Ketika Habib Abu
Bakar Mimpi Disentil Sayyidina Ali
Jalan Karya Bakti di
Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji, Kota Depok, sesak orang berpakaian
serbaputih saban Ahad sore. Pengajian memang digelar rutin di tempat ini.
Pesertanya bisa mecapai ribuan. Ibu-ibu, bapak-bapak, remaja, hingga anak-anak
dari ragam penjuru Jabodetabek tumpah ruah di jalanan sekitar kediaman al-Habib
Abu Bakar bin Hasan al-Atthas az-Zabidi.
Tapi itu dulu.
Pemandangan jamaah pengajian duduk lesehan tiap Minggu bakda Ashar itu kini
sudah tak ada. Habib Abu Bakar, sang pengasuh, pada 7 Oktober 2018 secara resmi
mengumumkan penutupan majelis ta'limnya itu setelah sebelumnya menemui isyarat
lewat mimpi yang tak biasa. Mimpi?
Ya. Habib Abu Bakar
bercerita bahwa Amirul Mu'minin Sayyidina Ali bin Abi Thalib menemuinya di alam
mimpi dan tiba-tiba menyentil bibirnya. Habib terkejut. Ia berkesimpulan, ini
isyarat dari sahabat Nabi berjuluk "pintu ilmu" itu agar ia lebih
banyak menutup mulut. Habib sudah mengonsultasikan ihwal ta'bir mimpinya ini
kepada guru-gurunya, termasuk yang di Kota Zabid, Yaman. Salah satu perintahnya
adalah menutup majelis ta'lim sebab ilmu yang disampaikan tak menyentuh kalbu murid.
Dengan penuh rendah
hati Habib menangkap mimpi itu sebagai bentuk kasih sayang kakek buyutnya,
Sayyidina Ali karramallahu wajhah. Ia bersyukur dengan teguran tersebut
karena dirinya memang masih banyak kekurangan. Teman karib Gus Dur saat belajar
di Mesir ini pun berjanji akan lebih banyak diam. Berbicara ke publik hanya
bila ada hal yang sangat penting. Sampai tutup usia, Habib tidak akan membuka
majelis ta'lim sebelum ada isyarat baru yang mengizinkannya.
Keputusan Habib Abu
Bakar ini sungguh menohok hati. Nyaris tak ada alasan awam yang membenarkan ia
mundur dari kegiatan majelis ta'lim. Habib Abu Bakar dikenal sebagai sosok
kharismatik yang tidak punya musuh. Dakwahnya juga tak meledak-ledak, apalagi
sampai mencaci dan menghujat. Sosok habib yang moderat, humoris, dan tak
bosan-bosan mengimbau jamaahnya mencintai maulid Nabi. Satu-satunya
"alasan rasional" untuk tak lagi berceramah ke khalayak adalah mimpi.
Sudah 38 tahun Habib
Abu Bakar malang melintang di dunia dakwah, sepulang belajar dari Mesir, Yaman,
Maroko, dan Makkah. Ribuan muridnya tersebar di berbagai daerah yang pernah ia
singgahi, mulai dari Ternate, Ambon, Makassar, Banjarmasin, Flores, Deli
Serdang, hingga sejumlah kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Papua. Saat ini,
Habib Abu Bakar adalah Rais 'Aam Majlis Ifta wal Irsyad Jam'iyah Ahlith
Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyah (Jatman) Depok, organisasi tarekat di bawah
naungan NU.
Sesuai pesan gurunya,
Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Habib mengaku tak mau neko-neko
dalam berdakwah. Yang pokok dalam dakwah adalah kemanfaatan ilmu, bukan
kuantitas jamaah. Meskipun, dengan prinsip ini, Habib Abu Bakar sendiri
akhirnya juga mendapat banyak murid di berbagai wilayah di Indonesia.
Mundurnya Habib Abu
Bakar dari aktivitas dakwah tentu tak bermakna ia menghindari, apalagi
mengabaikan dakwah. Ini pemaknaan kelewat harfiah. Sang habib hanya tidak ingin
tampil menonjol, banyak bersuara, untuk hal-hal yang tidak terlalu krusial.
Tapi, menurut saya, pesan yang paling penting di balik keputusan
"aneh" ini sedikitnya dua poin.
Pertama, betapa
ketatnya syarat seseorang menjadi pendakwah. Sikap Habib tersebut di satu sisi
adalah simbol kerendahan hati, tapi di sisi lain penetapan standar yang tinggi
dalam berdakwah. Menjadi juru dakwah bukan semata urusan pandai bicara, tapi
juga soal kedalaman ilmu agama, akhlak, teladan, dan sampainya pesan ruhani ke
hati khalayak. Bila Habib Abu Bakar yang berilmu luas dan "tidak
neko-neko" saja mendapat sentil dari Sayyidina Ali, lalu bagaimana dengan
kebanyakan dai?
Pesan kedua, sasaran
utama dakwah sesungguhnya adalah diri sendiri, baru kemudian orang lain. Di
sinilah relevansi memprioritaskan muhasabatun nafs (introspeksi)
ketimbang gemar menghakimi perilaku orang lain. Pesan ini menemukan momentumnya
seiring santer bermunculan di zaman sekarang orang-orang lebih gemar menjadi
juru dakwah ketimbang juru dengar, lebih giat berceramah daripada belajar,
lebih sering mengkhutbahi orang lain ketimbang diri sendiri. Beramar-makruf
nahi-munkar ke orang lain sebelum benar-benar mampu beramar-makruf nahi-munkar
dengan diri sendiri.
Pada tahap ini, Habib
Abu Bakar sebenarnya tidak hanya sedang mengikhbarkan soal mimpi dan penutupan
majelis ta'lim Ahad sore. Ada yang lebih dalam dari itu. Di tengah ketenaran
yang makin meningkat, ia justru menjauh dari itu semua. Pilihan sikap semacam
ini seolah hendak menyentil pula para juru dakwah yang kerap tergiur dengan
popularitas, banyaknya jamaah, serta pundi-pundi keuntungan dari
"profesi" mengisi pengajian. Wallahu a'lam. []
(Mahbib Khoiron)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar