuki  ”hari kemenangan” (yaumul fath) bagi negeri kita untuk kian mengukuhkan kedamaian, persaudaraan, dan persatuan sesungguhnya momen yang harus segera dideklarasikan.  Kini saatnya pulang dan kembali pada salah satu ”pilar” dalam kemajuan berbangsa, yaitu penguatan literasi.

Tantangan kian menguatnya ”militansi kalap” serta meluapnya fenomena ”kematian kepakaran” justru semakin membuktikan bahwa gerakan literasi yang kafahharus terus ditumbuhkan dengan penuh militan.

Paradoks milenium

Kita tak bisa menampik kalau saat ini negeri kita boleh dikata ”panen” orang-orang berpendidikan dengan berbagai levelnya. Banyak di antaranya lulusan universitas bergengsi, baik dalam maupun luar negeri dengan titel mentereng dan keahlian yang tak bisa diremehkan. Bangsa kita banyak melahirkan kaum terpelajar berseiring dengan kian membaiknya kesejahteraan.

Fakta ini membanggakan. Kemajuan suatu bangsa memang tak bisa dilepaskan dari kesadaran rakyatnya untuk menuntut ilmu.

Fakta lain juga menunjukkan betapa kesadaran beragama menunjukkan lonjakan masif. Rumah ibadah senantiasa penuh. Banyak yang berlomba mendirikan, misalnya, masjid dengan segala kemegahannya.

Kesadaran beragama kemudian kerap kali dilahiriahkan dengan ”identitas” berpakaian dan bertata tutur. Ini bisa kita tatapi di ”dunia nyata” yang langsung bertatap muka dengan kita.  Begitu pun kalau kita lihat di ”dunia maya” seperti media sosial yang riuh komentar netizen yang ”agamis”.

Dalil-dalil keagamaan berhamburan demi menyikapi isu yang muncul. Bahkan, celotehan dan juga makian tak jarang melampirkan ayat-ayat suci.

Sebanding dengan peningkatan pendidikan dan keberagamaan,  marak pula hoaks dan ujaran kebencian (hate speech) terlebih untuk urusan yang bersinggungan dengan politik, seperti saat Pilpres 2019. Satu penelitian menunjukkan justru di kalangan terdidik dan beragama inilah yang mudah termakan hoaks dan terbanyak melontarkan ujaran-ujaran kebencian.

Inilah ”paradoks” pada era milenial yang tengah mewarnai kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di negeri kita. Kita tentu heran mengapa ini menggelayuti kalangan yang sebenarnya diharapkan punya ketahanan (resilience) dari dentuman informasi yang saling silang.

Dalam konteks beragama, lagi-lagi terlihat agama hanya diletakkan sebagai ”energi” yang tidak lagi berjiwa rasional. Alih-alih mencerahkan, justru mengentalkan kekerasan dan kegaduhan. Kalau saya meminjam istilah Erich Fromm, perilaku keagamaan telah berubah otoriter dan lepas dari fungsi humanis.

Keberagamaan seperti ini mengungkapkan pula bahwa para elite agama dan kaum terpelajar belum mampu menjadi penopang bagi hidupnya demokrasi yang sehat di Indonesia. Mereka juga belum mampu menjadi penggerak literasi pada kaumnya supaya mampu ”saring dan sharing” informasi bermutu dan mencerahkan.

Mereka malah mengeksploitasi ”akal budi” dan keberagamaan untuk melahirkan militansi yang membuta.

Terapi literasi

Menarik cerita seorang pegiat literasi yang menghimpun para eks narapidana terorisme (napiter) lewat komunitas Rumah Daulat Buku (Rudalku) di Jakarta. Ceritanya, pada Pemilu 2019, para eks napiter begitu bergairah ikut memilih. Sebelum-sebelumnya mereka memilih golput karena masih merupakan wilayah demokrasi yang dipandang sebagai thoghut. Kali ini mereka terpanggil ”memilih pemimpin” (nashbul imamah) yang dalam pandangan mereka sesuai syariat.

Mereka ikut aktif dalam kampanye, baik melalui kampanye turun di jalan maupun lewat medsos. Di medsos mereka menghamburkan segala komentar dan kiriman status (posting) untuk meyakinkan bahwa pilihannya benar-benar ideal.

Sering sekali semburan komentar dan kiriman itu bertujuan memojokkan pihak lawan dengan tuduhan-tuduhan  ”bengis”  berbalut keagamaan. Dalam istilah mereka, tahdzir atau memvonis pihak lawan dengan cara keras.

Dalam kegiatan rutin yang diadakan Rudalku, mereka diajak diskusi dengan merujuk pada kitab-kitab klasik. Diskusi ini murni ilmiah tanpa ada kecenderungan partisan dari pengelola. Tema pemilu diangkat sebagai contoh untuk dikaji.

Tujuan dari kegiatan ini memang semata peningkatan literasi bagi eks napiter. Mereka diajak bertukar pikiran semisal tentang hoaks yang bermunculan dalam suasana ketegangan politik. Juga tentang cara-cara yang tidak terpuji untuk menjatuhkan lawan terlebih menggunakan ayat-ayat.

Mereka diajak untuk kembali berpikir rasional serta menyadari pentingnya akhlak dengan mencontohkan teladan yang ditunjukkan para ulama salaf (salafussholih) yang bagi mereka selalu menjadi ”titik pijak” dalam pergerakan.

Setelah beberapa kali kegiatan itu, umbaran kegalakan para eks napiter ini menjadi surut. Ini terbukti dengan berkurangnya komentar dan kiriman status keras yang biasa dikirim ke medsos dan WAG.

Bagi pengelola, ini membuktikan bahwa gerakan literasi yang murni ilmiah mampu menurunkan tensi ekstremisme di kalangan militan dan kombatan. Sebab, mereka diajarkan bahwa untuk menerima dan menyikapi sebuah peristiwa tidak boleh secara instan, tetapi harus dilalui dengan menelaah bacaan secara utuh. Dengan begitu, akan lahir sikap yang rasional dan bijak tanpa mengumbar kebencian.

Walhasil, mereka yang tercerahkan adalah mereka yang gigih kembali ke literasi. Literasi mampu membuka ”saraf” ekstrem untuk dicairkan dan diluruskan kembali agar tidak mengalami penyumbatan pembuluh kesadaran kritisnya.

Inilah insan-insan berkualitas organik yang akan menabur kearifan dan kedamaian. Mereka ini pula yang akan mampu mengabdi pada kebajikan berbasis keilmuan. Dari sinilah lanskap-lanskap dan wajah masa depan Indonesia ditentukan. []

KOMPAS, 3 Mei 2019
Said Aqil Siroj | Ketua Umum PBNU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar