Gagasan Fiqih Disabilitas dengan Paradigma
Kritis
Judul
buku : Fiqih Penguatan Penyandang
Disabilitas
Penulis
: Lembaga Bahtsul Masail (LBM)
PBNU, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dan Pusat Studi
dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya (PSLD UB).
Editor
: Sarmidi Husna
Penerbit
: LBM PBNU
Cetakan I
: 25 November 2018
Tebal
: 219 Halaman
Peresensi
: Alhafiz Kurniawan, pemerhati
masalah keislaman.
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) meluncurkan buku Fiqih Disabilitas pada
Kamis, 29 November 2018 lalu di Kantor Kementerian Koordinator Bidang
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Jakarta Pusat.
Kehadiran buku ini menjadi penting sebagai
panduan keislaman yang bersifat praktis bagi kalangan disabilitas. Kehadiran
buku ini sangat ditunggu karena situasi Indonesia saat ini belum ramah terhadap
kalangan disabilitas.
Peluncuran buku ini menjadi awal untuk
memberikan penyadaran kepada publik baik masyarakat maupun pemerintah. Pihak
LBM PBNU dengan buku ini menyuguhkan pandangan keagamaan dari khazanah
keislaman sebagai bentuk perhatian NU untuk kalangan disabilitas.
Komunitas disabilitas di Indonesia dengan
tulus mengucapkan terima kasih kepada NU yang mengangkat isu disabilitas netra
dan isu disabilitas secara umum dalam diskursus fiqih. Hal ini menunjukkan
bahwa ormas sosial-keagamaan memberikan perhatian terhadap kalangan
disabilitas.
Ketua Umum Perkumpulan Penyandang Disabilitas
Indonesia Gufroni Sakaril menyatakan terima kasih atas kehadiran buku fiqih
tersebut. Menurutnya, kalangan disabilitas selama ini menunggu kehadiran buku
keislaman dengan tema tersebut.
“Buku ini ditunggu-tunggu oleh kalangan
disabilitas karena terus terang kami gelisah apakah ibadah kami diterima.
Pasalnya, ibadah kami tidak masuk syarat dalam teks-teks agama yang beredar di
tangan masyarakat,” kata Gufroni Sakaril.
Ia mengapresiasi kehadiran buku fiqih
disabilitas ini. Menurutnya, buku ini sangat bermanfaat karena belum ada buku
agama yang spesifik membahas masalah disabilitas ini.
Buku ini tidak hanya penting untuk kalangan
disabilitas. Kehadiran buku ini bermanfaat bagi kalangan disabilitas, pengurus
masjid, pemerintah dan pembuat kebijakan publik, dan kampus-kampus Islam.
Gagasan dalam buku ini merupakan sebuah
terobosan dan lompatan dalam pemikiran keislaman karena buku ini bukan sekadar
tuntunan praktis kalangan disabilitas, tetapi menempatkan mereka secara adil.
Kalangan disabilitas sebelumnya dianggap warga negara kelas dua.
Teks-teks keagamaan juga tidak memberikan
mereka perhatian secara khusus. Hal ini yang membuat kalangan disabilitas
kesulitan menemukan buku panduan agama keseharian yang menyangkut ibadah,
muamalah, perkawinan, hingga siyasah.
Kehadiran buku ini membalik posisi mereka
yang selama ini terabaikan. Buku ini menghadirkan mereka sejajar dengan warga
negara lainnya.
Dalam wacana keagamaan selama ini, kalangan
disabilitas tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Sejalan dengan itu
konstruksi sosial, budaya, ekonomi, dan politik meminggirkan mereka.
Buku Fiqih Disabilitas ini mencoba
menawarkan paradigma baru dalam memandang kalangan disabilitas dengan potensi
dan peluang yang sama dalam dunia sosial, politik, ekonomi, dan agama.
Meski negara telah memiliki semangat baik
untuk penguatan hak-hak kalangan disabilitas melalui UU Nomor 8 Tahun 2016,
semangat perubahan ini belum terwujud maksimal karena pelaksana UU masih
memegang paradigma lama yang memosisikan kalangan disabilitas sebagai
masyarakat kelas dua terkait hak-hak sipil mereka.
Buku ini menawarkan paradigma kritis dalam
memandang kalangan disabilitas. Paradigma ini menempatkan kalangan disabilitas
setara sebagai warga negara sehingga mereka tidak lagi dinilai sebagai warga
negara kelas dua. Paradigma ini melihat mereka memiliki hak sipil yang sama
dengan mereka yang bukan kalangan disabilitas, baik dalam soal hukum, sosial,
politik, dunia ketenagakerjaan, maupun dalam soal infrastruktur.
Paradigma kritis ini merupakan paradigma baru
yang ditawarkan dari dua paradigma, yaitu paradigma mistis dan paradigm naïf,
yang selama ini mendominasi masyarakat dalam memandang mereka. Paradigma mistis
adalah cara pandang yang menempatkan disabilitas seseorang sebagai takdir tuhan
sehingga cukup diterima dengan sabar, tabah, dan pasrah pada kenyataan.
Sementara masyarakat diminta untuk menyantuni mereka. Paradigma ini “mematikan”
semua potensi kalangan disabilitas.
Adapun paradigma naif menempatkan disabilitas
sebagai masalah penyakit, turunan, kecelakaan, penuaan, atau sebab duniawi
lainnya. Paradigma ini menempatkan kalangan disabilitas sebagai kelompok yang
memeiliki keterbatasan dan kelemahan yang harus disantuni dan dibelaskasihani.
Kelemahan mendasar dari dua paradigma ini adalah menempatkan kalangan
disabilitas sebagai warga negara kelas dua. Dengan kata lain, paradigma mistis
dan naif mendiskriminasi kalangan disabilitas
Rumusan buku fiqih ini dirancang sebelum
Munas NU 2017 di Lombok. Pihak LBM PBNU telah mengadakan sejumlah diskusi yang
melibatkan pemerintah terkait dan komunitas disabilitas. Buku ini terselenggara
atas kerja sama LBM PBNU, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat
(P3M), dan Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya (PSLD-UB).
Buku ini jauh dari kata sempurna. LBM PBNU
memununggu masukan dan catatan dari semua pihak untuk merevisi buku fiqih
disabilitas ini. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar