Komitmen Kebangsaan
KH Hasyim Asy’ari di Multazam Lahirkan Kemerdekaan
Menempa diri dalam
pencarian ilmu di Makkah tidak lantas membuat Hadlratussyekh Muhammad Hasyim
Asy’ari (1871-1947) alpa terhadap keadaan dan kondisi bangsanya. KH Hasyim
Asy’ari merupakan pemegang sanad ke-14 dari Kitab Shahih Bukhori Muslim.
Keilamuan agama ia perdalam di tanah hijaz dan banyak berguru dari ulama
kelahiran Nusantara di Makkah seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz
Termas, Syekh Yasin Al-Fadani, dan ulama-ulama lainnya.
Sebutan
hadlratussyekh sendiri menggambarkan bahwa ayah KH Wahid Hasyim tersebut
merupakan mahaguru, mahakiai. Bahkan, Muhammad Asad Syihab (1994) menyebut Kiai
Hasyim dengan sebutan al-‘Allamah. Dalam tradisi Timur Tengah, istilah tersebut
diberikan kepada orang yang mempunyai pangkat keulamaan dan keilmuan yang
tinggi.
Namun, seperti
disebutkan di awal, meskipun Kiai Hasyim Asy’ari mumpuni dalam ilmu agama,
tetapi ia tidak menutup mata terhadap bangsa Indonesia yang masih dalam kondisi
terjajah. Kegelisahaannya itu dituangkan dalam sebuah pertemuan di Multazam
bersama para sahabat seangkatannya dari Afrika, Asia, dan juga negara-negara
Arab sebelum Kiai Hasyim kembali ke Indonesia.
Pertemuan tersebut
terjadi pada suatu di bulan Ramadhan, di Masjidil Haram, Makkah. Singkat
cerita, dari pertemuan tersebut lahir kesepakatan di antara mereka untuk
mengangkat sumpah di hadapan “Multazam”, dekat pintu ka’bah untuk menyikapi
kondisi di negara masing-masing yang dalam keadaan terjajah.
Isi kesepakatan
tersebut antara lain ialah sebuah janji yang harus ditepati apabila mereka
sudah sampai dan berada di negara masing-masing. Sedangkan janji tersebut
berupa tekad untuk berjuang di jalan Allah SWT demi tegaknya agama Islam,
berusaha mempersatukan umat Islam dalam kegiatan penyebaran ilmu pengetahuan
serta pendalaman ilmu agama Islam.
Bagi mereka, tekad tersebut
harus dicetuskan dan dibawa bersama dengan mengangkat sumpah. Karena pada saat
itu, kondisi dan situasi sosial politik di negara-negara Timur hampir bernasib
sama, yakni berada di bawah kekuasaan penjajahan bangsa Barat. (Choirul Anam,
1985)
Sesampainya di tanah
air, KH menepati janji dan sumpahnya saat di Multazam. Pada tahun 1899 M,
beliau mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Dari
pesantren ini kemudian dihimpun dan dilahirkan calon-calon pejuang Muslima yang
tangguh, yang mampu memelihara, melestarikan, mengamalkan, dan mengembangkan
ajaran Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Kiai Hasyim merupakan ulama abad 20
yang telah berhasil melahirkan ribuan kiai.
Bukan hanya untuk
tujuan memperkuat ilmu agama, tetapi pendirian wadah pesantren itu juga untuk
melawan ketidakperikemanusiaan penjajah Belanda dan juga Nippon (Jepang).
Sejarah mencatat, hanya kalangan pesantren yang tidak mudah tunduk begitu saja
di tangan penjajah. Dengan perlawanan kulturalnya, Kiai Hasyim dan pesantrennya
tidak pernah luput dari spionase Belanda.
Langkah awal
perlawanan kultural yang dilakukan oleh pesantren menunjukkan bahwa pondok
pesantren tidak hanya menjadi tempat menempa ilmu agama, tetapi juga menjadi
wadah pergerakan nasional hingga akhirnya bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan
hakiki secara lahir dan batin. Kemerdekaan ini tentu hasil perjuangan seluruh
rakyat Indonesia. Tetapi tentu saja peran ulama pesantren sebagai motor, motivator,
sekaligus negosiator tidak bisa dielakkan begitu saja.
Sebab, di masa Agresi
Militer Belanda II, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad pada 22
Oktober 1945. Fatwa ini mampu menggerakkan rakyat Indonesia untuk melawan dan
mengusir penjajahan kembali oleh Belanda. Fatwa Mbah Hasyim tersebut
menggambarkan bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan kewajiban
agama.
Multazam, titik tolak
perjuangan KH Hasyim Asy’ari atas kondisi bangsanya kala itu. Komitmen tersebut
menunjukkan bahwa kakek Gus Dur ini mempunyai komitmen kebangsaan yang tinggi.
Ejawantah tersebut termaktub dalam prinsip yang Kiai Hasyim cetuskan, hubbul
wathani minal iman (cinta tanah air merupakan bagian dari iman). Dengan
demikian, tidak ada alasan bagi kaum beragama untuk tidak mencintai bangsa dan
negaranya. Wallahu’alam bisshawab. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar