Kembali ke Literasi
Oleh: Said Aqil Siroj
Kembali ke literasi, rasanya kata-kata yang perlu digaungkan
seusai gempita pesta demokrasi yang barusan dihelat negeri kita.
Begitu banyak pikiran, tenaga, air mata, bahkan ada darah
tercecer. Luapan sukacita para pendukung atau kandidat yang lolos berimpitan
dengan tragedi caleg gagal yang berakhir bunuh diri dan sejumlah petugas KPPS
yang meninggal saat bekerja. Potret luapan euforia bersahutan dengan munculnya
kegetiran dan fobia, buah dari masih ingarnya kegundahan, kekalutan, dan
ketidakpercayaan.
Hari-hari ini selayak ”hari cinta kasih” (yaumul marhamah) setelah
sekian waktu berpeluh- peluh dalam perjuangan (yaumul malhamah). Gerbang memasuki
”hari kemenangan” (yaumul
fath) bagi negeri kita untuk kian mengukuhkan kedamaian,
persaudaraan, dan persatuan sesungguhnya momen yang harus segera
dideklarasikan. Kini saatnya pulang dan kembali pada salah satu ”pilar”
dalam kemajuan berbangsa, yaitu penguatan literasi.
Tantangan kian menguatnya ”militansi kalap” serta meluapnya
fenomena ”kematian kepakaran” justru semakin membuktikan bahwa gerakan literasi
yang kafahharus terus ditumbuhkan dengan penuh militan.
Paradoks milenium
Kita tak bisa menampik kalau saat ini negeri kita boleh dikata ”panen”
orang-orang berpendidikan dengan berbagai levelnya. Banyak di antaranya lulusan
universitas bergengsi, baik dalam maupun luar negeri dengan titel mentereng dan
keahlian yang tak bisa diremehkan. Bangsa kita banyak melahirkan kaum
terpelajar berseiring dengan kian membaiknya kesejahteraan.
Fakta ini membanggakan. Kemajuan suatu bangsa memang tak bisa
dilepaskan dari kesadaran rakyatnya untuk menuntut ilmu.
Fakta lain juga menunjukkan betapa kesadaran beragama menunjukkan
lonjakan masif. Rumah ibadah senantiasa penuh. Banyak yang berlomba mendirikan,
misalnya, masjid dengan segala kemegahannya.
Kesadaran beragama kemudian kerap kali dilahiriahkan dengan
”identitas” berpakaian dan bertata tutur. Ini bisa kita tatapi di ”dunia nyata”
yang langsung bertatap muka dengan kita. Begitu pun kalau kita lihat di
”dunia maya” seperti media sosial yang riuh komentar netizen yang ”agamis”.
Dalil-dalil keagamaan berhamburan demi menyikapi isu yang muncul.
Bahkan, celotehan dan juga makian tak jarang melampirkan ayat-ayat suci.
Sebanding dengan peningkatan pendidikan dan keberagamaan,
marak pula hoaks dan ujaran kebencian (hate
speech) terlebih untuk urusan yang bersinggungan dengan politik,
seperti saat Pilpres 2019. Satu penelitian menunjukkan justru di kalangan
terdidik dan beragama inilah yang mudah termakan hoaks dan terbanyak
melontarkan ujaran-ujaran kebencian.
Inilah ”paradoks” pada era milenial yang tengah mewarnai kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa di negeri kita. Kita tentu heran mengapa ini
menggelayuti kalangan yang sebenarnya diharapkan punya ketahanan (resilience) dari dentuman
informasi yang saling silang.
Dalam konteks beragama, lagi-lagi terlihat agama hanya diletakkan
sebagai ”energi” yang tidak lagi berjiwa rasional. Alih-alih mencerahkan,
justru mengentalkan kekerasan dan kegaduhan. Kalau saya meminjam istilah
Erich Fromm, perilaku keagamaan telah berubah otoriter dan lepas dari fungsi
humanis.
Keberagamaan seperti ini mengungkapkan pula bahwa para elite agama
dan kaum terpelajar belum mampu menjadi penopang bagi hidupnya demokrasi yang
sehat di Indonesia. Mereka juga belum mampu menjadi penggerak literasi pada
kaumnya supaya mampu ”saring dan sharing”
informasi bermutu dan mencerahkan.
Mereka malah mengeksploitasi ”akal budi” dan keberagamaan untuk
melahirkan militansi yang membuta.
Terapi literasi
Menarik cerita seorang pegiat literasi yang menghimpun para eks
narapidana terorisme (napiter) lewat komunitas Rumah Daulat Buku (Rudalku) di
Jakarta. Ceritanya, pada Pemilu 2019, para eks napiter begitu bergairah ikut
memilih. Sebelum-sebelumnya mereka memilih golput karena masih merupakan
wilayah demokrasi yang dipandang sebagai thoghut. Kali ini mereka terpanggil ”memilih
pemimpin” (nashbul imamah)
yang dalam pandangan mereka sesuai syariat.
Mereka ikut aktif dalam kampanye, baik melalui kampanye turun di
jalan maupun lewat medsos. Di medsos mereka menghamburkan segala komentar dan
kiriman status (posting)
untuk meyakinkan bahwa pilihannya benar-benar ideal.
Sering sekali semburan komentar dan kiriman itu bertujuan
memojokkan pihak lawan dengan tuduhan-tuduhan ”bengis” berbalut
keagamaan. Dalam istilah mereka, tahdzir atau
memvonis pihak lawan dengan cara keras.
Dalam kegiatan rutin yang diadakan Rudalku, mereka diajak diskusi
dengan merujuk pada kitab-kitab klasik. Diskusi ini murni ilmiah tanpa ada
kecenderungan partisan dari pengelola. Tema pemilu diangkat sebagai contoh
untuk dikaji.
Tujuan dari kegiatan ini memang semata peningkatan literasi bagi
eks napiter. Mereka diajak bertukar pikiran semisal tentang hoaks yang
bermunculan dalam suasana ketegangan politik. Juga tentang cara-cara yang tidak
terpuji untuk menjatuhkan lawan terlebih menggunakan ayat-ayat.
Mereka diajak untuk kembali berpikir rasional serta menyadari
pentingnya akhlak dengan mencontohkan teladan yang ditunjukkan para ulama salaf
(salafussholih)
yang bagi mereka selalu menjadi ”titik pijak” dalam pergerakan.
Setelah beberapa kali kegiatan itu, umbaran kegalakan para eks
napiter ini menjadi surut. Ini terbukti dengan berkurangnya komentar dan
kiriman status keras yang biasa dikirim ke medsos dan WAG.
Bagi pengelola, ini membuktikan bahwa gerakan literasi yang murni
ilmiah mampu menurunkan tensi ekstremisme di kalangan militan dan kombatan.
Sebab, mereka diajarkan bahwa untuk menerima dan menyikapi sebuah peristiwa
tidak boleh secara instan, tetapi harus dilalui dengan menelaah bacaan secara
utuh. Dengan begitu, akan lahir sikap yang rasional dan bijak tanpa mengumbar
kebencian.
Walhasil, mereka yang tercerahkan adalah mereka yang gigih kembali
ke literasi. Literasi mampu membuka ”saraf” ekstrem untuk dicairkan dan
diluruskan kembali agar tidak mengalami penyumbatan pembuluh kesadaran
kritisnya.
Inilah insan-insan berkualitas organik yang akan menabur kearifan
dan kedamaian. Mereka ini pula yang akan mampu mengabdi pada kebajikan berbasis
keilmuan. Dari sinilah lanskap-lanskap dan wajah masa depan Indonesia ditentukan.
[]
KOMPAS, 3 Mei 2019
Said Aqil Siroj | Ketua Umum PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar