Esensi
Puasa: Pengendalian Diri
Kewajiban puasa bagi
umat Islam di bulan Ramadhan dinyatakan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat
183. Namun, Allah dalam firmannya tersebut juga menyebut bahwa puasa juga telah
dilakukan oleh umat-umat terdahulu sebelum risalah dan syariat Islam
(pra-Islam) dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Penjelasan tersebut terdapat pada
potongan ayat, kama kutiba 'alal ladzina min qablikum (Sebagaimana diwajibkan
atas (umat-umat) yang sebelum kamu).
Muhammad Quraish
Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
(2000) menyebut bahwa seseorang dapat bertanya mengapa puasa menjadi kewajiban
bagi umat-umat terdahulu dan umat Islam hingga kini? Manusia memiliki kebebasan
bertindak untuk memilih dan memilah aktivitasnya, termasuk dalam hal ini,
makan, minum, dan berhubungan seks.
Binatang—khususnya
binatang-binatang tertentu--tidak demikian. Nalurinya telah mengatur
ketiga kebutuhan pokok itu, sehingga--misalnya--ada waktu atau musim
berhubungan seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi memelihara kelangsungan
hidup binatang yang bersangkutan, dan atau menghindarkannya dari kebinasaan.
Manusia sekali lagi
tidak demikian. Kebebasan yang dimilikinya bila tidak terkendalikan dapat
menghambat pelaksanaan fungsi dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan
menunjukkan bahwa orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar
yang diperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagi menikmati makanan atau
minuman itu, tetapi juga menyita aktivitas lainnya kalau enggan berkata
menjadikannya lesu sepanjang hari.
Syahwat seksual juga
demikian. Semakin dipenuhi semakin haus bagaikan penyakit eksim semakin
digaruk semakin nyaman dan menuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok.
Potensi dan daya
manusia--betapa pun besarnya--memiliki keterbatasan, sehingga apabila
aktivitasnya telah digunakan secara berlebihan ke arah tertentu --arah pemenuhan
kebutuhan fa'ali misalnya—maka arah yang lain—mental spiritual--akan
terabaikan. Di sinilah pengendalian diri diperlukan.
Sebagaimana
disinggung di atas, esensi puasa adalah menahan atau mengendalikan diri.
Pengendalian ini diperlukan oleh manusia, baik secara individu maupun kelompok.
Latihan dan pengendalian diri itulah esensi puasa. Termasuk mengendalikan diri
untuk tidak mengumbar ujaran kebencian dan menyebarkan informasi-informasi
tidak benar (hoaks) di media sosial.
Sejarah kewajiban
puasa Ramadhan tidak terlepas dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke negeri
Yatsrib (Madinah). Sebab peristiwa tersebut merupakan titik pijak penyempurnaan
syariat Islam di kemudian hari. Puasa Ramadhan diwajibkan kepada Nabi Muhammad
dan umatnya pada bulan Sya’ban tahun ke-2 hijriah dengan cara dan model yang
dilakukan umat Islam hingga kini.
Affandi Mochtar dan
Ibi Syatibi dalam Risalah Ramadhan (2008) mengungkapkan, sebelum ayat yang
mewajibkan puasa turun, umat Islam biasa berpuasa wajib pada 10 Muharram atau
Hari Asyura. Ketika Nabi Muhammad hijrah dan tiba di Madinah, beliau mendapati
orang-orang Yahudi juga berpuasa pada 10 Muharram tersebut.
Orang-orang Yahudi
menyatakan, pada 10 Muharram Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dari
serangan Raja Fir’aun. Kemudian Nabi Musa berpuasa pada 10 Muharram sebagai
tanda syukur kepada Allah. Lalu, Nabi Muhammad memerintahkan uma Islam agar
berpuasa pada tanggal 10 Muharram.
Pada awalnya umat
Islam diwajibkan berpuasa sampai waktu maghrib. Setelah berbuka mereka masih
diperbolehkan makan, minum, dan melakukan hubungan seks suami-istri hingga
kemudian melakukan shalat Isya dan tidur.
Setelah melakukan
shalat Isya dan tidur, mereka tidak diperbolehkan lagi untuk makan, minum, atau
berhubungan seks hingga tiba saatnya waktu berbuka. Namun, praktik ini
benar-benar menyulitkan umat Islam sehingga tidak sedikit yang melanggar
larangan tersebut.
Lalu, Allah SWT
menurunkan sebuah ayat yang dijelaskan dalam QS Al-Baqarah ayat 187 yang
menyatakan, umat Islam diperbolehkan makan, minum, dan berhubungan intim dengan
para istrinya sepanjang malam bulan puasa hingga terbit fajar. Tentu saja ayat
tersebut disambut gembira oleh umat Islam kala itu sembari memanjatkan syukur
atas kasih sayang Allah SWT. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar