Gandhi
dan Prinsip-prinsipnya
Oleh: KH.
Abdurrahman Wahid
Pada
akhir Januari 2004 lalu penulis diundang oleh Gandhi Smriti untuk menghadiri
ulang tahun ke-56 wafatnya tokoh tersebut. Walaupun New Delhi pada waktu ini
sedang mencapai puncak cuaca dingin, kira-kira - 2o C, penulis menerima
undangan itu. Ini adalah karena kekaguman penulis atas ajaran-ajaran Mahatma
Gandhi. Gandhi berani meninggalkan sebuah karir gemilang di bidang hukum -menjadi
pengacara sukses, di Afrika Selatan dalam usia belum sampai 30 tahun, dengan
penghasilan tinggi dan kedudukan terhormat di masyarakat India yang ada di
Afrika Selatan. Ia tinggalkan itu semua, untuk mengabdi kepada kejayaan dan
kemerdekaan India dari penjajahan Inggris. Untuk itu ia harus berjalan kaki
berkeliling di seluruh India, dengan segala kesederhanaan hidup, termasuk
memintal kapas untuk membuat sendiri kain yang dipakainya.
Dengan
segala kesederhanaan itu, ia berjuang secara damai (Satya Graha), tanpa
menggunakan kekerasan (Ahimsa) dan selalu hidup mandiri, tidak bergantung
kepada siapapun (Swadesi). Ketiga prinsip di atas, dipegangnya secara teguh dan
dikemudian hari menjadi ajaran-ajaran Gandhi berarti bagi umat manusia.
Kesenjangan
kaya dan miskin memang sangat besar di India, dan kalau ada pemimpin yang mau
membuang segenap peluang untuk menjadi orang “cabang atas”, dan menjadikan diri
melarat seperti si miskin, maka hal itu merupakan sesuatu yang luar biasa di
negeri tersebut. Mahatma Gandhi dikemudian hari merupakan contoh hidup dari
sikap ingin membela “orang kecil” yang kemudian diteruskan oleh para pemimpin
seperti Vinoba Bhave dan Prakash Narayan (salah seorang pendiri partai sosialis
di India). Berkat kesediaan para pemimpin itu untuk hidup serba sangat
sederhana, maka India tetap damai dan melawan kekerasan hingga hari ini.
Walaupun
di berbagai tempat memang ada unjuk perasaan yang berujung pada beberapa
tindakan kekerasan, skalanya masih kecil dan dapat diatasi dengan cepat oleh
pasukan-pasukan keamanan. Ratusan juta jiwa penduduk India yang hidup di bawah
garis kemiskinan, tetap saja dengan sabar memberikan kekuasaan kepada para
politisi dan birokrat untuk berlomba-lomba memperebutkan kekayaan. Namun, para
pemimpin India seperti Gandhi dan Jawaharlal Nehru, tetap dengan kesederhanaan
mereka.
*****
Kesederhanaan
juga diperlihatkan Nehru, sebagaimana penulis saksikan ketika menjadi panitia
penjemput Bung Karno di lapangan terbang Kairo tahun 1964. Nehru yang
datang datang terlebih dahulu dengan Chou En-lai, hanya tampak “mewah”
dengan bunga mawar merah di dadanya, sedangkan selebihnya sangat sederhana.
Demikian juga Chou En-lai menggunakan baju stelan Mao dan menggenakan sepatu
sandal dengan kaos kaki putih. Satu-satunya kemewahan pada dirinya adalah
tabung tempat ludah yang dibawa oleh pengawal. Tidak kalah adalah tuan rumah
Gamal Abdul Nasser, Presiden Mesir yang menggenakan baju lengkap dengan dasi,
seluruhnya buatan Mesir yang masih tampak kasarnya. Di samping itu, ia menggunakan
pulpen merek Hero dari RRT. Ketika Bung Karno datang, tokoh itu tampak necis
dengan woll buatan luar negeri dan pulpen Parker yang mewah.
Begitu
besar kontras antar mereka, tetapi bagaimana juga mereka dipersatukan oleh
cita-cita bersama, yaitu melindungi bangsa-bangsa masing-masing dari penjajahan
kaum imperalis. Alangkah besar bedanya dengan pemerintahan kita sekarang, yang
asal main jual asset saja, dengan tidak mengindahkan mana yang menjadi
kebutuhan nasional dan mana yang tidak. Perbedaan tajam inilah yang seharusnya
mengingatkan kita kepada apa yang menjadi capaian bersama dengan bangsa-bangsa
miskin yang lain. Kalau ini tidak diindahkan, itu karena para pemimpin kita
berlomba-lomba mencari kekayaan untuk diri sendiri.
*****
Dalam
kesempatan mengikuti diskusi tentang prinsip-prinsip yang diperjuangkan Mahatma
Gandhi, penulis melihat (atau lebih tepat mendengar) betapa besar kesenjangan
kaya-miskin di anak benua India. Itupun bangsa itu masih dipenuhi oleh
pertentangan antar-golongan, seperti yang penulis rasakan dalam sebuah
kunjungan ke Jamiyah Millia di New Delhi. Jamiyah (universitas) itu adalah
sempalan dari universitas-universitas Aligarh, sekitar satu jam perjalanan dari
New Delhi. Universitas Aligarh terkenal sebagai lembaga pendidikan tinggi yang
dihidupkan Sir. Sayyid Ahmad Khan, seorang muslim moderat yang mengadakan
pembaharuan pendidikan Islam di anak benua tersebut. Ia segera menjadi pusat
pandangan-pandangan liberal dari Islam, dan melahirkan pemimpin, baik bagi gerakan-gerakan
Islam maupun gerakan-gerakan non-keagamaan. Pemimpin-pemimpin yang “mengatur”
gerakan-gerakan Islam di India menjelang tahun-tahun 1940-an akhirnya menuntut
berdirinya negara Islam, yang berakhir dengan pemisahan Republik India dari
Republik Islam Pakistan.
Para
pemimpin Islam di negara yang baru itu, seperti Ali Jinnah dan Liaqat Ali Khan,
berjuang sekuat mungkin untuk mendirikan negara Muslim yang modern. Namun, para
pemimpin kolot dan konsevatif di negeri itu, dengan segera mengendalikan keadaan
dan memaksa perundang-undangannya menjadi konservatif (kolot). Demokratisasi
yang berlangsung di Pakistan itu, terpaksa dilakukan oleh kaum militer. Seperti
sekarang dilaksanakan oleh mantan Jenderal Parvez Musharraf, yang justru
mengalami kesulitan dalam mewujudkan kedua sasarannya: modernisasi dan
demokratisasi melalui sistem Panchayat (dewan desa), yang sampai sekarang masih
masih menunjukkan kesulitan-kesulitan untuk tetap hidup. Upaya mewujudkan kedua
hal itu, masih harus dilihat akan dapat mewujudkan “demokrasi dari bawah”
seperti yang di dengung-dengungkan para pemimpin Pakistan sendiri.
*****
Di sini
kita lihat, upaya menegakkan demokrasi dan melakukan modernisasi di sebuah
negara tidaklah mudah. Ia memerlukan suasana stabil dan tenang, yang
tidak akan tercapai manakala elit politiknya tidak memberikan contoh yang baik
bagi tercapainya kedua hal itu. Apa yang diperlihatkan Musharraf dengan memaksa
Benazir Bhutto ke Inggris dan mengusir pemimpin Libya muslimin Nawaz Sharif ke
Saudi Arabia, ternyata hanya mempertajam gambaran tentang Musharraf
sebagai tokoh militer, bukanya sebagai penganjur/ pemimpin demokratisasi dan
modernisasi Pakistan. Bahkan sekarang ini ia tampak sebagai budak/boneka A.S
karena tindakan-tindakannya untuk memberantas terorisme yang “mengacu” kepada
ajaran Islam, yang justru menolak terorisme itu. Sekarang ini, orang melihat
bahwa Musharaf mengambil tindakan-tindakan yang berbeda-beda dari
langkah-langkah Amerika Serikat.
Jelaslah
dari uraian di atas, dua hal diperlukan untuk mewujudkan demokrasi. Pertama,
harus ada prioritas skala yang benar, yaitu perlunya kedamaian dan stabilitas
untuk waktu tertentu, dan untuk itu diperlukan kompromi. Kalau perlu kompromi
dengan pihak militer asalkan institusinya turut serta memberantas korupsi
dengan bersungguh-sungguh. Kedua, dengan melupakan kepentingan golongan serta
memperjuangkan “kepentingan nasional’. Kepentingan golongan, seperti Jamiyah
Millia yang berasal dari kalangan Islam tradisional -seperti Nahdlatul Ulama-
yang memisahkan diri dari universitas Aligarh, yang memainkan peranan
modernisasi Islam tanpa mazhab -seperti Cak-Nur dan kawan-kawan di negeri
kita-, haruslah di “tambal” dengan memperjuangkan kepentingan nasional.
Karena
itu, prinsip-prinsip yang diperjuangkan Gandhi harus diterjemahkan dalam
pengertian-pengertian masa kini. Kalau tidak, maka perjuangan Gandhi itu
akan menjadi warisan masa lampau saja. Inilah yang menjadi perhatian
orang-orang seperti penulis, yang melihat bahwa baik ajaran-ajaran agama maupun
pandangan-pandangan kenegaraan mengalami kebuntuan dan kemacetan total. Bahkan
tampaknya gagasan “Teologi Pembebasan” (Liberation Theology) yang dahulunya
dilancarkan Leonardo Boof, ini tengah mengalami tantangan berat dari “kaum
konservatif” di lingkungan Gereja Katholik. Karenanya diperlukan kegigihan
pembebas itu sendiri, melalui medium demokratisasi dan modernisasi masyarakat.
Mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan bukan? []
Jakarta,
12 Februari 2004
Sumber: Duta
Masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar