Dua Kiai dengan Dua
Solusi
Kejadiannya sekitar
tahun 86. Suatu ketika saya terkena musibah; Kehilangan dompet dengan sejumlah
uang di dalamnya. Saya cukup terpukul karena uang itu untuk kebutuhan sekolah,
bayar imtihan dan lain-lain.
Di tengah kesedihan
itu, seorang teman menawarkan solusi,
“Gimana kalau kita
sowan ke Mbah Hasyim?” ajak si teman menawarkan solusi.
“Maksudmu?” Balik
saya yg bertanya.
“Nanti saya yang
matur soal kehilangan itu. Kita minta wirid dan doa agar bisa menemukan orang
yang mengambil atau setidaknya uang temuan itu dikembalikan orang yang nemu.”
Saya terdiam. Agak
lama saya menalar solusi teman saya yg rajin sowan mbah kiai minta berbagai
ijazah doa itu.
Akhirnya saya
menerima solusinya.
Kami berdua sowan.
Setelah Mbah Hasyim mempersilakan duduk, si Fulan, teman saya itu langsung
matur dengan mimik yg fasih menceritakan kronologi kejadiannya.
Seperti biasa,
ekspresi Mbah Hasyim selalu meneduhkan dan memberi asa bagi siapapun yg
berkeluh kesah. Dan seperti tahu apa yang kami minta, beliau mengambil secarik
kertas dan menulis doa-doa, sebagaimana permintaan Fulan, teman saya.
Setelah dirasa cukup,
kami pun pamitan. Tak lupa saya menciumi tangan lembut beliau, berharap berkah
kemuliaannya.
Sesampai di asrama.
Kami sepakat untuk berbagi tugas. Fulan, yang jago riyadhoh, bertanggung jawab
menjalankan wirid sesuai petunjuk Mbah Hasyim. Saya sendiri memilih menjadi
detektif, mencari tahu sebab musabab dan berbagai kemungkinan hilangnya si
dompet.
Setelah seminggu
berselang, saat imtihan sudah dekat, saya sudah mulai tak sabar. Harus ada plan
B untuk bisa mengatasi keuangan yang cukup mendesak.
Saya pun diam-diam
mencari solusi lain. Kali ini saya sowan sendirian. Bukan ke Mbah Hasyim, tapi
Ke Mbah Kiai Habib.
Sesampai di Ndalem,
saya utarakan segala hal yang berkaitan dengan problem saya. Selesai matur.
Beliau masuk ke kamar. Agak lama saya menunggu dengan harap2 cemas, sampai
akhirnya Mbah Habib keluar dengan amplop di tangan dan diberikannya kepada saya
seraya berkata,
“Iki nggo mbayar
imtihan (ini untuk membayar imtihan).”
Dengan tangan
gemetaran saya menerima amplop itu. Sementara Mbah Habib tetap dengan senyum
khasnya, seakan menampar kebodohan dan keteledoran saya. Saya cuma bisa mringis
kecut, tapi diam-diam bahagia bisa keluar dari persoalan keuangan..
Saat ketemu Fulan,
saya buru-buru memujinya.
“Wah, solusi kamu
warbiyasah. Duit itu sudah kembali dengan jumlah sama persis dengan yang
hilang.”
Dengan heran setengah
tidak percaya, Fulan nampak ikut gembira. Belum sempat menanyakan sesuatu, saya
langsung potong,
“Coba saya mau tahu,
doa apa yang kamu wiridkan!”
Dia kemudian
menyodorkan secarik kertas pemberian Mbah Hasyim. Setelah saya amati, doa itu
sebenarnya lebih tepat untuk mengikhlaskan apa-apa yang hilang atau lepas dari
kita.
“Gimana?” tanya
Fulan.
“Sudah, nggak usah
tanya apa pun. Tuhan punya banyak cara untuk mengabulkan permintaan hambanya,”
jawab saya untuk melegakan Fulan.
Kami pun kemudian
merayakan kegembiraan itu di sebuah warung kopi. Dalam hati, saya tak
henti-hentinya mengagumi dua solusi cerdas itu. Meski berbeda arah, kedua
solusi itu seperti memiliki benang merah yang menghubungkan antara ikhtiar dan
tawakal yang kami lakukan. Lahumal Fatihah. []
(Ade Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar