Kamis, 23 Mei 2019

(Buku of the Day) Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas


Gagasan Fiqih Disabilitas dengan Paradigma Kritis


Judul buku        : Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas 
Penulis             : Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dan Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya (PSLD UB).
Editor               : Sarmidi Husna
Penerbit            : LBM PBNU
Cetakan I          : 25 November 2018
Tebal                : 219 Halaman
Peresensi          : Alhafiz Kurniawan, pemerhati masalah keislaman.

Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) meluncurkan buku Fiqih Disabilitas pada Kamis, 29 November 2018 lalu di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Jakarta Pusat.

Kehadiran buku ini menjadi penting sebagai panduan keislaman yang bersifat praktis bagi kalangan disabilitas. Kehadiran buku ini sangat ditunggu karena situasi Indonesia saat ini belum ramah terhadap kalangan disabilitas.

Peluncuran buku ini menjadi awal untuk memberikan penyadaran kepada publik baik masyarakat maupun pemerintah. Pihak LBM PBNU dengan buku ini menyuguhkan pandangan keagamaan dari khazanah keislaman sebagai bentuk perhatian NU untuk kalangan disabilitas.

Komunitas disabilitas di Indonesia dengan tulus mengucapkan terima kasih kepada NU yang mengangkat isu disabilitas netra dan isu disabilitas secara umum dalam diskursus fiqih. Hal ini menunjukkan bahwa ormas sosial-keagamaan memberikan perhatian terhadap kalangan disabilitas.

Ketua Umum Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia Gufroni Sakaril menyatakan terima kasih atas kehadiran buku fiqih tersebut. Menurutnya, kalangan disabilitas selama ini menunggu kehadiran buku keislaman dengan tema tersebut.

“Buku ini ditunggu-tunggu oleh kalangan disabilitas karena terus terang kami gelisah apakah ibadah kami diterima. Pasalnya, ibadah kami tidak masuk syarat dalam teks-teks agama yang beredar di tangan masyarakat,” kata Gufroni Sakaril.

Ia mengapresiasi kehadiran buku fiqih disabilitas ini. Menurutnya, buku ini sangat bermanfaat karena belum ada buku agama yang spesifik membahas masalah disabilitas ini.

Buku ini tidak hanya penting untuk kalangan disabilitas. Kehadiran buku ini bermanfaat bagi kalangan disabilitas, pengurus masjid, pemerintah dan pembuat kebijakan publik, dan kampus-kampus Islam.

Gagasan dalam buku ini merupakan sebuah terobosan dan lompatan dalam pemikiran keislaman karena buku ini bukan sekadar tuntunan praktis kalangan disabilitas, tetapi menempatkan mereka secara adil. Kalangan disabilitas sebelumnya dianggap warga negara kelas dua.

Teks-teks keagamaan juga tidak memberikan mereka perhatian secara khusus. Hal ini yang membuat kalangan disabilitas kesulitan menemukan buku panduan agama keseharian yang menyangkut ibadah, muamalah, perkawinan, hingga siyasah.

Kehadiran buku ini membalik posisi mereka yang selama ini terabaikan. Buku ini menghadirkan mereka sejajar dengan warga negara lainnya.

Dalam wacana keagamaan selama ini, kalangan disabilitas tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Sejalan dengan itu konstruksi sosial, budaya, ekonomi, dan politik meminggirkan mereka.

Buku Fiqih Disabilitas ini mencoba menawarkan paradigma baru dalam memandang kalangan disabilitas dengan potensi dan peluang yang sama dalam dunia sosial, politik, ekonomi, dan agama.

Meski negara telah memiliki semangat baik untuk penguatan hak-hak kalangan disabilitas melalui UU Nomor 8 Tahun 2016, semangat perubahan ini belum terwujud maksimal karena pelaksana UU masih memegang paradigma lama yang memosisikan kalangan disabilitas sebagai masyarakat kelas dua terkait hak-hak sipil mereka.

Buku ini menawarkan paradigma kritis dalam memandang kalangan disabilitas. Paradigma ini menempatkan kalangan disabilitas setara sebagai warga negara sehingga mereka tidak lagi dinilai sebagai warga negara kelas dua. Paradigma ini melihat mereka memiliki hak sipil yang sama dengan mereka yang bukan kalangan disabilitas, baik dalam soal hukum, sosial, politik, dunia ketenagakerjaan, maupun dalam soal infrastruktur.

Paradigma kritis ini merupakan paradigma baru yang ditawarkan dari dua paradigma, yaitu paradigma mistis dan paradigm naïf, yang selama ini mendominasi masyarakat dalam memandang mereka. Paradigma mistis adalah cara pandang yang menempatkan disabilitas seseorang sebagai takdir tuhan sehingga cukup diterima dengan sabar, tabah, dan pasrah pada kenyataan. Sementara masyarakat diminta untuk menyantuni mereka. Paradigma ini “mematikan” semua potensi kalangan disabilitas.

Adapun paradigma naif menempatkan disabilitas sebagai masalah penyakit, turunan, kecelakaan, penuaan, atau sebab duniawi lainnya. Paradigma ini menempatkan kalangan disabilitas sebagai kelompok yang memeiliki keterbatasan dan kelemahan yang harus disantuni dan dibelaskasihani. Kelemahan mendasar dari dua paradigma ini adalah menempatkan kalangan disabilitas sebagai warga negara kelas dua. Dengan kata lain, paradigma mistis dan naif mendiskriminasi kalangan disabilitas

Rumusan buku fiqih ini dirancang sebelum Munas NU 2017 di Lombok. Pihak LBM PBNU telah mengadakan sejumlah diskusi yang melibatkan pemerintah terkait dan komunitas disabilitas. Buku ini terselenggara atas kerja sama LBM PBNU, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dan Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya (PSLD-UB).

Buku ini jauh dari kata sempurna. LBM PBNU memununggu masukan dan catatan dari semua pihak untuk merevisi buku fiqih disabilitas ini. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar