Politik
Pascapemilu
Oleh:
Azyumardi Azra
Satu
tahap krusial Pemilu 2019—mencakup pemilu presiden dan pemilu
legislatif—akhirnya selesai. Pemilu melelahkan dengan tensi politik tinggi itu
berhasil menyelesaikan rekapitulasi nasional pilpres dan pileg yang diumumkan
pada Selasa (21/5/2019) dini hari. Dalam rekapitulasi yang selesai sehari lebih
cepat itu, pasangan calon capres-cawapres 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin memperoleh
85.607.362 suara (55,50 persen), sedangkan pasangan calon capres-cawapres 02
Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memperoleh 68.650.239 suara (44,50 persen).
Masih
harus ditunggu apakah betul-betul ada atau tidak ada gugatan dari paslon 02
terhadap hasil pilpres atau pihak lain terhadap hasil pileg ke Mahkamah
Konstitusi (MK). Paslon 02 menyatakan akan mengajukan gugatan ke MK, tetapi
masih harus ditunggu. Jika akhirnya dalam empat hari tidak ada gugatan ke MK,
pada 24 Mei KPU menetapkan Jokowi dan Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil
presiden terpilih.
Selanjutnya
kita menunggu terbentuknya parlemen baru—sejak dari tingkat nasional (DPR dan
DPD) sampai tingkat daerah (DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II). Untuk tingkat
nasional, DPR dan DPD membentuk MPR.
Kita juga
menanti pembentukan pemerintahan baru setelah presiden dan wakil presiden
dilantik pada 20 Oktober 2019. Mengingat begitu banyak pengorbanan yang telah
diberikan warga, sepatutnya pemerintahan baru nanti dapat mengganti pengorbanan
itu semaksimal mungkin dengan membentuk pemerintahan baru dengan kabinet yang
betul-betul berintegritas, berkeahlian, dan siap bekerja keras.
Pemilu
2019 lalu menyisakan banyak agenda politik, sosial, dan agama yang harus
diselesaikan. Agenda mendesak sekarang ini adalah merajut kembali kerukunan
politik, sosial, dan keagamaan. Pilpres tidak hanya kontestasi politik sengit,
tetapi juga keterbelahan politik, sosial, dan agama. Keterbelahan ini tidak
bisa ”sembuh” atau hilang sendiri; perlu upaya serius dari seluruh elite
politik, elite sosial, dan elite agama untuk merajut kembali social fabric yang
terkoyak.
Keterbelahan
terkait agama juga terlihat jelas. Meski kepemimpinan ormas arus utama, semacam
NU dan Muhammadiyah, berulang kali menegaskan sikap resmi tentang netralitas
ormas masing-masing, para anggotanya tetap saja terpecah akibat aksi dukung
mendukung paslon capres-cawapres tertentu dengan sikap partisan yang
bernyala-nyala.
Pada saat
yang sama juga bisa diamati dalam pilpres lalu adanya vrij rijder berjubah
agama. Dalam kontestasi politik, mereka sering menggunakan terminologi agama
sesuai tafsir dan pemahaman mereka sendiri. Kelompok ini banyak bertanggung
jawab dalam mengarahkan kontestasi pilpres menjadi bernuansa ”jihad” atau zero-sum election.
Walhasil,
Pilpres 2019 seolah membenarkan pengamatan dan argumen sementara kalangan
pengamat, khususnya dari mancanegara, tentang ”kebangkitan politik identitas
Islam” di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Kesan ini juga menjadi salah
satu tema perbincangan beberapa audiens kepada penulis ketika menjadi
narasumber dalam konferensi di Berlin, Jerman, pada 29 April 2019 tentang
”Islam Indonesia sebagai Model Masyarakat Plurikultural”.
Merespons
argumen audiens itu, sulit dibantah adanya nuansa ”politik identitas Islam”
dalam Pilpres 2019. Meski demikian, nuansa politik identitas itu muncul lebih
karena sebagai political
contingency (darurat politik) di kalangan Muslim Indonesia
daripada kebangkitan politik identitas secara genuine di kalangan arus utama.
Argumen
ini didukung kenyataan bahwa pemenang Pileg 2019 adalah parpol-parpol berasas
Pancasila, berurutan dalam perolehan suara: PDI-P (19,33 persen), Partai
Gerindra (12,57), Partai Golkar (12,31), PKB (9,69), Partai Nasdem (9,05),
Partai Demokrat (7,77), dan PAN (6,84). Sementara parpol berasas Islam hanya
ada dua: PKS (8,21) dan PPP (4,52).
Hasil
pileg ini secara jelas memperlihatkan, mayoritas pemilih Muslim memberikan
suara kepada parpol-parpol berasas Pancasila. Meski kedua parpol berasas Islam
(PKS dan PPP) yang juga berkomitmen kepada Pancasila, mereka tidak menjadi
pilihan para pemilih Muslim.
Dengan
hasil pileg ini, dapat disimpulkan mayoritas pemilih Muslim tidak tertarik pada
politik identitas Islam. Islam Indonesia yang berkarakter wasathiyah dengan
moderasi, akomodasi, inklusivitas, dan toleransinya yang kuat sepanjang sejarah
politik Indonesia tidak memberikan ruang luas bagi tumbuhnya politik identitas.
Dengan
indikasi yang sama, kegagalan parpol Islam mendapat suara signifikan dalam pemilu
ke pemilu sejak 1999, 2004, 2009, 2014 (dan juga 2019) menjadi pendorong bagi
kelompok-kelompok Muslim tertentu yang bukan parpol (karena itu pada dasarnya
non-politis) untuk melakukan berbagai manuver politik. Kekuatan politik
resmi—dalam bentuk parpol atau koalisi parpol—yang memerlukan dukungan dengan
segera mengakomodasi kelompok-kelompok Muslim non-parpol tersebut.
Hasil
dari akomodasi oportunisme dan political
contingency itu pada Pilpres 2019 adalah terjadinya political marriage for convenience—perkawinan
politik di antara berbagai kubu politik untuk kenikmatan di antara strange bed-fellows—teman
seketiduran yang asing. Hal ini tak lain karena pihak-pihak yang terlibat dalam
koalisi atau aliansi ini memiliki ideologi yang bukan hanya tak sama, tetapi
juga tidak kompatibel satu sama lain.
Oportunisme
politik seperti ini sangat boleh jadi tidak bisa bertahan dalam jangka panjang
di tengah perkembangan dan proses politik selanjutnya. Dalam perjalanan waktu,
perubahan konfigurasi politik beserta figur-figur politik yang terlibat dalam
proses-proses politik akan selalu menampilkan fenomena politik baru yang arus
utamanya tetap bukanlah politik berbasis identitas. []
KOMPAS,
23 Mei 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar