Inilah Ketentuan Zakat bagi
Atlet Asian Games Peraih Medali
Perhelatan Asian Games 2018 telah berlangsung
dengan sukses. Banyak raihan prestasi yang diraih oleh para atlet dari berbagai
cabang olahraga yang dipertandingkan. Tak ketinggalan atlet tuan rumah,
Indonesia tercinta.
Semula pemerintah lewat Kementerian Olahraga
yang dikomandani oleh Imam Nahrawi hanya menargetkan 15 raihan medali emas.
Target ini menimbang dari berbagai raihan medali emas dalam tiga laga olahraga
serupa sebelumnya (2006, 2010, dan 2014). Akhirnya, Indonesia bisa melampaui
target tersebut. Berikut perbandingan raihan medali dari selama beberapa
pertandingan terakhir.
• Tahun 2006, Indonesia berada di peringkat
22, dengan 2 medali emas dari bulutangkis dan bowling (total medali 20).
• Tahun 2010, Indonesia berada di peringkat
15, dengan 4 medali emas dari perahu dan bulutangkis (total medali 26).
• Tahun 2014, Indonesia berada di peringkat
17, dengan 4 emas dari atletik dan bulutangkis (total medali 20).
• Tahun 2018, Indonesia berada di peringkat
4, dengan 30 emas dari berbagai cabang olahraga (total medali 89)
Keberhasilan yang luar biasa dalam ajang
prestasi olahraga ini tidak luput dari tawaran bonus yang disampaikan oleh
Pemerintah sejak satu tahun terakhir bagi seluruh atlet yang berhasil meraih
emas sebesar 1 miliar yang kemudian direvisi menjadi 1,5 M per emas per atlet
yang diinformasikan sebelum perhelatan tersebut berlangsung. Sungguh sebuah
nilai yang sangat besar untuk menghargai prestasi atlet di tengah ketiadaan
bonus bagi para atlet lain di negaranya. Bagaimanapun juga, bonus yang
ditawarkan tersebut, disadari ataupun tidak, menjadi salah satu faktor pemicu
bagi atlet untuk berprestasi. Bonus ini adalah hak atlet dan halal baginya
memanfaatkan harta itu dengan baik.
Fokus kajian kita kali ini adalah pada
dialektika fiqih yang khusus membahas mengenai kewajiban/hak yang melekat pada
besaran bonus tersebut. Bagaimanapun juga dalam setiap perolehan harta, baik
harta itu diperoleh dari hasil kasab (bekerja) atau yang diperoleh dari hasil
hadiah, asalkan ia diperoleh dengan jalan yang halal, maka ada hak orang lain
yang melekat padanya. Islam mengajarkan dua hal berkaitan dengan penyaluran hak
masyarakat lain bagi harta tersebut, antara lain (1) dengan shadaqah
tathawwu’ (shadaqah sunnah) sebagai wujud rasa bersyukur, dan (2) dengan
zakat. Dari kedua model penyaluran ini, zakat merupakan hal yang pertama kali
harus diperhatikan oleh semua orang, karena statusnya adalah wajib dan melekat
ke semua individu.
Lantas, kewajiban apa yang berlaku bagi atlet
yang mendapatkan raihan medali emas, perak dan perunggu di atas? Bagaimana pula
dengan kewajiban terhadap besaran bonusnya?
Zakat Medali Emas dan Perak
Emas dan perak adalah dua jenis harta zakawi.
Pada keduanya berlaku zakat nuqudain, yaitu zakat emas dan perak. Namun,
ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan terhadap kewajiban mengeluarkan zakat
nuqud ini, antara lain:
1. Nishab emas murni (dzahab), adalah
20 mitsqal (85 gram). 1 mitsqal setara dengan 24 qirâth atau
setara dengan jumlah 72 biji gandum (sya’îr) utuh.
2. Nishab perak murni (fidlah) adalah
setara dengan 200 dirham (595 gram). 1 dirham setara dengan 16,8 qirath.
Dengan demikian 200 dirham adalah setara dengan 3.360 qirâth.
Untuk kedua jenis harta zakawi tersebut, maka
wajib dikeluarkan zakatnya manakala telah mencapai 1 tahun, yakni sebesar 2,5%
(rub’u al-usyri). Pengeluarannya boleh diberikan dengan jalan
mempercepat sebelum tiba 1 tahun (ta’jîl). Tentu atlet yang memiliki kewajiban
dalam hal ini adalah atlet yang Muslim. Adapun untuk atlet yang bukan Muslim,
maka tidak wajib mengeluarkan zakatnya, kecuali sebatas apa yang ditetapkan
oleh pemerintah, semisal pajak dan lain sebagainya.
Zakat Bonus
Maksud dari zakat bonus ini adalah zakat
harta simpanan. Syarat mengeluarkannya secara fiqih juga ditetapkan setelah
mencapai simpanan 1 tahun. Tentu dalam hal ini, yang wajib dikeluarkan adalah
harta yang dibiarkan mengendap di tabungan, semisal deposito atau rekening
tabungan. Uang yang tersisa di rekening dan tabungan adalah wajib dikeluarkan
zakatnya.
Ada ikhtilaf fiqih terkait jenis zakat dari
uang tabungan ini. Ada yang menyebut sebagai zakat emas, dan ada juga yang
menyebut sebagai zakat dagang (zakat tijârah). Untuk zakat emas,
dilandaskan pada anggapan bahwa setiap keping mata uang adalah menyatakan
simpanan kepemilikan emas. Oleh karenanya, menyimpan uang dalam tabungan adalah
diqiyaskan dengan menyimpan emas. Nishab zakatnya menyerupai nishab emas, yaitu
setara dengan kurang lebih nilai 48 juta rupiah untuk emas dengan harga kasar
500 ribu rupiah per gram.
Ulama kontemporer, setelah melakukan
penelitian terhadap status uang, menyatakan bahwa zakat yang wajib dikeluarkan
adalah zakat tijârah atau lebih dikenal dengan istilah zakat dagang. Zakat ini
dilandaskan pada pemikiran bahwa mata uang modern (mata uang fiat dan giral),
keduanya tidak lagi menyatakan kepemilikan aset atas suatu emas. Dan hal ini
sudah berlaku sejak akhir kisaran tahun 1960-an. Jika para ulama salaf dan
ulama khalaf sebelum dekade 1960-an menyatakan bahwa uang dinyatakan sama
dengan kepemilikan emas disebabkan karena memang pada waktu itu menyatakan
simpanan emas.
Sementara pasca-1960-an, uang tidak lagi
ditentukan pada kepemilikan cadangan emas, melainkan ia ditentukan oleh tingkat
kepercayaan pasar (tijary) di pasaran global. Inilah yang
melatarbelakangi mengapa wajib dikeluarkannya zakat tijarah untuk uang simpanan.
Uang simpanan dianggap sebagai urûdlu al-tijârah (modal dagang). Untuk
itu, bila telah mencapai satu tahun, ia wajib dikeluarkan zakatnya sebagai
zakat tijaarah, yakni sebesar 2,5% dari ‘urudlu al-tijaarah yang berupa
uang tabungan.
Kesimpulan
Zakat merupakan ibadah wajib yang ditentukan
oleh Allah SWT sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya dan mensyukuri nikmat dan
anugerah yang telah diberikan. Selain itu, zakat juga merupakan bentuk
solidaritas sosial seorang hamba kepada lingkungan sosial tempat ia
berada.
Dalam setiap harta yang diperoleh oleh
seorang hamba, baik dengan jalan bekerja maupun hadiah adalah wajib dikeluarkan
zakatnya manakala telah mencapai 1 tahun. Kewajiban ini berlaku untuk semua
individu manusia, asalkan ia muslim, termasuk di dalamnya adalah para atlet
muslim profesional yang mendapatkan medali emas dan perak serta bonus. Untuk
atlet yang mendapatkan medali emas dan perak, maka ia wajib mengeluarkan zakat
emas dan perak setelah medali itu genap dimilikinya selama satu tahun, yaitu
sebesar 2,5%. Untuk bonus yang diperolehnya, zakat yang wajib dikeluarkan
adalah sejumlah 2,5% dari total sisa bonus yang belum dipergunakannya dan masih
tersimpan di tabungan selama satu tahun tersebut. Boleh juga ia mengeluarkan
zakatnya sebelum mencapai satu tahun, yang mana dalam fiqih dikenal dengan
istilah ta’jil zakat. Adapun untuk atlet yang mendapatkan medali perunggu dan
mendapatkan bonus, maka ia hanya wajib memenuhi satu kewajiban terhadap sisa
bonus yang didapatkannya setelah genap berusia 1 tahun mengendap di dalam
tabungan.
Wallahu a’lam bish shawab. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar