Tiga
Kandungan Makna Idul Fitri
Fithrah mempunyai
tiga arti yaitu suci, asal kejadian, dan agama yang benar. Kalau memahami bahwa
idul fitri kembali kepada kesucian, suci itu sendiri mempunyai tiga makna yaitu
indah, baik, dan benar.
Menurut Pakar Tafsir
Prof Dr Muhammad Quraish Shihab (Membumikan Al-Qur’an, 1999), seseorang yang
beridul fitri dia akan selalu menjaga keindahan dalam setiap aspek kehidupan,
selalu berusaha mencari kebenaran, dan selalu menampilkan kebaikan.
Dalam hal ini, Nabi
Muhammad SAW bersabda, Ad-Din Al-Muamalah. Nasihat menasihati dan tenggang rasa
juga termasuk ajaran agama karena Nabi juga bersabda, Ad-Din Al-Nashihah.
Dengan demikian, setiap yang ber-idul fitri harus sadar bahwa setiap orang
dapat melakukan kesalahan; dan dari kesadarannya itu ia bersedia untuk memberi
dan menerima maaf.
Fithrah yang juga
berarti kesucian dapat dipahami dan dirasakan maknanya pada saat seorang hamba
duduk merenung sendirian. Ketika pikiran mulai tenang, kesibukan hidup atau
haru hati telah dapat teratasi, akan terdengar suara nurani yang mengajaknya
berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud Yang Maha
Mutlak, yang mengantarnya untuk menyadari betapa lemahnya manusia di
hadapan-Nya, dan betapa kuasa dan perkasanya Yang Maha Agung itu.
Suara yang didengar
itu adalah suara fithrah manusia, suara kesucian. Setiap orang memiliki fithrah
itu, terbawa serta olehnya sejak kelahiran, walaupun sering terabaikan karena
kesibukan dan dosa-dosa sehingga suaranya begitu lemah hanya sayup-sayup
terdengar. Suara itulah yang dikumandangkan pada Idul Fitri, yakni Allahu
Akbar, Allahu Akbar.
Jika kalimat
pengagungan Allah itu tertancap dalam jiwa, maka akan hilanglah segala
ketergantungan kepada unsur-unsur lain selain Allah semata. Tiada tempat
bergantung, tiada tempat menitipkan harapan, tiada tempat mengabdi, kecuali
kepada-Nya. Ketika hal itu terjadi pada seseorang, terjadilah apa yang seperti
dilukiskan oleh ulama kenamaan Ibnu Sina dalam Al-Isyarat wa Tanbihat (Disadur
dari Abdul Halim Mahmud, Al-Tafkir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kutub
Al-Lubnaniy, 1982) sebagai berikut:
Orang tersebut
menjadi arif, yang bebas dari ikatan raganya. Dalam dirinya terdapat ikatan
yang tersembunyi, namun pada dirinya sendiri tampak sebagai sesuatu yang nyata.
Ia selalu gembira, banyak senyum. Betapa tidak, sejak ia mengenal-Nya, hatinya
dipenuhi oleh kegembiraan. Dengan melihat Yang Maha Suci, semua dianggapnya
sama, karena memang semua makhluk Allah. Semua wajar mendapatkan Rahmat, baik
yang taat maupun yang bergelimang dosa. Ia tidak akan mengintip-intip kelemahan
orang, tidak pula mencari kesalahannya. Ia tidak akan marah, tidak pula
tersinggung, walaupun melihat yang mungkar sekalipun, karena jiwanya selalu
diliputi Rahmat dan kasih sayang, dan karena ia memandang keindahan, ia melihat
sir Allah (rahasia Allah) terbentang ke dalam qudrat-Nya. Bila ia mengajak
kepada kebaikan, ia akan melakukannya dengan lemah lembut, tidak dengan
kekerasan, tidak pula dengan kecaman, kritikan yang melukai atau ejekan. Ia
akan selalu menjadi pemaaf. Betapa tidak, sedang di dadanya sedemekian lapang,
sehingga tidak ada tempat bagi kesalahan orang lain. Ia tidak akan menjadi pendendam.
Bagaimana ia mampu mendendam, sedang seluruh ingatannya hanya tertuju kepada
Yang Maha Suci lagi Maha Agung itu.
Seseorang yang
ber-idul fitri juga seorang yang berilmu, karena kebenaran yang terkandung
dalam makna suci merupakan buah dari pencarian ilmu. Ia juga bisa dikatakan
sebagai seorang seniman karena mengekspresikan keindahan. Seseorang yang
ber-idul fitri juga manusia budiman karena dengan berbuat kebaikan, ia
merupakan seorang yang budiman.
Sebab itu, ketika
seorang merayakan idul fitri, dia akan berusaha dalam semua kegiatannya agar
menjadi benar, baik, dan indah. Pada hakikatnya ketika seseorang ber-idul
fitri, umat Islam mengenakan pakaian takwa, pakaian yang mereka tenun selama
bulan Ramadhan, sekaligus pakaian yang mestinya mereka pakai sepanjang waktu,
khususnya setelah manusia menempa diri selama sebulan penuh berpuasa.
Dalam konteks ini,
manusia harus mengingat pesan ilahi, “Janganlah kamu menjadi seperti seorang
perempuan dalam cerita lama, mengurai kembali tenunannya, sehelai demi sehelai
benang dalam tenunannya”.
Artinya, jangan
sampai setelah mencapai fithrah, manusia melepaskan kendali sehingga kita
kembali melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama.
Dengan memasuki idul
fitri atau dengan memasuki bulan syawal yang artinya meningkat, manusia
diharapkan meningkatkan segala keindahan, kebenaran, kebaikannya, dan
meningkatkan ilmunya. Demikianlan makna kesyukuran kepada Allah SWT dan makna
di balik hakikat idul fitri. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar